Angin sepai sepoi yang menyapu rambut terasa sangat segar di paru-paru. Ilalang yang semakin panjang menggelitiki kulit, kicau burung pipit yang mengintip di pepohonan seakan ingin mencairkan suasana tempat ini yang dilingkari rasa canggung.
Aku melirik ke samping kanan, itu benar-benar sama dengan yang diceritakan Cahaya, sama juga dengan yang ada di foto.
Sudah lima belas menit kami hanya saling diam, tidak tau harus bicara apa terlebih dahulu, padahal ada banyak pertanyaan dalam otak ku.
"Mau ngomong apa?" tanya nya.
Suaranya, aku baru mendengar suaranya. Ternyata suaranya terdengar lebih tegas dibanding suara ditelepon.
Aku masih diam, menatapi setiap inci yang ada dipandanganku. Taman perbatasan antara dua komplek, ini satu-satunya tempat gratis yang lumayan bagus juga, walaupun sungai yang di depan malah dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga. Sedikit menghancurkan suasana.
"Tempat ini bagus sih, sama kaya yang kamu bilang. Rumput nya hijau, banyak tanaman. Batu besar, lentera kuno. Tapi, apa ini? Sampah ini kamu sebut indah?" racau Rafasya.
Aku melirik ke arahnya. "Ya, makanya ajakin aku ke tempat yang berbayar!"
Rafasya terkekeh. "Jadi, ini ekspresi kamu kalau lagi marah, lucu."
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan ku.
"Ada hal aneh juga dikamu, kenapa ya muka kamu itu suka merah?" tanya nya.
"Rafasya, jangan kaya gitu. Aku jadi malu!" ucapku, "lagian kan yang mau kasih banyak pertanyaan di sini aku, bukan kamu, ish."
Aku menurunkan telapak tangan yang menutupi wajah ku. Menghadap ke Rafasya.
"Rafasya, terima kasih atas segalanya. Aku gak akan pergi kok, aku gak akan ninggalin siapa pun di sini," aku mulai berbicara.
"Mungkin, kamu adalah orang pertama yang membalas perasaan ku juga. Selama ini, aku gak pernah ngerasain gimana rasanya dicintai. Terima kasih telah datang Rafasya."
"Rafasya, semudah itu aku suka sama kamu. Semudah itu aku mulai cinta sama kamu, tapi, kamu harus percaya sama aku kalau aku gak bakalan semudah itu ngelupain kamu."
Aku masih menatapi Rafasya, berkelana ke dalam bola matanya yang menyiratkan sebuah perasaan. Sebuah perasaan yang tak dapat digambarkan.
Mengucapkan segala bentuk pertanyaan yang ternyata berubah menjadi pernyataan.
"Rafasya, aku suka sama kamu, mungkin dari awal kamu mulai mengusik ku."
"Rafasya, aku tidak pandai bohong, semua yang aku katakan itu kenyataan."
Rafasya menyalipkan rambut ku ke belakang telinga, entah mengapa, kami seakan sangat akrab. Ini bukan seperti pertemuan pertama kami.
"Terus, kamu bilang kalau apa yang Ayu bilang itu bohong, bisa jelasin ke aku?" tanya nya. Susah aku duga, ia pasti akan meragukan ku.
"Lupain soal itu, ini aku, liat aku, Rafasya. Jangan pernah tinggalin aku, untuk kali ini, aku gak mau kehilangan orang yang aku suka, sayangi, atau cintai. Rafasya, stay with me." Aku menggenggam tangannya. Kata-kata ini, memang sudah aku hapalkan tadi malam.
Rafasya tersenyum. "Kalau gitu, mari janji untuk gak saling meninggalkan. Aku pun, gak mau kehilangan orang yang aku suka, sayang, cinta."
Aku ingin sekali memeluk Rafasya, laki-laki yang lima bulan lebih muda dari ku ini, sudah membuatku menjadi remaja jatuh cinta.
Sedikitnya, itu lah yang menjadi awal cerita yang akan memasuki puncak. Kami tidak sadar bahwa kami masih terlalu muda untuk saling mengucapkan cinta, atau bahkan ingin bersama selamanya.
"Rafasya, you in my heart," ucapku.
"Kamu, akan selalu ada di hati ku, Embun."
Bumi akan segera mengakhiri tugas nya mengelilingi matahari untuk hari ini. Aku menatap kepergian Rafasya sedikit tak rela.
Suatu saat, apakah aku akan bisa lebih lama bersama dengannya?
~••~
Cahaya
Teh! Harus ada pertanggung jawaban ya. Enak aja ninggalin aku di jalan sendiri!
Argh, kesal saya!Embun
Maaf
Sebagai gantinya, teteh ajak kamu main deh
Sebentar lagi kan ramadhan
Teteh ajak kamu ngabuburit ke pasar kaget
Kita beli takjil yang banyak, pasti seru!Cahaya
Janji ya?
Yeayy
Makasih yaaAku tidak membalas lagi pesan dari Cahaya. Melihat-lihat lagi, tidak ada pesan baru dari Rafasya.
Terakhir kali, saat Rafasya bilang on the way taman.
Aku tersenyum, merasa sangat bahagia hari ini. Padahal bulan ini total gaji ku yang tersisa hanya seratus tujuh puluh lima ribu. Soal itu, aku berjanji akan bekerja lebih giat agar aku tak kena pecat.
Tapi entah mengapa, Rafasya, jauh lebih bernilai dari pada harus bekerja keras semalaman.
Ayu, menelepon ku, tidak menunggu lama. Segera aku angkat panggilannya itu.
"Halo, Ayu!" sapa ku lebih dulu.
"Halo, Embun, gimana? Progres lancar?" tanya Ayu heboh.
"Emm gimana, ya? Tapi aku sama Rafasya sampe saat ini belum jadian."
Ayu tertawa. "Ada waktunya kali, sabar. Tapi, kalian udah baikan?" tanya nya lagi.
"Baik, kok."
"Andai aja aku gak diblok sama Rafasya, aku mau neror dia lagi buat cepet-cepet jadiin kamu pacarnya," ucap Ayu terdengar gereget.
"Katanya, jangan buru-buru," sindir ku.
"Wah, Embun, akhirnya kamu punya gebetan yang nyata! Bukan cuman khayalan aja, ciee." Ayu tertawa.
Aku mengalihkan handphone ke telinga sebelah kiri.
"Ayu, aku suka banget sama dia, gimana dong ini? Gawat, aku pasti bakalan susah lupa!"
"Ya, bagus lah, jangan lupain dia. Pacaran aja belum, udah ngomongin susah lupa, gimana sih," sahut Ayu.
Aku membaringkan tubuh, membungkusnya dengan selimut, bersiap tidur.
"Ayu, apa pun yang terjadi ke depannya. Kamu pasti bakalan selali ada buat aku kan?" tanya ku.
"Iya lah, Bun, aku selalu ada untuk kamu, sama Naya."
Aku menghembuskan nafas lega.
Bagaimana pun, aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Bersama Rafasya, bersama orang-orang yang ada di sekitarku saat ini.
Tapi, saat ada sahabat yang selalu ada. Entah mengapa, aku merasa aman.
Setelah memutus sambungan telepon dengan Ayu. Aku kembali menatap foto Rafasya.
Sekali lagi.
You in my heart, Rafasya.
~••~
Semoga kalian suka <3
Sampai jumpa!
Salam manis,
Airis Yulia
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafasya ✔
Fiksi RemajaStory *3 by Airis Yulia Hanya untuk mengenang, mempelajari, mudah dilupakan atau tidak, semoga apapun yang telah terjadi adalah yang terbaik. selamat membaca bagian akhir dari kisah, "ketika Embun jatuh cinta, kepada sang pemilik Kaca Jendela."