41 - Makam

24.2K 1.9K 56
                                    

Sebuah pemandangan yang tak asing muncul di penglihatan Ayna. Warna hijau dengan banyak gundukan tanah. Ayna pernah ke sini, bahkan terbilang sering, tapi dirinya belum pernah sekali pun berkunjung ke tujuan mereka kali ini.

Mereka berenam kemudian berjalan ke salah satu makam yang ada di paling ujung dekat sebuah pohon beringin besar. Ayna belum pernah ke sana, tapi mungkin Ibni pernah, atau bahan Abby juga.

Setelah perdebatan dan rasa ketidakpercayaan Ayna tadi, Ibni langsung mengajak Ayna ke sebuah pemakaman yang tak jauh dari rumahnya. Ibni, istrinya, juga anaknya langsung mengajak Ayna juga Abby ke sini.

Di sini makam Hera dan suaminya dimakamkan. Jangan lupakan makam mama kandung Ayna juga Ibni yang ternyata di sini juga.

Katina Amalia.

Nama yang tertulis di batuan semen itu sedikit memudar. Ditambah banyak kotoran yang menumpuk karena jarang dibersihkan. Tapi Ayna masih bisa membaca itu dengan jelas setelah ia bersihkan dengan tangan.

Menatap tak percaya gundukan tanah di hadapannya ini. Makam ini tak terawat. Banyak sampah dedaunan juga plastik. Bahkan tanahnya sedikit miring. Sepertinya Ibni jarang ke sini. Ayna juga ingat, Ibni bilang mama kandungnya hidup sebatang kara tak punya saudara sama sekali.

Jadi, kalau bukan anaknya siapa lagi yang akan datang ke sini?

Ayna masih berdiri di saat yang lain sudah berjongkok untuk melantunkan do'a. Sebenarnya Ayna tak ingin percaya, tapi bukti yang Ibni berikan terlalu banyak. Bahkan tanggal wafat yang tertulis di sana sama dengan tanggal lahir Ayna.

"Sini, Ay."

Suara Abby menginterupsi Ayna. Ayna menoleh pada pria itu, sampai akhirnya ia terpaksa berjalan ke arah sana. Abby kemudian mengorbankan sandalnya agar Ayna duduk di sana. Walaupun yang lain memilih berjongkok karena tanah yang kotor.

Ayna tak bicara satu kata pun. Ia duduk di atas sandal kiri Abby. Sampai akhirnya Ibni memulai do'a lagi. Tatapan Ayna kosong sembari menatap kuburan di hadapannya ini.

27 tahun berlalu. Tapi kenapa ia baru tahu? 

Kalau ia tahu dari awal, ia akan memilih pergi dari kehidupan sang mama juga papa kandungnya. Ia merasakan bagaimana sakitnya menjadi Hera saat itu. Dua kali dikhianati oleh sang suami. Bahkan harus sampai mengurus dua orang anak dari selingkuhan suaminya, mengurusnya sampai dewasa, bahkan sampai menghembuskan napas terakhirnya.

Dari dulu Ayna pikir papanya adalah orang yang begitu setia. Ayna begitu dekat dengan sang papa. Ayna begitu menyayangi papanya. Ayna selalu berharap bisa mendapatkan seorang lelaki tulus seperti ayahnya. Tapi ternyata salah, ayahnya adalah salah satu orang jahat yang ia kenal. Dan, do'anya selama ini juga jadi salah.

Kalau bisa diuruti siapa manusia terjahat yang ia kenal, yang pertama nama kandungnya, papanya, juga Abby.

Ayna menunduk menahan air mata yang keluar. Ia berpura-pura melantunkan do'a padahal ia menangis tak bersuara. Ia tidak mau dicap cengeng walaupun itulah kenyataannya.

Kenapa seluruh keluarga menyembunyikan ini dari dirinya? Ini lebih sakit dari pada harus terpaksa menikah dengan Abby. 27 tahun ia dibohongi dengan kasih sayang yang tulus dari Hera.

***

Dari makam, mereka langsung memutuskan pulang ke rumah masing-masing. Ayna diam selama di perjalanan. Wajahnya memerah sehabis menangis tadi. Ia sempat marah-marah kepada Ibni saat doa selesai.

Ibni menerima itu. Sebagai orang yang paling dewasa di sana dan juga kakak satu-satu yang memiliki ibu dan ayah yang sama, ia mencoba menenangkan Ayna setelah Abby yang mencoba lebih dulu gagal.

Ayna bertanya kenapa ia baru tahu setelah 27 tahun berlalu.

Ibni menjelaskan agar Ayna tak sakit hati seperti dirinya. Omongan Ibni membuat Ayna marah, justru baru tahu sekarang lebih sakit daripada tahu kenyataan itu sendiri. Ia dibohongi banyak orang. Semua keluarga membohonginya. Mulai dari Hera, papanya, ketiga kakaknya, bahkan keluarga besarnya yang lain menyembunyikan ini juga.

Ayna mengingat jelas ucapan Ibni tadi.

"Ay, mau makan?" tanya Abby.

Ayna tak merespon. Tatapan mata Ayna kosong menatap jalanan. Abby sedikit paham dan mengurungkan niatnya untuk bicara hal lain.

Sampai akhirnya ketika sampai rumah Ayna langsung turun dan membuka pintu rumah dengan cepat.  Ayna melangkah cepat dan langsung masuk ke dalam rumah.

Abby yang melihat itu membiarkan Ayna. Ayna butuh ketenangan. Membiarkan Ayna sendiri. Tapi Abby juga akan terus menjaga dan memerhatikan Ayna, takut perempuan itu melakukan hal yang tidak diinginkan.

Setelah memarkirkan mobil, Abby juga langsung turun dan masuk ke dalam rumah. Ia mengunci rumah dengan rapat. Kemudian pergi ke kamar. Sayangnya pintu kamar di kunci dari dalam oleh Ayna.

Abby mengetuk pintu pelan, tidak berniat mengganggu Ayna dan bicara, "Jangan aneh-aneh ya, Ay. Maafin semua orang termasuk aku. Kita semua salah. Kita sadar, Ay."

Abby menahan napas. Apakah omongannya tadi salah?

"Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku di bawah, ya."

Tak ada jawaban sama sekali dari Ayna. Abby menghela napas, paham apa yang dirasakan Ayna.

***

"Aku enggak salah kan?"

Ibni terduduk lesu di rumahnya. Kedua anaknya telah tertidur di kamar. Sepulang dari makam, ia merasa bersalah pada Ayna. Ia juga begitu sakit melihat Ayna yang marah sambil menangis saat di pemakaman tadi.

"Enggak. Ayna pantas tahu itu. Justru salah kalau kamu terus sembunyiin itu. Seharusnya Ayna tahu itu dari lama."

"Ayna bakal makin benci aku enggak, ya?"

Istri Ibni hanya diam. Sampai akhirnya ia berpindah duduk di dekat di kaki Ibni, mulai memijit pelan kaki suaminya. Ia tahu suaminya lelah akan masalah keluarganya akhir-akhir ini. Apalagi hari ini adalah pusatnya.

"Jangan jahat lagi sama Ayna. Coba bersikap baik sama dia. Kasih tau alasan sikap kamu selama ini, ya. Ayna pasti paham dan enggak akan jauhin kamu."

Bersama MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang