Pagi yang begitu cerah, terik matahari menyinari sebagian isi bumi salah satunya SMA Perkasa yang lapangannya kini diisi oleh ratusan siswa-siswi, suara ricuh terus ditimbulkan, keluh gelisah akibat panas tidak pernah berhenti disenandungkan setiap murid.
"Perhatian! Perhatian! Harap diam sejenak biar saya mulai!" Mikrofon berbunyi nyaring di sepenjuru sekolah.
Sorakan menjadi bentuk ketidakpedulian para murid atas ucapan Pak Kepala Sekolah, mereka bersikap acuh dengan berjongkok di tengah barisan, tetap berbincang bersama teman, atau bahkan ada yang berjalan kesana kemari dan akhirnya kabur ke kantin.
"Harap semuanya!" decitan mikrofon membuat suasana lebih ricuh. Pak Kepala Sekolah berusaha bersabar menghadapi anak didiknya.
Karena keras kepala dan susah diatur, para guru bk mulai berpatroli, tanpa tanggung menjewer anak murid yang tidak berbaris rapi.
Hampir lima belas menit kini setiap barisan sudah rapi, tidak ada lagi yang berani membuka mulut meski hanya sedetik. Pada saat itu Pak Kepala Sekolah menghela napas gusar.
"Kalian sudah besar tapi kelakuan masih persis seperti anak sekolah dasar? Dimana tata krama kalian?" Suara berasal dari mikrofon tersebut melengking di setiap speaker, menyebabkan bunyi 'nyiiiit' yang sangat panjang, Pak Kepala Sekolah tidak peduli, terus melanjutkan amanat.
"Saya hanya mengambil waktu selama lima belas menit! Tapi apa yang kalian lakukan? Baris-berbaris saja sudah memakan waktu lima belas menit?!"
"Ah, ini akan membuang waktu lebih lama. Kali ini saya maafkan karena waktunya sudah tidak banyak lagi. Saya akan masuk ke dalam topik pembicaraan. Vita, kemari nak."
Seluruh perhatian tertuju ke depan lapangan saat seorang gadis putih kurus berjalan keluar dari barisan, menghampiri sang Kepala Sekolah dengan kepala merunduk.
"Eh eh eh eh, seorang putri kepalanya nggak boleh nunduk." Semuanya bisa mendengar, wajah gadis itu memerah karena malu. Vita dipersilakan naik ke atas podium, tepatnya bersebelahan dengan sang Kepala Sekolah.
Jari Vita bersemayan memilin seragam, berusaha meredam kegugupan yang terus menerjang.
"Ayo perkenalkan diri kamu," bisik Pak Kepala Sekolah tanpa menggunakan mikrofon.
Menghela napas, dia mulai berbicara menggunakan mikrofon kepada ratusan murid di tengah lapangan. "Saya Vita Erla Pratisha dari kelas 11 IPA 1."
"Ya, dengar semuanya anak-anak! Dua bulan lagi Nak Vita ini akan mewakili sekolah kita di olimpiade fisika semanca provinsi! Kalian tentu sudah kenal Nak Vita, setiap olimpiade dia selalu menjadi juara. Saya sebagai Kepala Sekolah merasa bangga padanya, saya menyesal kenapa tidak menyombongkannya sejak dulu kepada kalian, dia siswi yang sangat cerdas, kalian juga harus menjadi seperti Nak Vita."
Wajah Vita semakin memerah, matanya memanas dan pandangannya memburam karena air mata mulai menghalangi retina.
"Belajar yang rajin ya Nak, saya yakin orangtua kamu sangat bangga pada kamu." Vita diberikan sebuah penghargaan dan medali yang sangat indah, tepuk tangan terdengar, entah mengapa sesak malah mendatangi Vita.
Seusai berdoa bersama, Vita turun dari podium ingin kembali ke barisan kelasnya, tetapi suara bariton dari ketiga cowok yang menurut Vita tidak asing membuat langkahnya terhenti.
"Salah paham Bu! Saya nggak bohong!" tukas salah satu di antaranya, memohon pada dua guru BK yang menyeret mereka ke depan lapangan.
"Akh akh! Sakit Bu! Kalau telinga saya putus emang Ibu mau ganti?!"
"Bu, saya nggak tau apa-apa! Saya cuma korban!"
"Banyak sekali alasan kaliaan! Cepetan jalan ke tengah lapangan!" Ketiganya meringis kesakitan sambil mengikuti arah jeweran, tepat saat melewati Vita, dua di antaranya melirik Vita, tapi kemudian satunya langsung mengalihkan pandangan, sementara yang satunya lagi malah berteriak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tears of Hope✓
Fanfiction❝Tentang luka seorang perempuan.❞ Aku bertemu seseorang yang sangat berarti dalam hidupku hanya untuk menyadari pada akhirnya aku harus melepaskannya. [LENGKAP] Warn, 17, bahasa kasar. Ft. Jake Ft. Sunghoon Ft. Jay Highest ranking: #1 in sunghoon...