Duapuluh Sembilan🍂

1.5K 341 213
                                    

Chapnya udah aku tulis ampe part tigapuluh sekian, but aku lupa up:")

🍂🍂🍂

Aku tahu dia jahat, tapi aku sangat menyukainya. —Vita

🍂🍂🍂

Di setiap kesendirian, ada sepi yang menemani, ada hening yang melingkupi dan ada airmata yang setia menyelimuti. Vita tidak tau kapan berakhir, kesendirian itu bagai bayangan yang selalu mengikutinya. Dia ketakutan.

Namun ketika gelap itu merebak, dia mendapatkan satu titik temu, Satya. Dia berusaha menjadikan titik temu itu menjadi sebuah mentari. Mentari yang dapat mengeluarkannya dari kesendirian. Hingga akhirnya dia bisa terbebas dan melakukan apapun. Hanya saja, Vita lupa bahwa di setiap harinya, mentari tidak selalu ada.

"Vit, jangan nangis lagi. Gue mohon, jangan nangis lagi." Daritadi yang Azka lakukan hanya berjongkok di hadapan gadis itu, membujuknya agar segera berhenti menangis, tapi Vita seakan tuli, dia terus menangis histeris sambil menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan.

Kondisi Vita yang tadi begitu parah, dilumuri telur, tepung dan cairan lengket nan bau, sebagian sudah Azka basuh menggunakan tisu basah, di antaranya rambut, tangan, dan sepatu. Sedangkan tubuh Vita sengaja dia balut dengan jaket kepunyaan Reyhan yang tadi sempat dia pinjam.

"S-Satya. Ini aku Satya. Kenapa kamu tega banget?" isaknya, bernada rendah.

Azka menghela napas jengah. Satu jam Vita menangis, selama itu juga dia menggumam kalimat yang sama.

"Cukup nangisnya. Nanti lo sakit, gimana?" Cowok itu refleks memegang bahu Vita, yang langsung dihempas oleh si empu bahu.

"UDAH BERAPA KALI AKU BILANG JANGAN SENTUH!" Dia membentak. Membuat Azka terkejut melihat wajah gadis itu sangat merah, kelopak matanya membengkak dengan hidung sembab. "Kamu nggak tau seberapa besar penderitaan aku! Cuma Satya. Cuma Satya, satu-satunya orang yang paling aku sayangi di dunia ini."

Azka terdiam, menatap Vita yang berteriak sambil menangis.

"Seandainya kamu nggak ada, pasti Satya nggak bakal ngelakuin ini! Gara-gara kamu! Gara-gara kamu!" Dia terisak kencang, bergetar hebat karena sesenggukan. Azka speechless.

Dalam benak Vita cuma terngiang perkataan Satya. Rasa sakit masih saja membekas. "Kenapa kamu ngerusak itu? Kenapa?" paraunya sendu, menangis.

Azka berdiri, menyorot Vita dengan kening berkerut. "Gimana gue bisa diem aja kalau dia nyakitin lo terus?" Dia merasa dongkol atas pemikiran gadis itu.

"Nyakitin aku? Kata siapa Satya nyakitin aku? Emangnya kamu yang rasain? Kamu yang mengalami?"

Azka merasa tak habis pikir. "Gue tau cara dia bersikap ke lo gimana. Jangan suruh gue diem aja setelah ngeliat itu, Vit. Bukan karena lo orangnya, tapi karna gue nggak bisa jadi penonton doang."

Napas Vita naik-turun, bola matanya membesar berusaha memperingati cowok di hadapannya. "Satya orang yang paling aku sayangi. Apapun yang dia lakuin, apapun yang dia bilang, aku nggak permasalahin itu. Mau dia nyuruh aku bunuh diri, aku nggak bakal nolak!"

Bibir Azka terkunci rapat, kehabisan kata. Padahal sudah jelas gadis itu telah diperlakuan layaknya sampah, masih saja mau membela. Daebak.

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang