32. Sisi Lain Rafasya

0 0 0
                                    

Dua hari setelah aku menunggu Rafasya, juga setelah Hari menyatakan bahwa dia sudah putus dengan Naura.

Pada hari itu malamnya Rafasya meminta maaf kepadaku dan berkata bahwa ia tidak bisa mengangarku pulang karena ada rapat OSIS untuk membuat program kerja. Dan saat itu pula aku mengetahui bahwa Rafasya sudah berbohong.

Kini aku mengetahui sisi lain dari Rafasya yang sudah berani berbohong padaku. Aku jadi ragu, tentang dia ada di depan kelas sambil membawa es krim saat pertemuan pertama kami, tentang Rafasya yang bolos esktrakurikuler untuk menonton film bersama teman-temannya, tentang Rafasya yang hanya mengantarkanku pulang sampai gerbang, bahkan tentang Rafasya yang tiba-tiba membatalkan acara healing kami ke taman pusat kota saat itu. Aku jadi curiga, apakah semua itu juga karena Naura?

Aku sebenarnya tidak mau peduli Naura, aku tidak mau kenal dengan Naura bahkan aku tidak mau tau Naura. Yang aku ingin peduli adalah perasaaku pada Rafasya. Sudah cukup itu saja.

Tapi Tuhan mengantarkan raga dan pikiranku untuk bertemu Naura, padahal aku sangat membencinya. Kini bahkan aku benci pada Hari yang harus memutuskan hubungan dengan Naura. Kenapa harus?

Ini hari jumat, sekolah hanya sebentar. Saat semua pelajaran telah usai dengan cepat aku keluar kelas.

"Embun!" sapa seseorang.

Aku menghentikan langkahku dan melirik ke arah sumber suara, bukan balik menyapa, aku hanya mendelik pada Hari. Aku benci orang itu.

Aku lanjut berjalan, berjalan menuju kelas Rafasya. Rafasya yang sedang berjalan bersama teman-temannya terlihat.

Kaki yang biasanya bagai dilem di atas tanah dengan lancar pergi mengantarkanku pada Rafasya.

Dengan raut wajah yang sulit diartikan, Rafasya menyuruh teman-temannya untuk pergi. Lalu ia menghampiriku.

"Embun, kenapa ke sini?" tanya Rafasya.

"Aku mau ketemu pacarku, salah?" aku balik bertanya agak ketus.

"Nggak salah, cuman aku kaget aja yang biasanya aku di depan kelas kamu, sekarang sebaliknya."

"Aku mau perbaiki kesalahan aku, biar kami gak pergi dari aku, salah?" tanyaku lagi lebih ketus.

"Kamu kayanya sensi banget hari ini, lebih baik cepet pulang langsung istirahat aja." Rafasya hendak pergi.

"Gak bisa! Aku gak mau pulang sendiri!"

"Biasanya juga pulang sendiri kan?" Rafasya menolak.

"Nggak, biasanya kamu anterin aku sampe gerbang."

"Ya udah aku anterin kamu sampe gerbang, ya, jangan marah lagi."

"Gak mau, aku pengen kamu anterin aku sampe rumah. Kemarin kamu gak ada kabar satu pesan pun, hari rabu kamu biarin aku nunggu gitu aja depan kelas, sekarang, aku yang salah lagi?"

"Kamu gak liat seragam kita apa? Kamu gak tau ini hari apa?"

"Terus maksudnya apa?"

"Kamu masih gak ngerti juga?"

"Kamu mau anterin Naura pulang kan?" sambil aku melirik ke arah kaca jendela kelas. Walaupun sedikit buram, aku tahu yang mengintip di sana adalah Naura.

"Ini hari jumat, aku harus ke masjid. Kenapa tiba-tiba ke Naura sih?" Rafasya terlihat sangat jengkel.

Aku menatap sepatuku detik itu, ingin sekali menangis, melihat Rafasya kini berbohong lagi, tak tanggung tanggung, ia melakukan itu dihadapanku sekarang.

"Aku pulang," kataku lalu pergi tanpa sedikitpun melihat Rafasya, yang aku lihat perempuan itu, perempuan licik itu yang menatapku dengan mata antagonis.

Rafasya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang