Hari ini Renata masih memutuskan untuk tidak ke sekolah, tadi Elang juga berniat bolos sekolah namun tidak bisa karna ada praktek yang mewajibkan pria itu untuk hadir, jadi mau tak mau Elang meninggalkan Renata di apartment.
Sedangkan gadis itu segera membersihkan diri setelah menerima pesan dari bibinya bahwa mereka ingin bertemu, Renata yakin ini untuk membahas perkaranya dengan Riko dan ia juga yakin berkas miliknya sudah sampai di pengadilan. Memang dari yang Renata tau dari Sylva, Riko sudah mendekam di penjara dan paman serta bibinya sudah tau.
Setelah itu ia langsung berangkat ke rumah pamannya. Baru saja hendak mengetuk pintu ia mendengar paman dan bibinya sedang bertengkar yang akhirnya membuatnya urung untuk mengetuk. Ia berdiri di depan pintu sambil mendengarkan semua pembicaraan paman dan bibinya.
"Gadis sialan, bisa-bisanya ia membawa kasus ini ke meja hijau." suara pamannya terdengar sangat marah.
"Sudah sewajarnya memang Riko dihukum, kau tidak melihat apa yang telah anak itu lakukan? ia hampir memperkosa Renata, keponakanmu."
"Aku tak peduli, lagi pula bisa saja gadis sialan itu yang menggoda anakku, aku sudah mengusirnya keluar dan untuk apa dia datang lagi?"
"Kita hanya mendengarkan dari sisi Riko, sudah pasti ia akan melakukan pembelaan, lebih baik untuk mendengar juga dari sisi Renata. Aku sudah menyuruhnya datang." bibinya mencoba memberikan penjelasan pada pamannya.
"Untuk apa? aku tak sudi bertemu dengan gadis sialan itu. Aku hanya ingin ia mencabut semua tuntutan pada anakku."
"Kau gila? anakmu hampir memperkosa seorang gadis dan kau ingin ia dibebaskan begitu saja tanpa diberi pelajaran? yang hampir ia perkosa adalah satu-satunya keponakanmu, tak cukupkah kau menyiksa gadis malang itu?"
"Diamlah, aku muak mendengarmu, lebih baik kau urus pria simpananmu itu. Ah pantas saja kau membela gadis itu terus-terusan ternyata kau dan dia sama saja. Aku menyiksanya? tidak, dia pantas menerimanya."
Renata mendengar suara tamparan dari dalam.
"Jaga mulutmu, kau harusnya sadar karna siapa aku begini? kau pikir kau bisa menjadi manager dan bisa menikmati hidupmu yang sekarang tanpa perjuangan dan pengorbananku? kau lupa siapa yang memohon-mohon padaku untuk mendekati pria itu agar kau mendapatkan jabatan di perusahaannya? Dan apa kau bilang? tidak menyiksanya? kau membunuh orangtuanya bedebah, kakak kandung mu sendiri. Kau bahkan mengambil semua harta warisan milik Renata hanya untuk membayar hutang-hutangmu. Kau masih bilang tidak menyiksanya? kau memang bukan manusia. Setelah ini mari kita bercerai." ucap bibinya dengan emosi.
Penjelasan bibinya mampu membuat Renata terdiam kaku, pamannya? membunuh orangtuanya? apa ini? no, no, no, tidak mungkin. Tidak, seburuk-buruknya pamannya tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Tapi apa yang di ucapkan bibinya tadi seolah menampar semua sangkalan yang dibuatnya. Jadi selama ini dia hidup dengan pembunuh ayah dan ibunya? Renata yang tidaj bisa berpikir waras langsung berjongkok di depan pintu. Air matanya mengalir dan ia menutup mulutnya agar suaranya teredam.
"Kau sendiri juga mau kan? kenapa malah menyalahkan aku? dan lagi mereka pantas mati, kau pikir aku menyesak telah membunuh mereka? tidak!" suara pamannya kembali terdengar dan hal itu mampu membuat Renata semakin gila. Semua reka adegan dimana kecelakaan yang ia alami kembali berputar dalam otaknya.
Ia tak sanggup mendengar pembicaraan itu lagi akhirnya ia berusaha berdiri dan berjalan keluar dari pekarangan rumah pamannya, ia berjalan terus dengan tatapan yang kosong. Sampai ketika matanya melihat ada taksi yang baru saja menurunkan penumpang di sekitaran rumah pamannya ia pun segera menaiki taksi tersebut dan pergi menuju tempat persemayaman orang tuanya.