Duapuluh Enam🍂

1.7K 403 99
                                    

Inilah hari yang ditunggu-tunggu. Setelah melewati banyak hari-hari sulit---bagi para anggota kepengurusan---semua persiapan akan siap ditampilkan pada hari ini. Sejak pagi buta, semua anggota kepengurusan sudah hadir memastikan tidak ada sesuatu yang kurang. Dan semuanya sukses tanpa celah, persiapan diatur dengan baik, dari tatanan panggung, jumlah kursi, hiasan, dan sebagainya, lengkap. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Jam sudah menunjuk pukul sembilan pagi, aula sudah dipenuhi oleh berbagai murid, baik dari SMA Perkasa atau sekolah-sekolah lain. Gerbang sekolah dibuka lebar, para pengunjung bebas berdatangan dari sekolah mana saja. Pak Kepsek, Wakilnya, dan Kepala Dinas pendidikan sudah duduk di kursi khusus paling depan yang berhadapan dengan panggung, siap menyaksikan berbagai karya seni anak didik bangsa.

Jangan khawatir aula tidak bisa menampung ramainya murid-murid, luas aula SMA Perkasa tidak perlu diragukan, menyerupai lapangan landasan pesawat terbang. Tidak, terlalu berlebihan. Tapi intinya memang luas.

Jika di hadapan panggung, para siswa-siswi sibuk berlalu-lalang dikarenakan heboh tidak sabar menonton pertunjukan dari beberapa pentolan sekolah yang ganteng dan cantik. Berbeda di belakang panggung, para pengisi acara baik dari pemeran drama, kumpulan pembaca puisi, musikalisasi puisi dan semacamnya, sibuk mempersiapkan diri untuk tampil nantinya. Kehebohan turut mengisi suasana di backstage, orang macam Reyhan-lah yang membuat situasi menjadi ricuh. Seperti kali ini, dia sengaja mencuri alat rias anak musikalisasi, ketika ditanya dia bersikukuh mengatakan tidak tau-menahu.

"Lo yang nyuri! Ngaku aja deh, nggak usah nyari gara-gara sama kita!" tukas Nazwa, ketua musikalisasi.

"Dih, dikira gue bocil yang suka nyari agar-agar? Ngaco nih cewek." Reyhan membetulkan letak pedangnya yang tergantung di baju zirah. "Awas, awas! Pattimura Reyhan mau lewat!"

"Udah cukup bercandaannya ya, Gareyhan! Balikin alat rias kita! Udah jam segini entar persiapan kita telat, gimana?!"

"Lah? Nyolot ke gue, tuh mending sama mantan lo yang nggak pernah bales chat lo semaleman." Dia menunjuk Arjuna yang sedang memetik senar gitar di ujung ruangan.

"Iiiihh! Nggak mau tau pokoknya balikin buruan!!!"

"Lo semua bisa diem, nggak?!" Aresya menggebrak meja, sedaritadi dia berusaha sabar di tengah panasnya kostum dan makeup. "Lo juga, Kak! Apa-apaan coba pake cara kekanak-kanakan nyembunyiin alat rias cewek?!"

"Widih, tumben pake embel-embel 'Kak', biasa juga barbar kayak badak betina baru lahiran. Taubat nih ceritanya?"

Aresya mengambil sapu yang ada di sebelahnya, berniat melayangkan ke kakak kelasnya itu, terurung saat Chelsea menginterupsi. "Udah, udah. Malah berantem. Nanti kalau penampilan kalian nggak maksimal gimana? Pokoknya jangan ada yang bertengkar lagi!"

"Guys, gimana penampilan gue?" Meisya berdiri di hadapan semua orang, tersenyum simpul sambil berkacak pinggang. Gaun Rapunzel terpasang sempurna di tubuhnya, makeup natural namun terlihat mewah menambah kesan cantik di wajah manisnya, bersama rambut elegan berwarna emas yang terjuntai panjang sampai ke lantai.

"Cantik banget," puji Chelsea, disetujui banyak orang.

"Jelek," cibir Aresya di tengah pujian. "Cantikan Kak Vita kemana-mana."

Akibat pernyataan itu, pandangan semua orang yang semula tertuju pada Meisya beralih pada Vita yang sedang duduk termenung di salah satu kursi. Dia bahkan tidak sadar banyak pasang mata memandangnya.

"Vit? Kenapa bengong?"

Tidak ada jawaban, dia malah asyik melamun menatap lantai.

"Lo kurang sehat?" Chelsea menghampiri, memegang satu bahunya. Pada saat itu Vita tersentak sadar.

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang