11. Rafasya

11 2 2
                                    

Ada hal yang harus kalian tahu dan tidak perlu aku ceritakan lebih terperinci. Pertama, ternyata Rafasya pintar matematika. Kedua, Rafasya adalah sebaik-baiknya laki-laki, Cakra juga baik, tapi yang ada di dalam pirikan ku sekarang, Rafasya lah yang terbaik. Ketiga, Rafasya humoris. Dan yang terakhir, dia bilang seperti ini.

"Embun, aku lagi balajar gitar. Nanti, aku main gitar buat kamu, ya!"

Semoga saja, suatu hari, Rafasya membayar janjinya kepada ku.

"Rafasya akhir-akhir ini jadi sering bawa gitar ke sekolah, dia kaya yang pengen banget gitu bisa gitar," kata Cahaya.

Aku memeluk buku laskar pelangi dengan sampul merah ini, kini aku membayangkan bahwa aku sedang memeluk Rafasya.

"Semoga aja bener, kalau Rafasya itu bakalan mainin gitar buat teteh."

Cahaya menyedot pop ice nya. "Ada sih yang pengen aku bicarain ke teteh soal dia, cuman kayanya ini bukan waktu yang tepat deh!"

"Ya, udah, deh. Cari aja waktu yang tepat, teteh lagi bener-bener kasmaran kali ini, hehehe." Aku memandangi buku kepunyaan Rafasya ini.

"Kenapa kalian bisa jadi deket ginii dah, kan aku jadi kepo."

Aku memandang Cahaya. "Hey! Kamu termasuk orang yang baru teteh kenal, jadi, jangan kepo, okeey."

Cahaya hanya mengangguk, melambaikan tangannya ke arah ku, kemudian kami berpisah di pertigaan. Rumah Cahaya ternyata di kampung sebelah, tetanggaku adalah temannya. Jadi dia pernah melihatku apabila ia sedang main ke rumah tetanggaku itu.

Cahaya seperti tidak antusias mengetahui aku dekat dengan Rafasya, sikap nya mirip mirip dengan Ayu lah. Tapi aku tidak terlalu mengambil pusing, yang penting, entah sejak kapan perasaan itu datang. Tapi aku benar-benar menyukai Rafasya.

Setelah membaca chat nya, mendengar ia bernyanyi absurd distatus Whatshapp, mengetahui suaranya, dan melihat fotonya. Itu belum membuatku puas, bahkan sekarang, salah satu barang yang Rafasya punya ada ditangan ku. Tapi tetap, aku menginginkan lebih dari Rafasya.

Yaitu, bertemu dengannya!

Apakah Rafasya mendekatiku karena ia suka pada ku? Atau hanya sekadar ingin menambah teman saja? Ah aku terlalu banyak berharap.

Tapi, apakah salah, jikalau aku menginginkan rasa suka ini tidak bertepuk sebelah tangan?

Aku sampai di rumah, saat aku membuka pintu, aku dihidangkan situasi canggung.

Semua muka di rumah ini sangat kusut. Sudah ku duga, mama dan kakak ku pasti beradu mulut lagi.

"Bun, mama mau pergi kerja jauh mulai hari ini, pulang sekitar tiga bulan sekali aja. Capek mama di rumah terus, dilawan terus sama yang jadi anak. Orang tua ngasih wejangan, malah merasa dirinya paling pintar dibanding mama, heh!"

Aku mengatupkan rahang, tidak tahu harus mengucapkan apa.

"Mama salah! Aku kan cuma mau pesantren, nimba ilmu agama. Malah gak boleh, Mama pilih kasih tuh sama si Embun, nyekolahin dia di tempat yang bagus! Lah aku? Di sekolah biasa-biasa yang akreditasinya pas pasan! Giliran minta keadilan, malah marah-marah!" ucap kakak ku kembali mendebat.

Aku langsung pergi menuju kamar, saat-saat seperti ini lah yang membuatku malas diam di rumah. Mau keluar rumah? Aku harus kemana, sedangkan aku tidak punya teman dekat. Ayu atau Naya? Rumah mereka jauh.

Aku menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Memejamkan mata, mencoba tenang.

Aku sekolah di tempat yang bagus, itu karena usaha ku sendiri. Aku luntang lantung kerja paruh waktu, hanya untuk biaya sekolah ku. Karena, jika bukan aku yang membayar uang sekolah ku sendiri, siapa lagi?

Tapi Kakak ku selalu beranggapan bahwa Mama ku memperlakukannya tak adil, karena masalah sekolah itu.

Pintu kamar terbuka, itu pasti Mama, aku harus siap-siap bersikap kuat, pasti Mama ku akan curhat pada ku. Beban hidupnya, yang membuatku semakin rapuh.

"Bun, kakak mu itu, bersikeras buat pesantren, bukannya Mama gak ngizinin, Mama malah bangga mendengar anak mama ingin menuntut ilmu agama. Tapi Mama gak punya biaya, alasan Mama menyekolahkan Kakak mu di tempat yang biasa saja, yang biayanya murah, supaya Mama bisa lebih menghemat uang. Adik mu pun masih SD, tanggungan Mama berat sekali. Kakak mu tidak pernah mengerti situasi ini, tapi Mama harap, Embun paham ya?"

Mama mengusap puncak kepala ku.

"Mama sudah tidak tahan, Mama akan mengirimkan Kakak mu itu ke pesantren. Mama bakalan biayain dia."

Aku bangkit dari tiduranku yang nyaman, menatap Mama ku.

"Ma, tapi Mama bayarin pesantren dia yang mahal itu dari mana?"

"Kamu mau kan? Ikut sama Uwa mu ke Garut? Nanti kelas tiga, Uwa mu nanti jemput setelah lebaran, kamu akan dibiayain oleh Uwa mu, sedangkan Mama membiayai Kakakmu."

Dalam situasi ini, kenapa yang ada di pikiran aku adalah Rafasya? Sontak, aku menggelengkan kepala.

"Mama, kan aku kerja Ma! Aku bisa biayain sekolah ku sendiri, gak usah pake uang Mama, aku tetep di sini aja ya, Ma. Please, aku gak mau pergi ke rumah Uwa, gak mau!"

Aku gak mau ninggalin Rafasya! Aku baru saja dekat dengannya, aku gak mau kehilangan lagi orang yang sangat aku cintai!

"Ma, aku pasti bakalan ngasih tau Kakak, bujuk dia buat jangan dulu pergi pesantren. Masalah Kakak, serahin aja ke aku, ya, Ma."

Aku menggenggam tangan Mama dengan erat, memohon untuk mengerti kemauanku.

"Aku ngerti Mama, dan Mama harus percaya sama aku, aku mohon."

Mamaku berdiri, melepaskan genggaman tanganku, lalu menutup pintu dari luar.

Argh! Aku pusing.

Aku membuka ponsel dan menghubungi Rafasya.

Bagus, dia langsung mengangkat telepon nya.

"Rafasya," kataku sedikit menahan tangis.

"Embun, kenapa? Kok tiba-tiba, suara kamu, kamu pasti lagi nangis kan? Kenapa? Ada yang mau diceritain?"

Aku semakin terharu dan ingin menangis mendengar nada khawatir dari Rafasya, ternyata ada orang yang bersedia mendengar keluh kesah ku kali ini.

"Aku gak mau pergi, aku gak mau ninggalin kamu! Aku harus gimana?" aku meloloskan setetes air mata. Dan aku sedikit terisak.

"Kenapa? Coba cerita dari awal."

Bagaimana ini? Aku belum siap menceritakan pada Rafasya bahwa aku orang miskin yang sedang dilanda masalah keegoisan sang Kakak.

Jika nanti aku malah dihina bagaimana? Sudah miskin, keluarga kurang harmonis pula.

Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur menghubungi Rafasya.

"Rafasya, tapi, kamu jangan jauhin aku ya setelah denger ini."

~••~

Haloo

Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca bagian ini! Aku sangat menunggu 100 pembaca, setelah mempubkikasi bagian ini! :D

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang