22. Orang Ketiga

1 1 0
                                    

Pagi ini matahari tersenyum padaku, tapi tentu saja aku tidak membalas senyumannya, aku berjalan menuju sekolah dengan pikiran yang hilang ke antah berantah. Langit yang semakin terlihat cerah seakan memberiku sinyal untuk berjalan dengan sedikit lebih cepat agar tidak terlambat.

Melihat ke samping, depan dan juga belakang, aku tidak menemukan satu anak sekolahpun, apakah ujian sudah dimulai? Kelewat panik, akupun berlari dengan cepat, rambut cepolku tergerai, kaki sudah mulai gemetar dan keringat bercucuran dari dahi, oh tidak, punggunggu sudah mulai basah, aku berjanji tidak akan melepas tas daripada pakaian dalamku terlihat.

Aku menyebrang tanpa melihat kanan kiri, alhasil sebuah klakson yang sangat keras menjadi hadiah untukku. Rutukan yang ia semburkan, tidak aku dengarkan. Dihukum guru lebih gawat daripada sebuah rutukan dari orang yang tidak akan pernah aku temui lagi.

Satu meter lagi sampai, akupun semakin mempercepat laju lari. Di depan gerbang, aku membungkuk, menetralkan nafas dan detak jantung. Mukaku pasti sudah buruk sekali, apalagi aku tidak punya waktu untuk membeli tisu untuk mengelap keringat yang membasahi seluruh wajah.

Dengan bermodalkan kaki yang lemas, aku berjalan perlahan, tentu saja ini sudah sepi. Itu artinya aku memang sudah terlambat.

Akupun berjalan santai saja, toh tidak ada gunanya aku terburu-buru, nanti aku malah mengerjakan soal dengan tidak khidmat. Setelah melewati gerbang, aku melewati ruang BK dan ruang guru, masih di satu jurusan. Kemudian aku belok kanan, lurus sedikit, dan sampailah ditempat tujuanku. Toilet.

Aku melihat arloji, aku telat sebelas menit, dirasa tanggung, aku akan telat lima belas menit. Deru nafasku sudah normal, kakiku juga sudah tidak terlalu lemah. Terpujilah sepatu, walaupun kamu sudah lusuh, kamu tidak rusak saat dipakai lari. Jika sepatuku jebol, pasti aku akan apes dua kali.

Sambil bercermin, aku mengusap wajah menggunakan tisu yang sudah disediakan di setiap toilet sekolah. Pipiku penuh semburat merah, itu dipastikan karena seluruh wajahku terasa panas.

Aku tertawa kecil karena pada saat seperti ini, aku malah mengingat Rafasya. Ia juga pernah berkata padaku bahwa pipiku selalu memerah, apalagi saat berbicara dengannya. Kala itu, pertama kali aku mengucapkan you in my heart pada laki-laki. Dan baru pertama kali dalam hidupku aku mengucapkan cinta kepada seseorang.

Kehadiranku di kelas disambut hangat oleh guru pengawas, untung saja yang mengawas hari ini guru yang muda yang pengertian. Aku mengerjakan soal demi soal dengan tenang, walaupun tidak hanya satu, tetapi banyak dari pertanyaan tersebut yang aku jawab dengan asal.

Sembilan puluh menit berlalu dan selesai sudah ujian semester ini, tidak terasa aku akan menjadi siswi tingkat akhir di sekolah ini. Saat keluar ruangan aku tidak melihat Ayu dan Naya, sepertinya mereka sudah pulang lebih dulu.

Karena sekolah masih ramai, aku memutuskan untuk berdiam terlebih dahulu di koridor depan kelas, duduk sambil memeluk kedua kaki yang ditekuk. Menonton siswa siswi yang lalu lalang, sebagian besar berhambur keluar gerbang hendak pulang.

Ujian selesai, musim panas, dan puasa menjadi paket lengkap yang sangat menyegarkan.

Sayup sayup suara daun yang bergesekan karena angin, membuat aku mengantuk. Semalam aku tidak bisa tidur karena memikirkan Rafasya, aku tersenyum miring, sampai saat ini Rafasya tidak memberiku pesan.

Pikiranku juga terbang pada perempuan yang menghantuiku setiap detiknya. Perempuan yang membuatku takut kehilangan Rafasya. Perempuan yang selalu dekat dengan Rafasya.

Perempuan itu jauh lebih tinggi dariku, kulitnya hitam manis, wajah cantiknya terlihat seperti peran antagonis di mataku. Ia menggandeng Rafasya, mendorong Rafasya ke pinggi, lalu tertawa lepas setelahnya. Momen paling romantis ketika Tuhan menakdirkan sehelai daun kering jatuh di kepala Rafasya, lagi lagi perempuan itu mendekati Rafasya guna membuang daun tersebut. Senyum Rafasya pada perempuan itu, membuatku ingin mengeluarkan seluruh makan sahurku ke lantai sekarang juga. Lihatlah sekarang, perempuan itu tidak selangkahpun menjauh dari Rafasya.

Aku tertawa miris menatap panorama di depan, aku terus memperhatikan mereka walaupun kepalaku malah semakin dikuasai marah. Ketika mereka dengan santainya melewatiku, aku bagai dihimpit dua tembok sehingga kekurangan oksigen, sangat sesak.

Rafasya tidak melihatku, tentu, karena hanya perempuan itu yang ia lihat.

Aku berdiri sambil mengepalkan telapak tangan, lari menuju lapang berniat untuk mengejar Rafasya. Namun tetap seperti sebelumnya, aku hanya terbujur kaku tak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin sekali merutuki nyali payah yang aku miliki.

Sampai mereka berdua keluar gerbang, aku masih saja diam.

Aku menyalakan ponsel, menekan tombol panggilan pada kontak Rafasya. Bagus, ia menjawab panggilanku.

"Embun, ada apa?" tanya Rafasya dengan suara tenang.

"Aku mau kita ketemu, sekarang!" langsung kuutarakan kemauanku itu.

"Tapi Bun.."

"Apa, kamu lagi jalan sama orang lain? Aku ada di belakang kamu!" aku sedikit membentak.

Tidak ada suara Rafasya beberapa detik, remang-remang terdengar suara siswa siswi yang bersahutan menjadi backsound percakapan kami yang tegang.

"Kamu gak ada di belakang aku," ucap Rafasya.

"Kamu salah, aku ada di sekolah, aku dari tadi ada di belakang kamu. Terus, kamu mau ketemu sekarang?" tanyaku mulai melemah.

Suara deru nafas yang tak beraturan juga langkah kaki yang cepat terdengar dari sambungan telepon yang belum terputus, itu menandakan bahwa Rafasya putar balik.

Jarak antara aku dan gerbang sekitar tujuh puluh meter, jarak yang lumayan jauh, tetapi gelagat panik Rafasya sangat terlihat jelas. Aku jadi tidak sabar ingin segera menginterogasinya.

"Laki-laki di depan gerbang, mari temui aku." Aku pun menekan tombol merah, yang artinya telepon diakhiri olehku.

Aku berjalan satu arah dengan pandangan lurus ke arah Rafasya, ia pun demikian. Saat kita bertemu, aku melihat raut wajah Rafasya yang sulit diartikan.

Bagai penjahat tertangkap basah, aku menatap tajam kepada Rafasya.

"Buaya, buaya darat! Aku kira kamu orang yang berbeda, tapi ternyata kamu sama aja!" volume suaraku naik satu oktaf. Menumpahkan segala kekesalan yang melanda bagai badai dihari cerah.

Kamu tidak bisa lagi mengelak Rafasya.

Aku tahu kemu berselingkuh.

Aku masih menatapi Rafasya, dibalik raut wajah yang sulit diartikan itu, terdapat lengkungan bibir yang disembunyikan.

Dirasa pertahanannya mulai roboh, Rafasya memilih menyerah.

Ia mulai terbahak, padahal di sini tidak ada yang lucu.

~••~

Salam manis,

Airis Yulia

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang