Ayna sampai rumah sekitar jam 7 malam. Memberi salam dan melihat Abby yang telah tiba di rumah lebih dulu daripada dirinya. Ayna tadi langsung pulang setelah diberi nasihat oleh mama Vivi, Ayna juga jadi sedikit paham soal pernikahan.
"Kok baru pulang, Ay?" tanya Abby.
"Rumah Vivi."
"Ngapain? Kok enggak ngabarin aku? Kirain aku kamu ada rapat atau apa gitu, makanya aku enggak telepon kamu."
Ayna tak langsung menjawab karena bingung harus memberi jawaban seperti apa. Tidak mungkin bila ia jujur ke rumah Vivi untuk menghindari Abby di rumah.
"Pengen main, aku bosen," alibi Ayna.
Abby mengangguk paham.
"Aku udah beli makanan," kata Abby. Tangannya menunjuk ke arah plastik putih yang berada di meja.
Menatap ke arah sana. Ayna kebingungan. "Apa?"
"Nasi goreng kepiting."
Perut Ayna masih terasa kenyang. Tadi Mama Vivi memberi banyak nasihat padanya, seperti bagaimana menjadi seorang istri yang baik, bagaimana memperlakukan suami, dan lainnya. Setelah selesai, mama Vivi juga menyuruhnya untuk makan malam bersama. Jadi Ayna ikut karena kebetulan ia malas membeli makanan ditambah ia lelah bila harus membuat makan setelah tiba di rumah.
"Aku udah makan."
Hanya itu yang Ayna katakan, setelah itu ia mulai masuk kamar untuk membersihkan badan. Ayna jadi tidak merasa enak terhadap Abby setelah diberi nasihat oleh mama Vivi. Ditambah soal perlakuannya pada Abby walaupun menurut dirinya sendiri itu wajar mengingat bagaimana kelakuan Abby dulu.
Seperginya Ayna, Abby menghela napas. Kemudian kembali fokus terhadap ponselnya dan mencoba tidak memperdulikan sikap Ayna barusan.
Baru Abby ingin membuka salah satu aplikasi di ponselnya, Ayna kembali.
"Abby, aku mau tanya."
"Apa?"
"Kamu enggak masalah kan soal kita—"
"Aku tahu, yang udah pernah kamu bahas sebelumnya kan?" tanya Abby.
Ayna mengangguk, menyandarkan badannya ke tembok. Ia jadi kepikiran soal nasihat dari Vivi juga mamanya yang memberi nasihat padanya soal pernikahan yang tengah ia jalani.
"Enggak apa-apa. Aku bakal tunggu kamu sampai siap," kata Abby yang membuat Ayna tidak terlalu kepikiran. "Kenapa kamu tanya itu?"
Ayna menggeleng.
Kemudian kembali masuk kamar untuk benar-benar membersihkan diri dan tidak kembali lagi ke luar kamar. Ia akan membersihkan diri dengan cepat, ia butuh istirahat.
Abby masih di luar. Berjalan menuju dapur untuk mengambil makanan ringan di rak makanan. Namun urung saat ponselnya berdering, Abby langsung mengangkatnya.
"Iya, Bang?"
Baim, Kakak tiri Salma meneleponnya. Entah ada apa. Tidak mengabarinya lewat pesan terlebih dahulu.
"Udah pulang kerja kamu?"
"Udah, Bang."
Abby berdiri dan memilih luar rumah menjadi tempat ia berkomunikasi lewat telepon dengan Baim. Ia tidak mau Ayna mendengar pembicaraannya.
"Istri kamu mana?"
"Di kamar, Bang. Lagi istirahat baru pulang kerja." Abby tahu sebenarnya Ayna sedang membersihkan diri.
"Lho, masih kerja dia?"
Abby menggarukkan kepalanya yang tak gatal. Kemudian mendudukkan pantatnya di kursi depan rumah. Menatap jalanan di hadapannya yang kosong, ia tahu balasan apa yang akan Baim katakan selanjutnya bila ia menjawab pertanyaan Baim barusan.
"Masih, Bang."
"Oh, pantas aja Kia masih di sini.”
"Bunda yang pengen, Bang. Bukan kemauan aku. Bunda bilang biar Kia di rumah aja, biar bunda ngga kesepian kalau bang Baim belum jadwalnya ke rumah."
Abby tahu ada rasa tidak suka Baim terdapat Ayna. Karena sejak awal ia izin menikah, Baim terus bersikap tidak baik padanya. Bahkan sampai meminta foto Ayna dengan memaksa.
"Kamu enggak kasihan sama Bunda? Udah tua, urus cucunya sendirian. Padahal papa sama ibu tirinya ada, tapi kok tega dititipin di rumah neneknya? Kia masih kecil, masih butuh kasih sayang orang tuanya."
Abby mencoba menahan rasa kesalnya. Ia tahu bagaimana sikap Baim.
"Bang, Bunda yang minta. Sebelum nikah, aku udah izin bawa Kia buat serumah sama aku. Tapi bunda enggak izinin dan tetap minta supaya Kia sama aku kalau libur aja. Bunda enggak mau Kia sendirian di rumah kalau aku kerja."
"Ya kan ada istri kamu, By."
"Dia kerja, Bang. Kia juga enggak mungkin langsung mau gitu aja dekat sama istri aku."
"Gimana langsung mau kalau kamu aja jarang deketin dia sama istri kamu? Harusnya ya, istri kamu kayak Rena, diem di rumah. Tugasnya cuma urus anak sama suami, udah gitu. Enggak perlu kerja. Biar Kia deket sama istri kamu."
Abby diam, ia memberikan Baim untuk terus bicara sebelum ia akan bicara banyak hal. Entah kenapa Baim sekarang ini begitu menyebalkan dibanding sebelumnya. Bahkan menyuruh-nyuruh Ayna untuk tidak bekerja. Bahkan dirinya sendiri saja tidak memaksa Ayna untuk berhenti bekerja.
"Kamu tahu enggak kalau terus-terusan begitu si Ayna bisa aja jadi ibu tiri yang jahat kayak di film-film. Harusnya kamu deketin Kia sama istri kamu. Ajak Kia tinggal di rumah kamu. Suruh istri kamu berhenti bekerja, contoh lah Rena. Atau istri kamu tuh emang jahat ya ke Kia? Mungkin Bunda udah punya feeling begitu, makanya enggak izinin."
Abby jadi heran, kenapa bahasan Baim jadi mengarah ke banyak hal?
"Bang, kan udah bilang Bunda yang pengen Kia tetap tinggal di sana. Aku udah pernah minta, tapi bunda nolak. Ya udah aku setuju. Lagian bang, Ayna enggak sejahat yang abang pikirin. Terus Ayna itu istri aku, aku yang berhak mutusin dia buat kerja atau enggak. Kok bang Baim yang jadi maksa gini? Bang Baim tuh cuma kakak ipar aku."
"Emang kamu pikir orang yang kamu tinggalin dulu enggak sakit hati? Bisa aja istri kamu yang dulu sama sekarang beda. Dia nikah sama kamu posisinya kamu udah jadi seorang duda anak satu. Kamu harus inget, kamu ninggalin Ayna dulu karena Salma hamil duluan. Aku kalau jadi perempuan ju—”
Abby langsung mematikan panggilan dengan Baim secara sepihak. Ia tidak mau mengata-ngatai dan meluapkan amarahnya terhadap pria yang menjadi kakak iparnya dulu.
Ia duduk dan meletakkan ponselnya di meja sebelah kursi. Padahal di awal Baim bilang agar Kia tinggal di rumahnya agar jadi lebih dekat dengan Ayna, tapi kenapa di akhir obrolan Baim bilang bila Ayna adalah ibu tiri jahat seperti di banyak film?
"Abby, Salma tuh punya kakak?"
Abby menoleh dan melihat Ayna yang berada di dekat pintu. Sedikit kaget. Entah Ayna mendengar atau tidak pembicaraannya, tapi Abby yakin Ayna mendengarnya. Pertanyaan Ayna menjadi buktinya.
"Iya, punya." Abby melirik Ayna. "Kamu dengar?"
"Enggak sengaja." Timbul kebingungan di pikiran Ayna. Padahal seingat ia Rini pernah bilang bila Salma adalah anak tunggal. Anak satu-satunya. "Abby, mau tanya. Dulu bundanya Salma pernah bilang kalau Salma itu anak tunggal. Kenapa sekarang beda?"
"Bunda cerita apa sama kamu?" tanya Abby sedikit bingung karena Ayna tahu soal Salma. Dan kapan Rini bercerita soal itu?
"Banyak."
"Itu tadi kakak tirinya Salma. Salma emang anak tunggal."
Ayna tersenyum tipis ia paham. "Oh, iya. Kunci motorku di mana?"
"Mau kemana?"
Ayna menggeleng. "Enggak kemana-mana. Buat besok berangkat kerja, aku takut kelupaan."
———
KAMU SEDANG MEMBACA
Bersama Mantan
Romance[SUDAH TAMAT. PART LENGKAP HANYA BISA DIBACA DI KARYAKARSA/PDF] Gimana ya rasanya nikah sama mantan pacar? Di usianya yang sebentar lagi menginjak 27 tahun, Ayna belum juga menikah. Trauma tentang kejadian hampir 7 tahun yang lalu membuat Ayna memil...