Tigapuluh Satu🍂

1.4K 385 233
                                    

Maaf ya, lama banget updatenya. Aku ngga boong soal udah nulis banyak part, cuma aku suka males kalau mau update🤧

Vote juseyoo~

🍂🍂🍂🍂

Jika aku bertemu dengan kekecewaan, itu adalah kamu yang perlahan menghilang. —Vita.

🍂🍂🍂

Keempat remaja berseragam putih abu-abu dengan simbol SMA Perkasa tengah berdiri di depan kompleks perumahan Pintu Air. Sedang memutar otak berencana mengelabui para Satpam yang sama sekali tidak mengijinkan mereka masuk.

"Tiga hari berturut-turut gue sama Nova dateng ke sini, tuh satpam ngeyel banget nggak ngebolehin masuk," gerutu Kayla, menyipitkan mata karena terik matahari.

"Hm, pertahanan yang kuat." Reyhan mengusap-usap dagunya seperti mengusap jenggot. "Dikasih godaan maut dari gue juga nggak mempan." Sejak tadi dia sudah berusaha merayu para satpam itu, namun mereka bersikeras tidak memperbolehkan masuk.

"Terus harus gimana, dong?" Nova mengintip pergerakan satpam-satpam di sana, sebagian menonton televisi, sebagian bermain catur, sebagian lagi asyik berbincang-bincang.

Azka memutar otak, mencari cara agar bisa menerobos masuk ke dalam. Walau bagaimanapun dia harus bertemu Vita. Mereka bilang, Vita tidak pernah memberi kabar setelah kejadian di hari itu. Rasa cemas tentu menyerbunya.

Lima menit berpikir, dia menemukan satu cara. Dengan cepat dia menaiki motornya, mengenakan helm full face sehingga menyembunyikan seluruh wajah. "Lo bertiga tunggu sini." Dia melajukan motor kencang-kencang menuju para satpam itu.

Hanya dengan satu kata, para satpam itu benar-benar mempersilakannya masuk. Yaitu; Satya.

"Bukain gerbangnya!" titahnya. Dan, sungguh dibuka oleh mereka.

Speechless. Namun Azka segera melajukan motornya sebelum para satpam menyadari. Arah tujuannya adalah rumah minimalis di ujung blok C, pagar putih dengan halaman depan bersih dipenuhi bunga. Memarkirkan motor asal, dia membuka helm, turun dengan cepat sebelum terlambat.

"Vita!" Dia menggoyang-goyangkan pagar, terkunci dari dalam. "Vit, buka bentar, Vit! Gue mau bicara!"

Tidak ada sahutan. Tapi Azka sangat yakin melihat siluet bayangan dari salah satu jendela yang dia yakini adalah sebuah kamar.

"Gue mau bicara! Ijinin gue bicara lima menit aja, Vita!"

Ceklek

Pintu rumahnya terbuka. Menampilkan sesosok lelaki bertubuh tegap nan tinggi yang keluar dari rumah, Kakak Vita.

"Bang, panggilin Vita bentar! Gue mau bicara," pinta Azka seenaknya.

"Siapa lo?" Garis wajah Hesa berkerut, tidak suka.

"Gue Azka. Yang kemarin—"

"Oh, jadi lo yang ngerusakin hubungan adek gue sama Satya?"

"Bukan, lo salah paham, gue—"

"Berani banget lo dateng nemuin adek gue." Dia berjalan mendekat, menyilangkan kedua lengan di dada dengan kedua alis bertaut. "Gara-gara lo, adek gue depresi ngurung diri di kamar terus."

"Gue nggak ngelakuin apapun. Lo sebagai kakak pasti tau gimana Satya perlakuin adek lo."

"Gue tau. Gue tau Satya kasar orangnya. Sering ngebentak, nyalahin adek gue dan sejenisnya. Tapi gue nggak permasalahin itu. Yang terpenting dia mau tanggung jawab, masa depan adek gue udah hancur, Erlis nggak punya harapan lagi, satu-satunya kebahagiaannya cuma Satya. Dan lo, jangan berusaha ngerusak hidup adek gue. Ini udah jadi takdir Erlis. Mending sekarang lo pergi dan nggak usah gangguin adek gue lagi. Dia juga udah putus sekolah, nggak ada alesan buat lo ketemu dia lagi."

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang