10 - Pergi

28.9K 2.2K 9
                                    

Terhitung sudah 40 hari Hera pergi untuk selamanya. Ayna masih ingat hari itu di mana Abby meneleponnya dan mengabarkan bila Hera terjatuh di kamar mandi dan berada di rumah sakit, Ayna langsung bergegas menuju rumah sakit yang diinfokan Abby. Namun belum sempat Ayna sampai di rumah sakit, Nia mengabarkan bila Hera tak tertolong.

Ayna menahan napas kala mengingat itu. Hari ini keluarganya akan mengadakan acara 40 harian kepergian Hera. Ayna menghela napas lalu bangun dari duduknya.

Ada Aira yang mengikutinya di belakang, mengikuti Ayna yang berjalan ke arah kamar.

"Tante, habis ini mau tinggal sama siapa?"

Ayna menatap cermin di kamarnya, lalu beralih melihat Aira yang kini berada di sampingnya.

"Enggak tau."

"Ikut Aira aja."

Ayna diam tak bersuara. Fokus menatap cermin untuk memakai make up. Acaranya masih nanti malam, sedangkan pagi ini ia akan pergi bekerja terlebih dahulu dan pulang lebih awal.

"Gimana Tante?"

"Di sini aja. Tante udah gede, enggak perlu teman. Udah bisa mandiri." Ayna akhirnya menyahut. "Tante pergi dulu, deh."

Ayna langsung mengambil tas yang berada di kasur. Tas miliknya sudah ia siapkan sejak tadi, ponselnya dan beberapa benda lainnya sudah ada di dalam sana.

Tanpa menoleh ke arah Aira, Ayna langsung pergi. Hari ini adalah hari Senin, Ayna takut macet dan berujung kesiangan.

"Ay, motor mau dipake. Jangan dibawa, ya."

Saat Ayna memakai sepatu, Nia muncul di balik pintu depan.

"Mobil juga jangan, ya. Kakak mau pakai buat ambil catering."

Ayna menghela napas.

"Mobil kakak mana?"

"Kunci mobilnya kebawa sama suami kakak."

Ayna menghela napas. Ada-ada saja.

"Ya udah, biar Ayna pesen ojek online."

Ayna mengambil ponsel dari dalam tasnya. Membuka aplikasi ojek online langganannya dan langsung memesan.

"Jangan lupa kamu harus pulang lebih awal ya, Ay. Nanti banyak keluarga yang ke sini lagi. Jangan sampai telat, awas aja. Harusnya sih kamu enggak usah kerja, bantu kakak di sini.""

"Capek di rumah."

"Ya udah."

Ayna mengangguk sekilas.

Siangnya Ayna pulang lebih awal. Bukan karena acara, tapi karena kepalanya yang terasa pusing secara tiba-tiba.

"Lho, udah pulang?" Nia yang tengah duduk di karpet yang sengaja dipasang di depan rumah terkejut melihat Ayna yang tiba-tiba muncul dari pagar. Ia langsung berdiri dan menghampiri Ayna. "Ada apa?" tanyanya.

Ayna menggeleng. Matanya melihat ke arah sekeliling rumah yang terlihat begitu ramai. Banyak keluarga dari mendiang mama dan papanya yang datang ke sini, tatapan Ayna jatuh pada adik papanya yang tengah tersenyum menatapnya.

Ayna langsung meninggalkan Nia dan mendekati omnya.

"Halo, om."

"Udah pulang, Ay?" tanya Wirya, nama om Ayna sekaligus adik papanya. Kebetulan papa Ayna hanya memiliki satu saudara kandung, hanya Wirya seorang. "Kok siang-siang gini?"

Ayna mengagguk. "Udah, Om. Harusnya sih jam lima lebih beberapa menit, cuma kepala Ayna sedikit pusing jadi izin."

Wirya mengangguk paham.

"Oh, lebih baik gitu ya. Ya sudah, istirahat sana."

Ayna mengangguk, namun sedikit bingung kenapa Wirya ada di sini padahal yang ia tahu Wirya ada di Jayapura karena urusan pekerjaan. Tidak mungkinkan Wirya datang ke sini hanya demi acara 40 harian Hera?

"Om udah selesai kerjaannya?" tanya Ayna tak kunjung masuk juga ke dalam rumah. "Bukannya yang Ayna denger om masih di Jayapura?"

"Demi Ayna om ke sini," sahut Wirya tertawa lebar.

Ayna mendadak bingung, kenapa demi dirinya?

"Kok gitu om?"

Wirya menghentikan tawanya dan langsung menggelengkan kepalanya. Menyuruh Ayna masuk ke dalam rumah dan beristirahat.

Ayna menurut. Kepalanya juga masih terasa pusing, ia butuh istirahat. Ia ingin menidurkan badannya di kasur empuk miliknya, berharap pusing yang dideritanya ini langsung hilang.

***

Sore hari sekitar jam 5 sore, Ayna bangun. Sengaja lebih sore karena hari ini Ayna sedang ada halangan jadi tidak shalat. Saat Ayna membuka pintu kamar, suasana rumah terlihat ramai. Banyak keponakan Ayna yang berkumpul di sini, serta saudara-saudara.

Ayna melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.

"Lho, lo ada di sini?" Ibni menghentikan langkah Ayna. "Enggak kerja?"

Ayna menggeleng, menahan napas selama beberapa detik saat melihat Ibni di hadapannya. Ia malas berdebat dengan pria satu ini.

"Ada, kerja setengah hari."

"Lah, kenapa? Baru bangun? Kenapa enggak bantuin yang lain?"

Kali ini Ayna menghela napas. Tuh kan, ada saja bahasan yang Ibni keluarkan dari mulut agar bisa berdebat dengan dirinya.

Tanpa menjawab, Ayna langsung pergi dari hadapan Ibni dan mengambil handuk yang tersedia di balik pintu kamar mandi, handuk miliknya.

"Udah mau nikah, tapi kelakuan masih kekanakan."

30 menit kemudian Ayna selesai mandi. Langsung keluar dan duduk bersama keluarga yang lain di ruang tengah. Ayna lumayan suka dengan suasana ramai keluarga ini, hanya saja ada yang kurang, Hera. Walaupun Ayna sadar, mereka semua di sini untuk mendoakan kepergian Hera.

"Rencana kedepannya gimana, Ay?"

Ayna baru saja mendudukan pantatnya di karpet yang sengaja di gelar di ruang tengah. Walaupun beberapa orang tengah duduk di sofa empuk di pojok ruangan ini.

Pertanyaan dari Wita, istri dari om Wira membuat Ayna tersenyum. Ayna tahu maksudnya.

"Tetep fokus kerja, Tan. Mau gimana lagi, mama udah enggak ada."

"Lho, kamu masa nikah tetep kerja? Mending di rumah, Ay. Ngurus suami."

"Nikah?"

Ayna mengernyitkan alisnya. Entah sudah berapa hari ia tak mendengar kata nikah. Bahkan semenjak Hera meninggal, ia sudah tidak memikirkan itu, menikah? Ingat, Ayna tidak ingin menikah bahkan sampai dirinya mati. Bahkan sekarang ia sudah bebas ingin memutuskan untuk menikah atau tidak.

"Iya, minggu depan kan kamu nikah."

"Hah?!"

-

Hai, semua! <3

Akhirnya bisa update lagi setelah sekian lama, dikarenakan kemarin sibuk mikirin pekerjaan akhirnya sekarang ada waktu luang hehe.

Jangan lupa kasih bintang dan komentar ya, terima kasih!!

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang