36 - Salah Besar

30.6K 2.3K 205
                                    

Ketika sampai rumah, Abby meminta untuk memasakkan suatu makanan. Istrinya itu langsung menurut. Kia sudah bangun setelah sejak tadi tertidur di mobil. Kini bocah itu Abby biarkan menonton televisi.

Sedangkan Abby duduk di meja makan, bermain ponsel sembari sesekali matanya memerhatikan Ayna yang tengah fokus memasak.

Ia menghela napas. Tak lama kemudian ia mendapatkan notif dari Ibni bila pria itu telah mengirimkan uang yang tadi sore bilang untuk Ayna.

"By, gue mau kasih tau lo suatu hal yang bahkan Ayna sendiri enggak tahu. Gue dan Ayna, bukan anak mama Hera. Gue, Ayna, terus Heru, Nia itu satu bapak beda Ibu."

Hampir 2 tahun yang lalu, Abby mendengar kalimat itu langsung dari mulut Ibni. Setelah hampir lima tahun tidak pernah memunculkan diri di hadapan keluarga Ayna. Tapi untuk pertama kalinya, ia bertemu Ibni secara tidak sengaja.

"Gue berharap lo bisa balik sama Ayna. Gue tahu, gue sadar, dan masih ingat yang lo lakuin beberapa tahun lalu bikin Ayna sakit hati dan bikin keluarga malu. Tapi, By, cuma lo yang bisa gue andelin. Cuma lo yang bisa gue percaya."

Abby saat itu jelas menolak. Ia jelas tidak mau kembali pada Ayna walaupun perempuan itu kembali menerimanya. Ia sangat tidak mau. Jangankan untuk kembali bersama, memunculkan diri saja rasanya Abby sangat malu dan tidak pantas. Ia sadar dengan yang diperbuatnya beberapa tahun lalu.

"Ayna mau dijodohin sama teman suaminya Kak Nia. Mereka lagi butuh uang. Gue sempat enggak percaya, tapi kenyataannya begitu."

Abby saat itu masih menolak. Namun, Ibni memohon padanya. Bahkan sampai bersujud di kakinya saat pria itu datang ke apartemen yang saat itu menjadi tempat tinggalnya sementara.

Abby tetap pada pendiriannya, menolak untuk kembali pada Ayna apalagi untuk menikah dengan perempuan itu. Ayna pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik daripada dirinya. Ayna perempuan baik, tidak pantas bersanding dengan pria seperti dirinya.

Fokus Abby saat itu hanya Kia. Ia ingin membesarkan Kia sendirian. Bekerja untuk Kia, hidup untuk Kia seorang diri. Saat itu, Salma telah pergi untuk selamanya. Bahkan saat itu, Abby berjanji pada dirinya untuk tidak menikah dengan orang lain agar fokusnya pada Kia tidak terbagi.

Ibni tetap memohon padanya. Pria itu bilang,  seringkali marah pada Ayna sampai bermain fisik karena tidak mau Ayna dinikahi oleh teman suami Nia yang umurnya jauh di atas Ayna. Ditambah itu terjadi karena niat buruk Nia yang butuh uang.

Ibni sudah melakukan banyak hal. Meminjamkan uang ke bank dan memarahi Nia seperti yang dilakukannya pada Ayna. Sayangnya Nia sudah terhasut oleh sang suami.

"Gue udah pernah ribut besar sama Nia. Tapi sama aja, mereka berdua malah bilang bukannya bagus biar mama enggak ngurusin anak selingkuhan suaminya lagi? Mama udah tua, enggak banget kalau masih urus Ayna yang umur segitu seharusnya udah nikah dan hidup mandiri. Gue udah benar bingung, di pikiran gue cuma lo, By."

Abby sempat tak percaya bila Ibni dan Ayna bukanlah anak kandung Hera, tapi pengakuan Ibni pada hal lain membuatnya percaya begitu saja.

"Gue saat itu sakit hati. Gue kakak Ayna, secara satu bapak dan satu ibu, bener-bener sakit hati banget. Gue tau, nikahin lo sama Ayna adalah kesalahan besar. Gue buat Ayna dapat karma dari apa yang papanya lakuin di masa lalu. Tapi itu lebih baik daripada Ayna harus nikah dipaksa karena Nia yang butuh uang. Ditambah, cuma lo laki-laki yang kenal banget Ayna secara luar dalam, bahkan gue yang kakaknya aja enggak gitu. Lo tau kan gue dan Ayna dari dulu enggak terlalu dekat."

Abby akhirnya setuju setelah memikirkan beberapa hari ucapan Ibni. Datang ke rumah Ayna di siang hari, di mana saat itu Ayna pergi bekerja. Mengunjungi Hera yang memang selalu ada di rumah, meminta maaf pada wanita itu atas nama keluarga. Sempat Hera tidak menerimanya. Melempar wajahnya dengan air dari gelas. Juga beberapa perlakuan tidak baik.

Abby langsung kapok, menyerah pada Ibni. Namun, Ibni memohon. Sampai akhirnya Abby berhasil meyakinkan keluarga besar Ayna walaupun dengan sedikit bantuan dari Ibni.

"Udah."

Abby langsung menolah pada Ayna yang kini menyerahkan sepiring nasi goreng padanya. Kemudian perempuan itu meninggalkan Abby untuk mengambil sendok juga gelas berisi air minum.

"Tadi aku ketemu kak Ibni," kata Abby ketika mendengar langkah kaki Ayna yang mendekat. "Dia minta nomor rekening aku."

"Buat apa?" tanya Ayna kemudian duduk di seberang Abby. Ia tak ikut makan, karena perutnya masih terasa kenyang. "Kasih kamu uang?"

Abby mengangguk, tapi kemudian menggeleng membuat Ayna bingung.

"Gimana sih?"

"Kak Ibni kasih uang ke aku, segini."

Abby menunjukkan layar ponselnya pada Ayna. Ayna yang melihat nominal yang tertera di sana kaget bukan main. Nominal yang baginya lumayan besar. Mungkin kalau dihitung, itu adalah gajinya selama 2 tahun lebih.

"Hah? Uang buat apa?" tanya Ayna.

"Uang warisan papa kamu pas meninggal, cuma saat itu Kak Ibni yang pegang, katanya gitu," jelas Abby. Ia hanya menyampaikan pesan dari Ibni.

Ayna sedikit bingung. Ia tak terlalu paham dengan kata 'uang warisan' yang dimaksud Abby barusan.

"Intinya itu, nanti aku kasih kamu."

Abby meletakkan ponselnya di atas meja. Mulai memakan nasi goreng campur kecap buatan Ayna. Perempuan itu masih setia di seberangnya, duduk sembari memainkan ponsel.

Sampai akhirnya Abby selesai makan.

"Kia udah makan?"

Abby baru berjalan selangkah untuk mengambil minumannya yang habis.

"Kenapa?"

"Kia udah makan?"

"Belum. Tapi tumben kamu tanya soal Kia?"

"Aku cuma tanya soal makan, enggak lebih. Masih ada sedikit nasi goreng di wajan, siapa tau Kia belum makan. Kan sayang, dari pada dibuang," kata Ayna. "Kamu tanya Kia mau makan atau enggak, nanti aku siapin."

Abby mengangguk asal. Nanti Abby akan menanyakan itu pada Kia, karena ia yakin kalau sekarang anaknya itu pasti masih memakan snack yang dibeli tadi di minimarket. Ia langsung melanjutkan tujuan awalnya berdiri. Ayna masih di posisi yang sama.

"Oh, ya, besok kan hari Minggu. Aku pengen ajak kamu jalan-jalan sama Kia? Mau?"

"Kemana?"

"Terserah kamu, aku bakal setuju kemana pun."

"Sama Kia?" tanya Ayna. Ia tidak salah dengar kan tadi Abby bilang kalau mengajak dirinya juga Kia untuk jalan-jalan.

"Iya. Kenapa? Kamu keberatan?"

Ayna menggeleng.

"Bagus. Aku juga lagi pengen ajak Kia, udah lama aku sama dia enggak pergi ke tempat liburan." Abby kembali duduk. Menoleh ke arah Ayna untuk kembali bertanya, "Kalau kamu setuju ikut, tentuin tempat yang mau kamu datangin."

Ayna ikut menatap Abby. Detik itu juga ia langsung memalingkan wajahnya dan kembali melihat layar ponsel miliknya yang masih menyala.

Ia diam memikirkan perkataan Abby barusan. Haruskah ia ikut? Sebenarnya ia juga butuh liburan, semenjak menikah ia tak pernah berada jauh dari rumah dan kantor. Mungkin ini bisa jadi kesempatannya untuk mengistirahatkan pikiran. Walaupun harus bersama Abby.

"Oke."

"Kemana?"

Ayna berpikir. Sampai akhirnya pikirannya tertuju pada satu tempat yang menenangkan. Ayna langsung mengatakan itu, dan Abby pun setuju.

-----

Hai, semua. Maaf baru bisa update lagi.

Oh, iya, untuk kalian yang mau kasih kritik saran untuk cerita ini boleh banget. Tapi, lain kali gunakan bahasa yang baik, jangan kasar atau pakai bahasa binatang ya, bahkan kemarin ada yang chat ke Instagram cuma untuk ngata-ngatain. Aku bakal terima semua masukan kok, selagi itu sopan. Terima kasih.

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang