14. Berantakan

4 1 0
                                    

Lagi dan lagi aku dilanda tak enak hati, kali ini, karena aku sudah membodohi Rafasya beberapa hari yang lalu.

"Bun, jangan pergi."

Itu kata-kata terakhir yang aku dengar darinya, aku bingung antara harus tertawa atau malah harus menangis--tentu saja karena menjadi hilang kontak dengannya--membuatku merasa frustasi.

Baru saja aku lega karena si brengsek Rahmi mulai jinak, karena sudah mendapatkan pekerjaan. Aku pun merasa tenang ketika aku tidak perlu menerima uang bantuan dari Ayu juga Naya. Kini, aku harus uring-uringan dikelilingi rasa menyesal karena ketololanku sendiri.

Bun, kamu akan cepat tua jika terus menerus banyak pikiran!

"Rafasya maafin aku, aku gak akan ninggalin siapa pun kok di sini, kamu kembali ya, kita chat sehabis aku pulang kerja sampe lewat jam dua belas malem. Yuk, kaya gitu lagi yuk. Jangan menghilang dong, aku mohon." Aku mengusap foto Rafasya.

Saat kemarin aku mengembalikan novel laskar pelangi kepunyaannya, ia tidak mengatakan apa-apa, setidaknya itu lah yang Cahaya katakan pada ku.

Tidak ada kabar lagi dari nya, atau chat kurang penting yang sudah menjadi suatu yang sangat berharga untukku.

"Naya, sahabat kita yang satu ini kenapa lagi sih? Kok perasaan hidupnya gak pernah mulus, Bun, apa sebenernya kamu harus ganti nama supaya hidup jauh dari sial," ucap Ayu.

Dalam kepercayaan sunda, jika hidup terus menerus apes, seperti serba sulit dan sering sakit, konon katanya itu disebabkan oleh tidak cocok nama. Hingga harus dilaksanakan kembali ritual bubur merah bubur putih yang biasanya dilakukan saat aqiqah.

"Rafasya, kamu di mana ya sekarang?" tanya ku, menghiraukan apa yang dikatakan Ayu.

"Rafasya ada di sini, Embun, i love you," itu suara Naya.

Kemudian mereka berdua tertawa. Jahatnya, tertawa di atas penderitaan orang lain. Yaa, walaupun aku menderita karena kecerobohan ku sendiri.

Aku menatap Ayu dan Naya bergantian. "Kalian, gimana dong? Aku takut gak bisa ketemu sama Rafasya."

"Katanya bagus kalau kamu gak ketemu sama Rafasya, biar kamu bisa hidup dengan tenang di rumah Uwa mu itu!" timpal Ayu.

"Itu kan kemarin, sekarang mah aku mau sama Rafasya aja di sini."

"Ya ampun, Naya, sahabat kita ini lagi buta akan cinta. Masa, mau di sini aja sama Rafasya, kita dibuang aja!" ucap Ayu sambil cekikikan.

Mau marah pada mereka, ya ini juga salah ku. Aku memang pantas mendapatkan ini.

"Kamu bener-bener suka sama Rafasya, Embun?" tanya Naya.

Aku terdiam sesaat. "Gimana, ya, kalau disebut suka. Masa aku suka sama orang segampang itu, aku ngerasa, itu bukan aku. Tapi, kalau disebut gak suka. Aku gak rela kehilangan dia."

"Kayak nya kamu suka deh sama Rafasya," ucap Naya.

"Rafasya pasti gak akan langsung deketin orang lain sekarang, ucapin ke dia kalau kamu suka sama dia. Sebelum semuanya terlambat," lanjut Naya.

"Aku yakin deh kalau Rafasya beneran suka sama kamu, Bun, soalnya waktu kamu prank dia, dia ngomongnya sampe kaya gitu banget, seakan gak rela banget kamu pergi. Kalau dia suka sama kamu hanya sebatas temen biasa, dia ga mungkin sepanik itu sih waktu tau kamu jadi pergi," ucap Ayu.

Kini, situasi jadi serius.

"Aku ngerasa bodoh banget udah kaya gitu ke Rafasya."

"Kamu gak salah kok, Bun, malah kalau menurut aku ya, keputusan yang bener kalau kamu prank Rafasya, supaya kamu dapet jawaban juga, dari apa pertanyaan yang ada di kepala kamu. Kamu ngerasa bingung kan, dia suka ke kamu beneran atau cuman main-main aja. Sekarang kamu udah tau jawabannya, kejar dia, Bun, kalau mungkin yang awalnya Rafasya ngejar kamu, sekarang gantian. Kamu yang harus ngejar dia."

Ucapan Naya itu benar juga, tapi aku harus bagaimana?

~••~

Aku tidak berangkat kerja hari ini, dan alhasil, total gaji yang terpotong bulan ini adalah lima puluh ribu. Tapi tidak pa-pa, dari pada aku pergi bekerja dengan suasana hati mendung seperti ini.

Ayu dengan paksa meminta nomor whatshapp Rafasya. Dengan dalih, ia akan membantuku mengejar Rafasya. Sebenarnya aku tidak setuju, karena sikap Ayu yang kurang ajar, dan terkadang melebih-lebih kan sesuatu.

Aku khawatir jika Ayu mengatakan yang tidak-tidak terhadap ku. Dan sekarang, apa yang harus aku lakukan. Ketika nama seseorang yang sudah mengilang beberapa hari, kini kembali ada di layar handphone?

Dengan ragu, aku menjawab telepon dari Rafasya. "Halo, Rafasya."

"Embun, apa kabar?" tanya nya dari ujung sana.

"Kabar aku baik, kamu bagaimana?"

"Aku sedikit kurang baik-baik aja hari ini, tepatnya malam ini, ada orang aneh yang mengaku sebagai temen kamu chat aku. Dia ngasih pertanyaan banyak banget, sampe spam, aku mau buktiin aja kalau, emang bener dia temen kamu? Masa iya dia temenan sama kamu?" tanya nya, terdengar sedikit gugup, atau, apakah dia terganggu oleh Ayu?

"Dia ngomong apa aja ke kamu? Dia pasti ngomong yang aneh-aneh kan ke kamu?" tanya ku panik.

"Iya, sedikit nyebelin karena spam nya itu. Tapi pertanyaan nya tidak seaneh itu sih."

"Dengerin aku, ya, Rafasya. Apa yang diucapkan Ayu ke kamu, semuanya, bohong, apa pun itu. Dia memang suka melebih-lebih kan sesuatu. Kamu, cukup percaya aja sama aku. Bukan Ayu," tegas ku.

"Iya, Bun, aku gak akan percaya sama dia. Masa dia ngatain aku, terus ngatain kamu juga. Katanya kamu orang nya suka smackdown di kelas. Aku juga kalo nangis, suka sampe ingusan banyak, aku gak percaya itu."

Tuh, kan, apa ku bilang. Ayu tidak akan benar-benar membantuku. Dia hanya mempersuram keadaan.

"Tapi, Bun, apa semua yang dia katakan bohong? Seratus persen bohong?" tanya nya.

"Kamu cukup percaya sama aku, itu aja, Rafasya, besok aku mau ngehajar Ayu. Bye!" Aku mematikan sambungan telepon.

Besoknya, aku ke sekolah lebih pagi. Saat Ayu datang, ia melirik ke arah ku, lalu mengerlingkan bola matanya.

Apa-apaan ini? Dia marah pada ku? Seharusnya aku yang marah pada nya.

"Ayu, kamu kenapa ngomong gitu ke Rafasya?" tanya ku.

"Ngomong apa?"

"Aku suka smackdown di kelas, kalau nangis ingusan banyak. Apaan?" tanya ku menuntut tanggung jawab.

"Aku gak ngomong itu tentang kamu kok, seharusnya, kamu yang kenapa? Kenapa kamu ngomong gitu ke Rafasya? Gara-gara kamu, semuanya berantakan! Udah, deh, aku gak bakalan bantu kamu lagi. Capek aku, ngadepin dua kepala batu yang jatuh cinta."

"Maksud kamu apa?" tanya ku.

Ayu menyodorkan handphone nya pada ku, saat aku membaca chat Ayu dan Rafasya semalam. Aku jadi merasa sangat-sangat khawatir.

Aku membuat semua menjadi berantakan.

~••~

Terima kasih sudah membaca bagian ini.

Aku selalu ingin menjadi penulis yang produktif, sesibuk apa pun aku.

Terima kasih, atas segala cinta dan dukungan kalian.

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang