13. Bingung

7 2 1
                                    

Aku menceritakan semuanya kepada Ayu dan Naya. Keduanya tampak iba terhadapku. Naya dengan ekspresi kalemnya, diam tak berkutik sambil menatapi ku. Sedangkan, manusia yang satunya mengeram marah.

"Bun, dalam kasus ini ya. Aku gak tau harus marah ke siapa, kamu atau ke Rafasya. Kalau aku marah ke dia, dia tuh gak sepenuhnya salah. Bisa aja kan dia itu deketin kamu, yaa karena dia mau berteman sama kamu. Sama hal nya kaya temenan biasa, cuman aku tuh aneh aja. Bisa-bisanya dia gombalin kamu. Apalagi sampe ngomong suka sama kamu di telepon. Tapi, kalau aku marah sama kamu. Kamu juga gak sepenuhnya salah, yaa wajar sih kalau kamu baper. Orang perlakuan dia ke kamu juga kaya gitu kan." Ayu mengunyah roti bakar sudah keras setelah menyelesaikan pidato nya.

"Aku kayanya yang salah, aku terlalu berlebihan sama dia. Aku ngerasa sangat kesepian, ada orang yang hadir. Niatnya dia nolong, cuman aku nya aja yang berharap lebih."

Kalau dibuat kata-kata sih kurang lebih seperti ini, ada seseorang datang untuk bertamu. Namun sang tuan rumah berharap agar tamu tersebut tak akan pulang.

Tapi, yang namanya tamu pasti pulang kan?

"Aku jadi malu banget, semoga aja, aku gak akan pernah ketemu sama Rafasya. Kalau misalnya aku ketemu sama dia, mau ditaruh di mana muka ku ini!"

Naya mengusap pundak ku, lalu meraih tangan ku. "Apa pun itu, kamu jangan ikut Uwa mu pergi ya? Aku gak mau kita berpisah, kamu jangan tega ninggalin kita, Embun."

"Bun, Kakak kamu emang kekanak-kanakan, tapi kamu dewasa sebelum waktunya. Kamu gak sepantesnya mikirin kerjaan, cukup sekolah dan main. Menghabiskan masa-masa bahagia di sekolah," kata Ayu.

Ayu dan Naya memang hafal fasih bagaimana keadaan keluarga ku. Sudah ku bilang dari awal, bahwa mereka berdua adalah tempat aku bercerita banyak hal. Dan, mereka pun salah satu saksi hidup ku.

"Bun, apa iya aku harus bilang ke Mama kamu. Bahkan aku bisa bagi uang jajan ku sama kamu, kamu selalu jalan berangkat dan pulang sekolah. Aku bisa jemput dan anterin kamu pulang, bayar spp? Aku sama Ayu bisa bantu kamu, semuanya. Asalkan kamu jangan pergi, ya?" Naya kembali menyuarakan permohonan.

Kemarin, aku tidak mau pergi karena satu alasan. Yaitu, karena tidak mau meninggalkan Rafasya. Di depan ku ini, ada dua bongkah berlian yang mengharapkan ku tetap di sini, bersamanya.

Aku benar-benar kurang ajar. Bisa-bisanya aku tidak memikirkan mereka berdua saat itu.

"Aku terlalu banyak ngerepotin kalian, aku gak mau lagi," ucapku.

"Terus, kamu mau pergi? Ninggalin kita lagi?" tanya Ayu, ada penekanan pada kata lagi.

"Kasih aku waktu buat berpikir ya."

~••~

Aku menghembuskan nafas lega, ketika akhirnya aku berani mengalahkan Kakak ku. Sedikit menggunakan bentakan memang, tapi ini demi hak!

"Kak, jangan egois. Mama cuman berjuang sendirian di sini. Sendirian! Mau aku kirimkan kamu ke tempat Bapak! Heh?"

"Enak ya jadi kamu, kayanya hidup kamu paling beruntung di sini," ucap perempuan dengan hati mulai membusuk. Rahmi.

"Kamu tau kenapa? Karena aku bekerja keras. Aku tidak pernah banyak meminta ke Mama, aku tidak pernah mendebat orang tua! Aku tidak pernah merasa paling benar, walaupun sebenarnya Mama berlaku salah. Aku berjuang sendirian Kak, sendirian! Gak manja kaya kamu! Kakak mau aku biayain buat pesantren? Oke, boleh. Jangan taun ini, tunggu taun depan dan aku bakalan putus sekolah, bekerja seharian hanya untuk Kakak. Ngerti? Tunggu aku, Kak, tunggu!"

Wajah ku pasti merah padam, aku menahan hasratku untuk tidak menjenggut rambutnya. Ingin sekali mengacak-acak skincare mahal yang ia beli dengan uang Mama sampai hancur. Dasar, cantik di luar saja!

Aku berlagak pergi keluar dari kamarnya, sambil menunggu jawaban apa yang akan ia lontarkan pada ku.

"Oke, aku tunggu taun depan. Nunggu kamu putus sekolah."

Aish, aku menendang pintu yang tidak tertutup rapat. Berjalan menuju dapur untuk menyeduh teh ditambah sesendok gula. Mungkin ini akan sedikit membuat nyaman.

"Kenapa?" tanya Mama yang baru saja keluar dari air.

"Anak bungsu Mama, ngajak perang." Aku mengaduk teh sedikit kasar.

"Jangan diganggu, dia tadi ditawarin kerja jaga toko baju di swalayan. Semoga aja dia betah, jadi dia bayar pesantren pake uang hasil dia usaha dia," kata Mama.

Mengingat ucapan sore tadi. Aku bisa bernafas lega kali ini, aku merasa hidup kembali.

Ahh, aku tidak akan memikirkan apa pun lagi. Tidak harus ke rumah Uwa ku, tidak harus mengambil bantuan dari Ayu dan juga Naya, tidak perlu meninggalkan mereka. Dan, tidak perlu meninggalkan..Rafasya?

Aduh, aku selalu malu apabila menyinggung Rafasya. Hampir satu minggu aku tak berkomunikasi dengannya. Aku tidak membalas pesannya, dan tidak mengangkat teleponnya.

Aku tidak mau berharap lagi pada nya, cukup, aku ingin terbiasa tanpa Rafasya. Mulai saat ini!

Tidak! Dering ponsel berbunyi, dan kenapa harus nama Rafasya yang ada di sana?

Tapi tiba-tiba ada pikiran jahil yang terlintas dikepalaku.

Aku mengangkat telepon Rafasya.

"Halo," sapaku.

"Embun! Kenapa kamu ngilang hampir seminggu ini? Ada apa? Aku ngelakuin kesalahan?" tanya dia dengan nada khawatir.

"Aku lagi membiasakan diri tanpa kamu Rafasya."

"Bun, kok kamu kaya gitu sih?"

"Aku mau pergi ke rumah Uwa ku kelas sembilan, aku udah terbiasa sama kamu. Aku gak mau kalau nanti aku jadi sakit hati berkelanjutan gara-gara ninggalin kamu," ucapku, seakan-akan ini adalah serius.

"Bun, aku mau hubungin Uwa mu kali ini, mana nomor nya? Aku bakalan ngelakuin segala cara supaya kamu gak jadi pergi."

"Seambis itu? Emangnya, apa alasan kamu buat nyangkal aku? Hm? Aku pergi ke sana, lupain kamu. Hidup tenang di sana, dan kamu bisa kembali sama Jihan. Lagian kamu gak suka aku kan? Maksudnya, secara tulus," ucapku benar-benar serius.

Tidak tahu kenapa, tapi percakapan aku dan Rafasya saat ini. Seperti serius. Aku akan pergi, seakan nyata.

"Kalau kamu pergi, aku belum sempet ketemu kamu."

"Syukurlah, lebih baik aku gak pernah ketemu kamu Rafasya. Biar aku gak bawa rindu ke sana," ucapku, apakah ini terlalu jahat? Apakah mengerjai Rafasya ini terlalu berlebihan?

"Siapa yang bakalan ngingetin aku buat gak main game terus? Siapa yang bakalan ngingetin aku buat jangan begadang? Siapa yang bakalan ngingetin aku buat ibadah? Siapa yang bakalan kasih kabar setiap pagi sampe malem, siapa?" katanya benar-benar terdengar pasrah.

"Ada Jihan."

"Jihan udah gak ada! Bun, kamu tega ninggalin aku? Bun, setelah aku ditinggalin Jihan, aku juga harus kehilangan kamu?"

Aku sangat bingung menanggapi perlakuan dia pada ku. Apakah dia benar-benar menyukaiku? Menyukaiku sebagai apa?

~••~

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang