07 - Hari Sial

31.3K 2.5K 30
                                    

"Pak, saya lupa kunci motor saya, gimana ya pak?"

Sudah 5 menit Ayna muter-muter ruangannya juga parkiran serta jalanan yang Ayna lewati seharian selama bekerja.

"Kok bisa?"

Tukang parkir di kantor Ayna ikut bingung.

"Susah sih mbak kalau kuncinya lupa. Apa mau ditinggal aja motornya?"

"Iya ya. Ya sudah pak tinggal aja."

Ayna lelah mencari. Ia menyerah.

"Naik apa mbak habis ini?" tanya tukang parkir yang tentu sudah mengenal Ayna.

"Ojek online, pak. Duluan ya," kata Ayna dan langsung memilih menunggu di luar kantor. Ia membuka aplikasi di ponselnya dan langsung memesan ojek online yang akan mengantarkannya ke rumah.

"Ay."

Ayna menoleh ke arah samping, ia melihat Abby yang memanggilnya dan kini pria itu mulai mendekatinya. Ayna sedikit khawatir. Berharap ojek online yang baru saja dipesannya segera datang.

Tapi sayang, Abby lebih dulu datang.

Sepertinya pria itu juga baru pulang kerja, terlihat dari kemeja yang dikenakan.

"Kenapa?" tanya Abby melihat Ayna ketakutan.

Ayna tidak menjawab. Ia fokus menatap ponsel dan mengetikkan sesuatu untuk membalas pesan dari bapak ojek online pesananannya.

Ayna berjalan ke arah kanan agar bisa menjauh dari Abby, ditambah jaraknya dengan ojek online yang dipesannya akan datang lebih cepat.

"Ay, mau kemana?"

Abby mengikutinya namun Ayna tidak berniat menjawab.

"Pulang sama aku," kata Abby.

Ayna menggeleng tak bersuara. Ia tidak mau dekat dengan pria itu walaupun dirinya memang sudah setuju untuk menikah dengan Abby.

"Ay, kunci motor kamu hilang kan? Ayo pulang sama aku." Abby terus memaksa. "Daripada lama pesen ojek online.

"Apasih, enggak usah pegang-pegang."

Ayna menyingkirkan lengan Abby yang memegang pundaknya. Ayna juga mendengar helaan napas Abby.

"Tunggu sini, aku bawa mobilnya ke sini!"

Ayna tak menurut, ia terus menunggu ojek online yang dipesannya datang. Tapi nihil, bahkan sampai Abby datang dengan mobilnya, tukang ojek online yang dipesannya masih berada jauh darinya.

"Ay, naik!"

Abby berkata dari kursi kemudi.

Ayna masih tidak menurut. Sampai akhirnya Abby turun dan memaksa agar Ayna ikut. Abby menarik tangannya dengan kuat sampai Ayna sedikit kesakitan.

"Lo kasar banget ya jadi cowok?"

"Niat aku baik, bantu kamu. Tapi kamu dibantu malah gini, tinggal naik, Ay."

"Gue enggak mau."

"Ada yang mau aku omongin soal pernikahan. Kamu terpaksa kan? Aku punya rencana."

Ayna tiba-tiba tertarik dengan perkataan Abby barusan. Apakah Abby punya rencana agar pernikahan mereka tidak terjadi?

"Oke."

Akhirnya Ayna menurut. Ia membuka pintu belakang mobil namun kaki Abby menghalanginya.

"Di depan, aku bukan supir kamu."

Ayna menghela napas, membuka pintu mobil bagian depan. Terpaksa ia harus duduk di samping Abby. Sejujurnya ia tidak mau dekat dengan pria itu.

Setelah Abby masuk, pria itu langsung menjalankan mobilnya.

Untuk pertama kalinya Ayna pergi berdua bersama Abby dengan menaiki mobil. Selama mereka berpacaran dulu, mereka tidak pernah sekalipun berduaan seperti ini.

"Kamu benci aku ya, Ay?"

"Bahas yang mau dibahas," tegur Ayna.

"Aku mau bahas itu," balas Abby sembari melirik Ayna yang kini fokus terhadap ponsel.

"Lo pikir sendiri gimana."

Abby menghela napas.

"Aku udah punya rencana buat pernikahan kita."

Ayna banyak berharap, apakah Abby juga terpaksa menerima ini?

"Apa?"

"Kita nikah dalam waktu dekat. Kalau perlu akad nikah besok. Kamu takut gagal untuk kedua kalinya kan?"

Ayna kaget, menatap tajam ke arah Abby yang ada di sampingnya. Apa-apaan? Dikira nikah itu mudah? Akad besok? Abby ini gila.

"Lo sehat?"

"Semenjak putus dari kamu, enggak. Aku enggak sehat."

Ayna bingung harus bagaimana. Bisa-bisanya tadi ia berpikir kalau Abby memiliki rencana untuk membatalkan pernikahan yang sudah diharapkan kedua pihak. Ternyata tidak. Malah Abby merencanakan hal di luar kepalanya.

"Lo gila."

"Semenjak putus dari kamu, iya. Aku gila."

Ayna menggelengkan kepalanya.

"Turunin gue di depan deh. Stres gue lama-lama di sini," kata Ayna menunjuk sebuah tempat makan. "Gue pengen ke situ."

"Kamu mau makan?"

"Enggak, gue mau kabur dari lo."

Abby tertawa membuat Ayna bingung.

"Ay, besok kita nikah, ya."

"Enggak. Apa-apaan nikah besok? Gue setuju juga karena mama gue, ya. Ogah banget gue nikah sama lo, dipikir gue udah enggak sakit hati gitu? Undangan udah jadi tinggal disebar tapi lo kabur terus balik bawa cewek mana udah hamil." Ayna tertawa miris mengingat itu, memandang ke arah jalan yang kini penuh lalu lalang kendaraan di jam kerja. "Sakit sumpah, dan sekarang gue malah harus nikah sama lo. Lo tau? Gara-gara lo lakuin itu gue jadi takut kenal sama cowok."

Mobil berhenti di lampu merah. Ayna menahan tangisnya kala mengingat itu. Ia tidak mau terlihat menyedihkan karena ditinggal Abby hampir 7 tahun yang lalu.

"Maafin aku." Abby menperdekat jaraknya, ia bisa sadar bila Ayna menahan tangisnya. Dengan sigap ia mengusap wajah Ayna dengan tangannya. "Maafin aku yang dulu. Aku janji enggak bakal gitu lagi, Ay. Jangan nangis."

Ayna tak bersuara kemudian menangkis tangan Abby. Karena lampu merah, itu lah kesempatan Ayna untuk turun dari mobil Abby. Ayna membuka pintu dan langsung turun sambil berlari ke pinggir jalan.

Ia langsung menaiki angkot yang kebetulan lewat di tengah jalan. Tidak apa-apa, kali ini ia akan naik angkot karena ia tidak mau Abby mengejarnya karena menunggu ojek online seperti tadi.

Ayna menghela napas saat angkot ini berjalan dengan cepat. Abby tidak akan bisa mengejarnya. Ayna mengusap wajahnya kasar. Beruntung angkot yang dinaikinya sepi penumpang.

Ayna merogoh tasnya, mencari ponsel miliknya. Namun nihil, Ayna tidak menemukan itu.

"Kok enggak ada, ya?"

Ayna kembali mengecek, hasilnya sama aja. Sampai akhirnya Ayna teringat bila ponselnya Ayna letakkan di kursi tempat duduknya. Ayna menepuk jidatnya keras. Sial, hari ini hari paling sial yang Ayna pernah lalui.

"Mana ponsel gue enggak dikasih password. Sial sial!"

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang