06 - Mau Nikah

33.6K 2.6K 58
                                    

"Heh, Ayna! Bangun, lo kenapa nangis?"

Ayna merasakan tepukan di pipinya. Mengerjap perlahan dan matanya tak sengaja menangkap Vivi serta Pia yang berjongkok untuk melihat dirinya.

Ayna menyadari sesuatu, tadi ia mimpi buruk soal kematian Hera.

"Eh?"

"Kenapa nangis?" tanya Vivi.

Ayna menggeleng pelan. Ia melihat sekeliling ruangan sekitarnya, dia masih di kantor. Melihat kalender di depannya, masih hari yang sama, kemudian melihat jam dinding, jam masih menunjukkan pukul tiga sore.

Jadi tadi ia bermimpi bila mamanya meninggal? Bahkan ia sampai menangis di kenyataan?

"Enggak apa-apa," kata Ayna tidak mau memberi tahukan soal mimpinya baik kepada Vivi ataupun Pia. Ia tidak mau kedua orang yang dekat dengannya itu menjadi khawatir.

Vivi menghela napas. "Gue tadi mau bangunin lo karena udah jam setengah dua, tapi kata kak Pia jangan, pasti lo capek karena masalah akhir-akhir ini. Kita kaget pas denger lo nangis. Sorry kalau lo keganggu."

Ayna tertawa sembari merapikan rambutnya.

"Maaf," kata Ayna. "Maaf juga gue tidur di jam kerja."

"Enggak apa-apa, Ay. Gue ngerti."

Ayna tersenyum saat Pia mengatakan itu.

"Cuci muka dulu gih. Habis itu baru kerja. Apa mau izin pulang?" tanya Pia khawatir.

"Mau cuci muka aja, Kak."

Ayna langsung berdiri dan berjalan ke arah toilet. Sampai di sana Ayna langsung mencuci mukanya. Menatap dirinya dalam cermin, rambutnya berantakan karena tidur, wajahnya juga masih terlihat mengantuk. Ayna menghela napas. Ia mengambil ponsel dalam saku celananya. Masih 74%, jadi tidak ada kemungkinan ponselnya aman kehabisan baterai seperti di mimpi kan?

Kemudian tangan Ayna menelepon Nia, tak butuh waktu lama panggilan tersebut langsung diangkat.

"Kenapa?"

"Kak Nia lagi dimana?"

"Rumah kakak lah, kenapa?"

Ayna merasa sedikit tenang.

"Enggak apa-apa."

Ayna langsung mematikan ponselnya tanpa mnejelaskan. Semua yang di mimpi tidak akan terjadi. Tapi ia masih takut.

Ayna kembali ke ruangan, dan mulai mengerjakan tugasnya yang tertinggal karena tadi tertidur.

Sekitar 17.25, Ayna sudah diizinkan pulang.

"Vi, gue duluan ya."

"Hati-hati, Ay."

"Iya. Kak Pia, gue duluan ya."

"Iya, hati-hati ya, Ay."

"Oke, Kak."

Ayna langsung keluar sembari memegang kunci motornya. Tiba di parkiran Ayna langsung menaiki motornya dan mulai menjalankan motor itu dengan pelan. Ayna berharap ban motornya tidak akan pecah seperti dalam mimpi.

Dan, beruntung. Bahkan sampai di rumah, tidak ada masalah di motor Ayna. Ayna menghela napas lega.

Langsung masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan Hera. Ia tersenyum kala melihat Hera di ruang tengah sedang menggendong kucingnya sembari mengurus kucing yang lain.

Ayna tersenyum melihat itu.

"Ma, Ayna udah pulang."

Ayna langsung memeluk dan mencium kedua pipi Hera yang merupakan rutinitas wajibnya. Ayna sekarang benar-benar lega, semua yang terjadi di mimpinya tidak menjadi kenyataan. Ayna sangat bersyukur. Rasanya Ayna ingin memeluk Hera terus-terusan tanpa lepas.

"Mau makan?" tanya Hera.

"Nanti aja, Ma. Ayna masih kenyang."

"Mama masak ikan lho," kata Hera.

"Mama udah masak? Ih, mama kan udah dibilangin jangan masak dulu. Mama baru sembuh lho," kata Ayna yang menjadi khawatir saat tahu bila mamanya masak. "Mama harusnya istirahat aja, diem di kasur."

"Mama enggak betah, Ay. Mama cuma masak ikan goreng kok, mama kangen masakin kamu."

Ayna tertawa pelan. "Mama tuh terlalu rajin. Jangan gitu lagi ya, Ma? Istirahat aja, nanti mama capek."

"Iya, Ay. Makan ya sekarang? Dikit juga enggak apa-apa kok, yang penting cobain."

"Boleh, Ma."

Ayna akhirnya menurut walaupun sebenarnya ia masih merasa kenyang. Ia duduk di meja makan, ikan sudah ada di sana. Baru ia akan mengambil piring, Hera lebih dulu mengambilkan untuknya.

"Ini buat anak mama."

Ayna tersenyum saat Hera memberikan itu.

"Makasih, Ma."

"Makan yang banyak, ya."

Ayna mengangguk. "Iya, Mama. Ayna kalau makan masakan mama, pasti banyak. Ya kan?"

Hera menjawabnya dengan tawa kecil.

Selesai makan Ayna tiba-tiba teringat sesuatu. Wajahnya berubah jadi sendu. Mengintip wajah Hera yang masih menatapnya dengan senyuman manis. Ayna tidak tega melihat wajah milik Hera, ditambah mimpinya tadi.

"Ma," panggil Ayna.

"Kenapa sayang?" tanya Hera. "Mau minum?"

Ayna menggeleng. "Bukan."

"Terus apa?"

"Mama mau Ayna nikah, ya?"

"Banget. Mama pengen lihat Ayna nikah. Mama pengen lihat Ayna bahagia. Mama pengen tentang tanpa mikirin Ayna yang masih sendiri kayak gini."

"Tapi sama mama Ayna udah bahagia, kok," ujar Ayna mendengar perkataan Hera yang ingin dirinya bahagia apabila menikah. Padahal tanpa menikah saja dirinya sudah bahagia. "Bahagia banget. Serius deh."

"Bukan itu sayang, beda dong."

"Tapi apa mama tega ngelepas Ayna nikah?"

"Kenapa harus tega?" tanya Hera bingung.

Ayna menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Kalau mama mau Ayna nikah. Ayna bakal turutin kemauan mama. Ayna bakal nurut, Ma."

Hera diam sesaat mendengar ucapan putrinya. Dirinya merasa kaget kenapa ucapan Ayna berbeda dengan kemarin-kemarin.

"Ayna beneran mau nikah?"

Ayna mengangguk mantap. Dirinya mau menuruti kemauan mamanya. Ayna sangat sangat sayang dan cinta pada Hera, tidak apa ia mengorbankan hidupnya demi Hera. Hera sudah banyak mengorbankan hidupnya demi dirinya. Kini ia harus mengganti itu semua walaupun tidak sebanding.

"Iya, Ma. Ayna mau nikah."

Ayna tersenyum ke arah Hera. Ia terpaksa menerima ini, tapi apa boleh buat?,

"Sama Abby, apa Ayna mau?"

Ayna diam saat mendengar Abby. Yang satu Ayna lupakan. Apabila menikah, Abby lah yang akan menjadi pasangannya.

"Kok diem?"

Ayna memberikan senyum kecilnya. Kepalanya kembali mengangguk.

"Iya, Ma. Ayna mau sama Abby. Demi mama."

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang