Empatbelas🍂

1.7K 394 68
                                    

Seminggu lalu

Seorang cowok berseragam abu-abu yang tampak lesu berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Setelah menebus biaya, ia kembali sambil membawa bubur ayam. Langkahnya yang tersisa lima meter mencapai daun pintu terhenti saat mendengar isakan tangis.

"Satya, jangan pergi, jangan hiks."

Dengan lamban ia membuka knop pintu, terpampang lah pemandangan seorang gadis terbaring tak berdaya di atas bangsal, tertidur pulas seraya bergumam tak jelas.

"Jangan sakitin Satya, Kak Hesa. Satya nggak salah apa-apa. Dia bukan orang jahat," gumamnya lagi. Perlahan Azka masuk ke dalam, berdiri memaku di sebelah bangsal sembari memandang wajah pucat tersebut.

"Gimana bisa Satya ngelakuin ini ke lo?" bisik Azka, serak. Tenggorokannya masih tercekat mengetahui fakta mengejutkan mengenai gadis di hadapannya ini. Jika saja ia tidak mengikutinya ke danau tadi, mungkin sampai kapanpun ia tidak akan tahu kebenarannya.

"Satya itu cinta pertama dan terakhir aku. Jangan sakitin dia, hiks."

Azka mematung mendengarnya, airmata bahkan menetes dari pelupuk gadis itu. Tangan Azka terkepal begitu erat.

"Itu artinya gue nggak boleh ngehajar dia?"

"Jangan lukain Satya!"

Tawa renyah terbit di wajah Azka, hatinya perih tanpa alasan. Meletakkan bubur tersebut di atas nakas, Azka duduk di kursi, meletakkan kepalanya di atas tumpukan tangan sambil memperhatikan wajah putih gadis itu.

"Mau tau rahasia? Gue udah tertarik sama lo sejak pertama kali lo lewat dari kelas gue. Iya, udah lama banget. Sejak waktu itu gue cuma merhatiin lo dari jauh. Sekarang gue nyesel kenapa nggak dari dulu gue ngajak lo kenalan." Tangannya terjulur ingin menyingkirkan anak rambut Vita namun terurung mengingat bahwa Vita benci sentuhan.

"Pasti berat banget, ya? Sori gue nggak bisa cegah hal ini terjadi ke lo. Kalau aja waktu itu gue ngajak lo kenalan, mungkin sekarang Satya nggak bisa ngelakuin ini ke lo."

Sepuluh menit termenung, Azka berdiri dan meninggalkan ruang inap Vita, memesan ojol mendatangi danau tadi untuk menjemput motornya.

Flashback off 

***

Pensi sekolah akan segera diadakan, seluruh murid kegirangan karena kelas akan dikosongkan dalam beberapa hari ke depan. Para murid yang bersangkutan mulai sibuk mempersiapkan hal-hal yang perlu dilakukan, seperti membuat proposal, mencari tokoh, menyiapkan properti dan lainnya.

"Yang jadi kandidat pangeran dan putrinya siapa? Siapa aja yang pantes dicalonin?"

"Gue cocok kayaknya," ucap Ucup, cowok berbadan gempal.

"Pak Melki bahkan nggak rela nonton kalau lo yang jadi pangeran, apalagi satu sekolahan."

Bibir Ucup manyun, kembali menyesap kiko.

"Gimana kalau Satya?" usul salah satu dari mereka.

"Satya? 12 IPA 4? Boleh juga. Lo udah tanya sama dia?"

"Belum. Tapi dia bener-bener cocok jadi kandidat."

"Putrinya?"

"Meisya? Apalagi mereka pacaran, kan?"

"Oke, catet dulu."

Para anggota kepengurusan mulai sibuk mendiskusikan berbagai hal di aula, seluruhnya duduk lesehan di lantai.

"Vit, lo jadi baca puisi, kan?"

Vita yang baru datang seraya mengangkat beberapa properti langsung melotot. "Bukan. Aku cuma nulis."

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang