Sembilan🍂

1.8K 412 34
                                    

"Notulen lo boleh juga."

"Jangan dekat-dekat!" Vita menjauhkan kursi bersama laptopnya yang ada di atas meja. Karena terlalu fokus ia tidak menyadari sedari tadi Azka mengintip coretannya.

"Kenapa? Kata Pak Lolo kita harus kerjasama. Kerjasama macem apa yang duduknya jauhan kayak matahari ke jupiter?"

"Kamu bisa tulis notulen kamu sendiri, nanti aku nilai terus kasih pendapat."

"Gue nggak jago buatnya, ajarin dong." Ia bersiap mendekatkan kursinya lagi, sontak Vita berdiri.

"Tolong ya aku mohon jangan dekat-dekat apalagi kontak fisik!"

Vita tersadar perbuatannya sudah mengganggu konsentrasi anggota humas lain, dengan sangat menyesal Vita membungkukkan badan meminta maaf lalu kembali duduk.

"Emangnya kenapa? Lo takut iritasi? Tenang aja kalau soal itu, kulit gue nggak bikin iritasi kok, gue skincarean tiap malem." Azka membuka jaket merahnya, menunjukkan kulitnya yang berwarna sawo matang dan terlihat bersih tanpa koreng sedikit pun.

Vita meringis, sangat sulit dijelaskan, ia sangat takut bersentuhan dengan cowok kecuali Satya. Sudah tiga hari Vita dihadapkan dengan cowok bernama Azka ini, setiap pulang sekolah cowok itu sudah standby di dalam ruang humas, bahkan tidak pernah terlambat. Ia akan menyapa dan bertindak sok dekat dengan Vita. Padahal sudah beratus kali Vita memperingati bahwa dirinya tidak suka diajak bicara apalagi diganggu ketika menulis. Nihil, cowok keras kepala itu masih juga meracaunya.

Seperti saat ini, Vita sudah berusaha keras mengabaikannya, tapi Azka melakukan kebiasaannya lagi, mencolek bahu Vita menggunakan bolpoin. Vita takut, bahunya akan bolong karena terus dicolek.

"Main tebak-tebakan, yuk?"

Tangan Vita terkepal, cowok ini tidak peduli bila dirinya habis kesabaran dan tiba-tiba meledak, dia tidak peduli bila Vita gagal menyelesaikan puisi sehingga nama Vita akan tercemar. Cowok ini hanya peduli bagaimana membuatnya jengkel, bagaimana membuatnya bak orang konyol yang sudah naik pitam namun tidak bisa berbuat apapun.

"Diem artinya iya. Oke, gue mulai ya. Lo tebak orangnya siapa. Ekhem, cowok, inisialnya A. Ganteng! Poin utamanya dia manis. Kepribadiannya jadi nilai plus tuh, udah baik hati, ramah, penyayang, pinter, jago masak lagi. Ciri-ciri suami idaman deh. Terus—"

"Kak, saya izin ke toilet," pamit Vita yang mendadak berdiri menatap kakak pembina di meja depan.

"Ngh, oke Vit, tapi jangan lama-lama, bentar lagi kita mau pulang sebelum pengarahan terakhir dari Pak Lolo."

"Iya, Kak."

Rasanya teramat lega saat Vita sudah keluar dari ruangan tersebut. Bukan. Vita bukan mengutuk ruangan itu, namun salah satu orang yang ada di dalam, sangat membuat Vita muak.

Langkah kaki membawanya menuju toilet, namun ketika berada di koridor kelas duabelas, langkahnya terhenti. Jantung Vita berdegub kencang. Perlahan, ia mengintip dari sisi jendela.

Deg

Air mata lagi-lagi lolos dari pelupuknya. Mulanya hanya satu titik, lama-kelamaan menjadi puluhan titik. Napasnya tersendat melihat pemandangan di depan mata. Hatinya sakit, tidak bisa ditolerir lagi, Satya sudah keterlaluan.

Tidak ingin menyaksikan lebih lama, Vita berlari sejauh mungkin. Perutnya lagi-lagi tidak bisa diajak kompromi, sangat sakit dan menusuk, secara tidak sengaja ia tersandung batu hingga jatuh tersungkur. Untungnya Vita melindungi perutnya sebelum terbentur ke tanah.

Di posisi mengenaskan itu Vita masih menangis di tengah taman yang syukurnya tidak dihuni oleh siapapun selain dirinya.

"Jahat, kamu jahat Satya. Kamu milik aku. Kamu punya aku. Kenapa orang lain kamu izinin nyentuh kamu sedangkan aku nggak bisa nyentuh siapa pun? Nggak adil! Aku salah apa sama kamu? Selama ini aku ikuti semua kemauan kamu! Tapi kenapa? Kenapa kamu masih mau ninggalin aku?" Gadis dengan rambut tergerai sebahu itu terisak hebat, meremas tanah, melemparnya ke berbagai arah.

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang