Kini satu minggu telah berlalu, aku sudah kembali tidak terlalu menanyakan tentang Bapak, dan setelah satu hari dari idul fitri Rafasya juga sudah kembali menghubungiku lagi. Menurutku, tidak ada halangan antara hari raya dan saling bertukar pesan. Tetapi, aku takut ketika pada hari itu aku dan Rafasya lebih sering berkomunikasi lewat ponsel, kebersamaan bersama keluarga menjadi kurang.
Maksud aku Rafasya dengan keluarganya, bukan aku.
"Fa, udah lama kita gak ketemu," kataku lewat telepon seperti biasanya.
"Waktu kita belum pernah ketemu, berminggu-minggu gak ketemu pun kita biasa-biasa aja, ya," katanya.
"Sekarang, aku pengen ketemu kamu, tapi kalau nunggu sekolah masih lama, kita harus nunggu tiga minggu lagi," keluhku.
Rafasya terdengar sedang menarik nafas hendak mengatakan sesuatu, namun segera aku sela dan bicara, "jangan bilang harus sabar, aku gak bisa sabar tahu."
Rafasya tertawa kecil, "siapa yang mau bilang sabar, Bun, aku cuman mau merencanakan sesuatu."
Seketika itu aku tertarik dengan apa yang Rafasya katakan.
"Apa? Rencana apa?" tanyaku penasaran.
"Gak jadi ngomongnya, udah lupa lagi," jawab Rafasya.
Sebenarnya aku tahu kalau Rafasya sedang jahil, ia melakukan itu untuk upaya memperpanjang percakapan. Aku senang-senang saja sebenarnya, tetapi apabila terlalu lama bertelepon ponselku yang jadul ini memanas dan aku khawatir ponsel ini rusak.
"Iih Rafasya, gak bisa langsung to the point gitu!" protesku.
"Kamu kalau di rumah banyak temen?" tanyanya, Rafasya selalu saja seperti ini, mengalihkan pembicaraan.
"Ada kucing empat ekor sama ayam punya tetangga," jawabku karena memang itu kenyataanya.
"Aku ada temen di rumah, tapi akhir-akhir ini aku selalu ngerasa kesepian," katanya.
"Kenapa?"
"Mungkin karena aku udah punya kamu kali, ya, jadi suasana sosialnya beda, kalau gak ada kamu, rasanya gak lengkap."
Aku tersenyum. "Asli atau bohongan nih?"
"Bohong."
Kini aku yang giliran menghembuskan nafas, tetapi bedanya, ini karena aku sangat kesal.
"Rafa, aku tutup aja, ya," ucapku lalu menutup sambungan telepon.
Tak lama kemudian Rafasya mengirimiku pesan.
Cintaku Rafasya
Yaah, gak seru ahAku tertawa kecil, lalu aku kembali menelepon Rafasya.
"Ngambeknya cuman satu menit?" tanya Rafasya.
"Mau satu abad?" tanyaku balik.
"Kamu mau aku mati penasaran karena belum dimaafin kamu?"
"Kamu mau aku mati penasaran karena belum maafin kamu?"
Beberapa detik hening, akhirnya kita tertawa.
"Kamu rencanain apa sih? Aku penasaran banget tahu," tanyaku.
"Kita main, di taman mawar di pusat kota, gimana?"
Aku tahu tentang taman itu, karena terkenal baru baru ini, dan baru saja dibuka. Aku juga senang karena akhirya aku akan pergi ke sana, aku ingin sekali melihat bunga yang mengampar luas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rafasya ✔
Подростковая литератураStory *3 by Airis Yulia Hanya untuk mengenang, mempelajari, mudah dilupakan atau tidak, semoga apapun yang telah terjadi adalah yang terbaik. selamat membaca bagian akhir dari kisah, "ketika Embun jatuh cinta, kepada sang pemilik Kaca Jendela."