37. Seharusnya

0 0 0
                                    

Kembali lagi ke kenyataan ku sekarang, dua minggu berlalu setelah aku putus dengan Rafasya. Rasanya benar-benar menyakitkan dan terlalu tiba-tiba. Setelah aku mengucapkan kalimat terakhirku di rumah sakit, Rafasya tidak pernah terlihat lagi di hadapanku.

Tadi, Farel diam-diam memberiku secarik kertas saat kami berpapasan. Saat aku lihat, ini dua belas digit nomor ponsel.

"Hubungi dia, satu kali terakhir, jangan pernah nyambung lagi setelah ini." Itu perintahnya.

Aku menyimpannya di saku seragam, aku tidak tahu harus menghubungi lagi Rafasya atau tidak. Terlalu sulit bagiku untuk memutuskan sekarang.

Ini adalah hari terakhir Ujian Akhir Semester, semua orang berhambur keluar gerbang untuk menghirup udara segar.

Mila dan Ratna mengajakku untuk pergi makan steak, tapi aku menolaknya, aku tidak bisa makan sejak beberapa minggu terakhir.

Sedekat apapun aku dengan Mila dan Ratna, aku tak pernah bercerita lebih lanjut tentang keluargaku, juga hubunganku dengan Rafasya. Kami hanya teman sekolah biasa.

Aku duduk di kursi seorang diri, sayup sayup terdengar suara murid-murid yang masih bermain di sekolah. Sial, aku malah mengingat saat di mana Rafasya dan aku bermain setelah bagi rapot.

Tidak, aku tidak boleh menangis.

Aku mendengar suara langkah kaki ke arahku.

"Pantesan dari luar auranya beda, ternyata kelas ini berhantu!"

Aku melihat ke arah suara, Ayu dan Naya ada di ambang pintu.

"Kalian kenapa bisa ada di sini?" tanyaku lalu tersenyum.

"Kita tahu kamu putus dari Hari."

Saat kelas tujuh, Naya berteman baik dengan Hari sampai saat ini, itulah kenapa mereka bisa tahu masalah aku saat ini.

"Kamu sama Hari senasib, kenapa gak pacaran aja coba? Bukannya kamu sama Rafasya pacaran gara-gara senasib juga? Ahahahaha." Ayu dengan keras seperti mengejek ku.

Naya menyenggol Ayu hingga Ayu tersungkur, lalu menghampiri dan memelukku.

"Aku tahu kamu orang yang kuat, kamu yang sabar ya, kamu tetap yang terbaik di sini," Naya mengusap punggung ku.

Ayu pun bergabung dan ikut memelukku. Mereka yang tahu segala seluk beluk ku, selalu menguatkanku. Lagi-lagi aku menangis.

"Embun jangan nangis terus, aku jadi ikutan sedih," ucap Naya.

Aku melepaskan pelukan, entah sejak kapan mereka berdua ikut menangisiku.

"Aku sayang sama Rafasya."

"Aku tahu, kamu pasti sayang banget sama Rafasya, tapi, Bun, udah, cukup sampe sini aja, ya, aku gak mau nanti kamu makin sakit."

Naya ikut menangis melihatku.

"Mana tuh si ketek uler! Bisa-bisanya dia jadi penghianat gini, ke neraka aja sana!" Setelah merutuk seperti itu, Ayu malah ikut menangis.

"Kenapa banyak orang gila di dunia ini?" Ayu setengah berteriak.

Kami bertiga manangis seperti anak kecil yang mainannya rusak.

"Udah ah, jangan lemah. Harus kuat!" ucap Ayu menyemangati.

Kami bertiga melepas pelukan. "Embun, mending kita makan steak, yu."

Kenapa semua orang mengajakku makan steak hari ini?

"Aku mau ada sesuatu dulu di eskul, kalian mau nunggu aku?"

Mereka berdua mengangguk, tak lama kemudian kami pergi dari kelas menuju sekretariat Adiwiyata. Saat berdiri, tak sengaja mataku melihat sekolah tulisan Rafasya di meja depan.

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang