13 - H-1

26.5K 2K 39
                                    

Ayna sudah berusaha semaksimal mungkin. Memohon-mohon pada Nia, Heru juga Ibni. Sampai akhirnya ia mendapatkan hadiah berupa tamparan di pipi kanannya pemberian Ibni. Itu terjadi kemarin dulu. Saat Ayna memohon pada Ibni agar pernikahan tidak terjadi. Ibni memang begitu, kasar. Jadi Ayna merasa itu hal biasa.

Ibni bilang semua ini sudah direncanakan Hera jauh-jauh hari, Ibni tidak mau Hera sedih di sana karena pernikahan yang batal terjadi. Ibni juga bilang Ayna sudah setuju sebelumnya.

Ayna rasanya ingin tertawa. Keluarganya ini punya otak atau tidak?

Siang ini Ayna baru saja menyelesaikan makannya. Sepertinya hari ini adalah hari terakhir Ayna menjadi seorang wanita single sebelum besok ia akan menjadi seorang istri dari seorang pria yang Ayna tak pernah inginkan lagi.

"Taro aja, biar kakak yang cuci."

Ayna menurut dan langsung mencuci tangan. Sudah seharian Ayna diam tak bicara dengan keluarganya. Ia lebih memilih diam karena malas dan merasa tidak dihargai.

Selesai mencuci tangan Ayna langsung masuk ke dalam kamar. Cahaya masuk ke dalam kamar Ayna karena kebetulan jendela kamarnya dibiarkan terbuka.

Ayna mengambil ponsel yang berada di nakas kamar, mengernyit heran saat melihat Vivi meneleponnya berkali-kali namun tak terjawab karena tadi dirinya makan.

Ayna balik menelepon Vivi.

"Gue sedih."

"Kenapa?" Ayna bingung.

"Lo besok nikah sama Abby."

Ayna diam.

"Gue enggak suka sama Abby, Abby pernah nyakitin lo. Abby pernah jahat sama lo."

"Gue juga enggak mau, Vi. Tapi keluarga gue," kata Ayna sembari menatap lantai. Memikirkan nasibnya ke depan, bagaimana kehidupannya setelah menikah dengan Abby.

"Gue tau."  Vivi diam beberapa detik, "Gue nangis. Lo denger kan suara ingus gue yang naik turun?"

Ayna yang tadinya merasa sedih sedikit terhibur. Suara ingus? Haha.

"Lo ini kenapa, gue yang mau nikah, kok lo yang nangis?"

"Gue sedih, Ayna. Gue masih inget kejadian beberapa bulan yang lalu, lo nangis-nangis karena mau dijodohin sama Abby. Eh sekarang beneran mau nikah. Sial. Ay, gua mau minta sesuatu sebelum lo besok jadi istri orang."

"Minta apa?" tanya Ayna. Ia berjalan menuju kasur, merebahkan badannya sembari memeluk guling. "Jangan aneh-aneh."

"Enggak lah."

"Ya udah, apa?"

"Kalau ada apa-apa cerita, ya. Maksudnya semisal Abby aneh-aneh kayak deket sama cewek atau lo udah curiga Abby deket sama cewek, cerita sama gue. Biar gue hajar tuh Abby."

Ayna tertawa pelan.

"Gue pasti bakal cerita."

"Bagus. Oh, iya, soal anaknya Abby. Gimana?"

"Gimana apanya?"

Vivi tak menjawab, namun Ayna mendengar ada suara tangisan yang Ayna yakini adalah anak Vivi, Ardan.

"Anak lo nangis?"

Masih tak ada jawaban, sampai beberapa detik kemudian Ayna mulai mendengar suara Vivi lagi.

"Ay, gue matiin teleponnya ya. Tiba-tiba anak gue nangis."

"Iya, matiin aja."

"Ay, semoga besok lancar ya. Gue berdoa buat pernikahan lo semoga baik-baik aja. Walaupun gue tau Abby gimana, gue berharap enggak ada yang misahin lo sama Abby kecuali maut. Gue tau gimana perasaan lo ditambah kelakuan keluarga lo yang enggak mendukung lo. Intinya, kalau ada apa-apa bilang sama gue. Oke?"

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang