Tepat pukul 3 pagi Renata terbangun karna suara petir yang bersahutan dan hujan deras yang disertai angin besar, ia memiliki ketakutan akan hujan deras dan petir saat malam hari karna kejadian yang pernah dialaminya ketika berumur 4 tahun masih membekas dalam otaknya.
Ia langsung duduk menutupi telinganya dengan kedua tangannya dan menyembunyikan wajahnya di antara lututnya, tubuhnya mengigil ketakutan dan ia menangis dalam diam. Ia selalu seperti ini jika hujan dan petir datang di malam hari, ketakutan dalam kesendiriannya, tidak ada yang tau mengenai ini. Bahkan jika di rumahnya pun Renata akan memakai headphone lalu bersembunyi di dalam selimut untuk mengurangi ketakutannya, namun saat ini dia sedang di apartment Elang dan dia lupa membawa headphone-nya.
Ia terus menangis dalam diam, ia takut jika suara tangisnya bisa membangunkan Elang, hidup dengan pamannya yang keras dan selalu melarangnya untuk menangis dan menunjukkan emosinya membuat Renata terbiasa menangis dalam diam atau menahan tangisannya.
Elang sendiri di ruang tamu terbangun ketika suara petir yang besar mengagetkannya. Ia langsung melihat jam dari ponselnya 03.15, tiba-tiba ia teringat akan sang adik Erina. Erina memang takut akan suara petir, biasanya ia akan ke kamar Erina atau Erina yang ke kamarnya jika mereka tinggal bersama, untuk menemani Erina. Jika tidak biasanya Erina akan mencari orangtuanya.
Teringat akan ketakutan Erina akan petir membuat Elang memutuskan untuk melihat sang kekasih, hanya untuk mengecek, mungkin saja kekasihnya juga ketakutan seperti sang adik. Itu yang di pikirkan Elang ketika melangkahkan kaki menuju kamarnya. Begitu membuka pintu, ia kaget melihat bayangan Renata yang terduduk di atas kasur sambil menutup telinga dan menyembunyikan wajahnya. Elang segera menghidupkan lampu kamar dan menghampiri Renata.
Ia naik ke atas kasur dan merengkuh tubuh mengigil sang gadis.
"Sayang, it's okay I'm here." ia mencoba untuk menenangkan dengan memeluk Renata dan mengelus kepalanya.
Renata yang mengetahui Elang memeluknya pun membalas pelukan Elang dengan erat, menenggelamkan kepalanya pada dada bidang Elang. Ia masih menangis tanpa suara, dadanya naik turun karna tangisan yang ia tahan agar tidak menimbulkan suara.
"Hei hei hei sayang, menangislah dengan suara, it's okay jangan ditahan, itu akan sesak. I'm here okay. Don't worry." Elang tau seberapa sesak menangis tanpa menimbulkan suara, itu sebabnya ia menganjurkan sang kekasih untuk mengeluarkan suaranya saat menangis.
Benar saja Renata langsung menangis tersedu-sedu sambil memeluk Elang erat. Setelah menangis selama 30 menit sekarang dia sudah lebih tenang, hanya terdengar suara terisak habis menangis. Hanya tersisa suara hujan dan Renata sudah jauh lebih tenang karna ada Elang disampingnya.
"Sudah lebih baik? tidurlah lagi, ini masih sangat pagi."
"Tetap disini." pintanya dengan suara khas sehabis menangis.
"Iya sayang, tidur yah." Elang pun mengatur posisi tidur mereka berdua, beruntung ia memakai queen bed, tapi meskipun begitu baik Renata maupun Elang tidak ada yang mau membuat jarak, mereka berpelukan sambil memejamkan mata. Elang tak ingin bertanya apapun, ia berpikir mungkin Renata hanya takut seperti Erina.
Tepat pukul 06.00 pagi Elang bangun terlebih dahulu, ia menatap kesamping dan melihat Renata masih tertidur dengan lelap dalam pelukannya, mata dan wajahnya bengkak khas seperti orang yang habis menangis. Ia pun mengelus pipi Renata lembut, pergerakan yang dibuat Elang mampu membuat Renata bergerak dan mulai membuka matanya, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Sungguh Renata merasa kepalanya sakit karna kebanyakan menangis.
"Selamat pagi sayang." suara berat dari Elang menyapa indra pendengarannya, belum juga ia membalas ia sudah merasakan benda hangat dan kenyal menyentuh keningnya. Heol! Elang mencium keningnya. Secara tidak sadar pipinya bersemu merah, tanda kalau dia sedang malu. Perlakuan Elang mampu membuatnya melupakan sakit kepala yang tadi sempat ia rasakan.