Duapuluh Dua🍂

1.6K 399 73
                                    


°Tentang rasa yang membuatku gundah, tentang dia yang membuatku pasrah, dan tentang kita yang membuatku jengah.° —

.
.
.

Latihan drama kali ini berjalan lancar. Naskah diselesaikan sampai akhir lantaran tidak ada waktu menunda di keesokan hari. Banyak perselisihan selama latihan berlangsung, perihal mimik wajah, pelafalan dialog, gerak-gerik tubuh atau yang lainnya. Kerap anak-anak nakal membuat ulah, satu contohnya Reyhan, cowok itu selalu mencari perkara seperti menghabiskan seluruh camilan, berteriak saat bermain game, tertidur padahal adegan sedang berada di gilirannya. Tapi semuanya berlalu dengan baik, hingga sekarang jarum jam menunjuk ke angka delapan malam.

Seorang gadis dengan senyum menawan keluar dari dapur sembari membawa nampan berisi air minum yang sudah kesekian kali ia sediakan. Meletakkan di atas meja, pandangannya menyisir setiap orang yang ada di ruang tamu. Satu di antaranya gadis berkuncir satu dengan sorot wajah murung yang sedang berbenah.

"Makasih, ya. Gue seneng kalian dateng."

"Harusnya gue yang bilang itu, Sya. Makasih kerja samanya. Kita udah selesain latihan dalam waktu sehari. Hasilnya juga, nggak seburuk itu." Chelsea bersuara ketika mengemas barang.

"Enggak ih, gue yang berterimakasih. Gue seneng kalian dateng ke rumah gue, jadinya ada yang nemenin sampe malem. Kapan-kapan kalian boleh ke rumah gue lagi, main doang."

"Oke, aman itu mah."

Sebagian orang sudah duluan pamit, pasalnya ini sudah cukup malam untuk para pelajar seperti mereka pulang ke rumah. Mereka tidak ingin memakan waktu lebih lama berada di sana jika tidak ingin lupa waktu. Ditambah di luar sedang gerimis, banyak dari mereka meminta nebeng pada orang yang mempunyai kendaraan untuk diantar ke jalan raya.

"Kenapa sih, pemeran gue harus Ibu Gothel?" Perempuan bertubuh mungil berparas judes itu masih saja mendumel. Sejak latihan dimulai, dia sering melontarkan kalimat yang sama. Hingga sampai latihan ini selesai, wajahnya masih tampak kesal, tak terima akan pembagian perannya.

"Lo mau tau?" Reyhan menyahut karena lelah mendengar itu-itu terus. "Kan nggak jauh beda sama tingkah lo. Gothel. Gathel. Gatel. Lo kegatelan deketin Ricky terus. Ya nggak, Ric?" Dia menaik-turunkan alis pada cowok bermuka cuek yang tengah memakai sepatu.

"Sialan lo, Kakak kelas kampret!" Aresya meraih pisau bolu di sebelahnya kemudian mengejar Reyhan penuh amarah. Aksi kejar-mengejar tersebut tak dihiraukan Vita, buru-buru dia menenteng ransel karena merasa kesehatannya memburuk, perutnya mendadak sangat sakit diselingi rasa pusing yang mengerikan. Tanpa berpamitan dia langsung beranjak pergi keluar rumah.

Dengan sisa tenaga jari-jarinya mulai mengetikkan pesan pada kakaknya agar segera menjemput. Belum menyelesaikan satu kalimat, ponsel itu terjatuh ke rerumputan karena tangannya tak sanggup menopang. Seluruh tubuhnya begitu lesu, kepalanya bagai dihantam benda keras saking sakit.

Mengabaikan rasa menusuk, Vita meraih ponsel yang terjatuh dan mengetik pesan lagi. Sangat disayangkan, ketika dia ingin menekan tombol send, seseorang merebut ponselnya sepihak.

"Vita...." Si perampas berdiri seraya menyilangkan kedua lengan di dada.

"K-kamu?" Bibir Vita bergetar saking kuatnya menahan sakit.

"Kenapa? Belum pulang juga?" Meisya melirik ke ponsel Vita, memunculkan percakapan dengan kakaknya. "Hesa? Cowok mana lagi yang lo godain?"

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang