Semakin hari hubunganku dengan Rafasya semakin baik, aku selalu merasakan bahagia. Seakan konflik sebelumya tidak pernah ada, kami berdua seperti benar-benar sudah melupakan semuanya. Yang ada hanya kebersamaan aku dan Rafasya.
Semua orang sudah pulang, hanya tersisa beberapa anggota OSIS di ruangan mereka dan juga anggota IRMA. Aku memeluk rapot biru yang tak sanggup aku lihat.
Mama pulang duluan karena harus segera mengambil rapot punya adikku juga di Sekolah Dasar. Tinggalah aku sendiri sambil berjalan dengan lesu. Sebenarnya aku ingin menemui Ayu dan Naya, aku ingin mengobrol dengan mereka sebagai perpisaha, barangkali kelas sembilan nanti kami bertiga tidak akan satu kelas lagi. Tapi mereka malah harus pulang lebih cepat karena paksaan dari kedua orang tua mereka.
Aku jadi tidak tahu tujuan, kembali menyapu sekitar, siapa tahu ada orang yang aku kenali di sini. Rafasya contohnya.
Bagaikan mantra, aku memang menemukan laki-laki itu, ia terlihat mengobrol dengan Naura. Namun setelah Naura dipanggil oleh laki-laki lain yang menghampirinya dari belakang, ia pergi. Tinggalah Rafasya sendiri.
Lagi-lagi, suatu hal yang aku sebut ini keajaiban terjadi. Rafasya melihat ke arahku. Akupun melambaikan tangan padanya, sambil tersenyum. Hampir satu menit kami hanya saling diam dan menatap dari jauh. Setelah itu, Rafasya melangkahkan kakinya, menghampiriku. Aku juga ingin melangkahkan kaki untuk menghampirinya, tetapi, mengapa kaki ini selalu terasa berat saat ingin menghampiri Rafasya? Ini tidak terjadi sekali saja. Apakah karena aku terlalu gugup? Memang, jantungku selalu berdetak kencang kala bertemu dengan Rafasya, bahkan melihatnya dari jauh saja aku selalu merasakan desiran aneh di dadaku.
"Sendiri aja?" tanya Rafasya.
Aku mengangguk. "Kamu?"
"Naura dijemput pacarnya, mereka mau buka puasa bareng, mereka mau rayain hari kenaikan kelas," ucap Rafasya.
Aku hanya bergumam.
"Kamu lagi gak baik-baik aja hari ini?" tanya Rafasya.
Aku mengangguk. "Peringkat aku turun tiga langkah."
Aku menghembuskan nafas dalam, sedikit kecewa dengan yang aku dapat, padahal aku sudah bersusah payah belajar agar mendapat nilai yang tertinggi.
"Aku juga jadi peringkat empat di kelas, turun tiga juga sama. Tapi aku bahagia, gak ada yang spesial mau peringkat bagus atau jelek, nilai tidak bisa menjadi penentu kualitas seseorang."
Sulit mengihklaskan bahwa aku kehilangan peringkat satu, tapi apa yang Rafasya katakan memang benar.
"Aku gak pa-pa kok kehilangan peringkat satu," kataku, "aku cuman bakalan apa-apa kalau kehilangan yang satu."
"Apa itu?" tanya Rafasya.
"Kamu."
Aku tersenyum begitupun dengan Rafasya, ia memalingkan wajahnya mungkin merasa malu.
Apa yang sudah aku katakan? Tuhan, bisa-bisanya aku melontarkan gombalan murah di saat-saat seperti ini. Perlahan aku tertawa dan juga ikut memalingkan wajah, menyembunyikan semburat merah yang sepertinya sudah menghiasi wajah.
"Siapa yang ngegombal, siap yang baper, gimana sih," ucap Rafasya.
Aku melihat Rafasya. "Sebelumnya aku gak pernah nyadar kalau pipi aku suka merah, tapi setelah kamu bilang kalau pipi aku suka merah, aku rasa aku emang kaya gini setiap saat, bukan karena gombalan aku sendiri," ucapku menyangkal apa yang Rafasya ucapkan.
Setelah beberapa menit aku dan Rafasya hanya saling diam, akhirnya aku dan Rafasya memutuskan untuk berjalan-jalan saja di sekitar sekolah.
"Apa yang kamu suka dari sekolah ini?" tanya Rafasya.
"Semua teman SD-ku daftar sekolah negeri, hampir semua sih maksudnya, tapi, aku gak mau satu sekolah lagi sama mereka dan daftar ke sini. Walaupun sekolah swasta, itu gak buruk sama sekali, bahkan sekolah ini lebih nyaman dari dugaanku."
"Kalau aku gara-gara sekolah ini paling dekat sama rumah," kata Rafasya.
"Aku gak nanya balik," ucapku.
Rafasya tertawa.
"Sejauh ini, siapa yang udah kamu temuin? Dan, siapa yang paling berkesan?" tanya Rafasya kepo.
"Kelas tujuh aku ketemu sama Cakra, kelas delapan aku ketemu sama Ayu dan Naya, itu paling berkesan buat aku. Cakra suka sama Naya, dan aku nggak terima, hubungan aku, Ayu dan Naya jadi renggang. Tapi gak lama kemudian, kami baikan, aku juga ikhlasin Cakra buat Naya, terus aku ketemu kamu, jauh lebih berkesan," jelasku.
"Kamu curhat?" tanya Rafasya dengan maksud jahil.
"Nggak, aku perasaan udah cerita sama kamu, tapi aku juga kurang inget cerita apa aja ke kamu tentang Cakra," jawabku.
"Kamu mau tahu cerita aku?" tawar Rafasya.
"Aku pikir, kamu cuman suka Jihan, Jihan suka sama orang lain, dan kamu punya sahabat namanya Naura. Ternyata ada lagi?" tanyaku balik.
"Mungkin aja, aku nggak semenakjubkan yang kamu bayangkan, Bun, jadi aku harap kamu harus lebih tahu kamu sendiri dan harus lebih banyak mencintai diri sendiri," ucap Rafasya, "maksud aku, saat ini, semua orang bisa jadi bom waktu."
"Entah, tapi dari hari ke hari, aku cuman semakin suka sama kamu, Rafasya, tapi semakin aku suka sama kamu, semakin aku khawatir, khawatir suatu saat aku pergi, dan aku gak bisa ketemu lagi sama kamu."
Tidak tahu mengapa, tapi aku rasa langit tiba-tiba mendung, dan aku jadi merasa sedih.
"Rafasya, kalau aku pergi, maksud aku, kalau aku udah keluar dari sekolah ini, kamu bakalan masih suka sama aku? Kamu bakalan masih jadi pacar aku kan?" tanyaku memastikan.
Rafasya mengangguk. "Kamu yakin, Bun, kamu orang yang bakalan pergi ninggalin aku? Kamu gak khawatir kebalikannya?" tanya Rafasya.
"Nggak, aku percaya sama kamu, kita harus saling percaya, kan?"
Kami berdua sama-sama tersenyum.
"Maksud aku, kamu bisa kan sekolah SMA di sebelah, SMA Rusada! Jadi biar kita gak jauh-jauh, aku juga nanti biar gak linglung atur waktu buat ketemu sama kamu!" ucap Rafasya menyerocos.
Aku tertawa, tidak mungkin aku sekolah di sana, biayanya sangat mahal, sekolah itu terkenal bergengsi, tidak sedikit orang yang membawa mobil ke sana, aku ngeri, bisa-bisa aku jadi anak buangan di sana.
"Jangan jauh-jauh dari aku, Bun, apalagi jauh-jauh keluar Bandung, kamu jangan nyiksa aku!"
Aku tertawa, begitupun Rafasya, hujan mulai turun, aku dan Rafasya berlindung di bawah atap koridor.
Aku merasa bahwa ini adalah hujan paling membahagiakan yang pernah ada. Rafasya menggiringku untuk keluar dari koridor. Kami berlari di bawah hujan, mengotori sepatu dan memetik bunga, kemudian aku kaget ketika rapotku bisa saja habis basah kuyup, namun Rafasya membawa rapotku dan menyimpannya ke dalam tas anti airnya.
Aku tidak akan pernah melupakan momen ini, mungkin saja ini adalah kali pertama dan terakhir yang aku dan Rafasya lalui. Tanpa ada yang harus dibuat sedih, kami merayakan hari kenaikan kelas bersama.
Aku jadi menyukai hujan.
~••~
Salam manis,
Airis Yulia
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafasya ✔
Teen FictionStory *3 by Airis Yulia Hanya untuk mengenang, mempelajari, mudah dilupakan atau tidak, semoga apapun yang telah terjadi adalah yang terbaik. selamat membaca bagian akhir dari kisah, "ketika Embun jatuh cinta, kepada sang pemilik Kaca Jendela."