Tigapuluh Enam🍂

1.7K 420 83
                                    

Setelah beribu purnama merindu~ hikd.

Vote sebelum membaca 💃

🍂🍂🍂

Dia yang jauh lebih menghargai tidak pantas disia-siakan—Vita.

🍂🍂🍂



Azka mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu, menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa sambil menatap ke depan. Dalam beberapa menit dia termenung, sampai suara derap kaki membuatnya menoleh.

"Bagus ya, baru pulang sekolah jam sembilan malem." Bunda meletakkan sepiring kentang goreng di meja, meraih remote tv di dekat sofa lalu menyalakannya.

Keheningan mengambil alih, hanya diisi suara televisi yang menyiarkan siaran keluarga. Bunda begitu fokus menonton seraya mengunyah kentang buatannya.

Menimbang berulang kali, Azka mulai berdeheman. "Bunda."

"Hmm?"

Cowok itu menegakkan tubuhnya, berpikir sekali lagi. "Kalau Azka nikah sekarang, gimana?"

Bunda langsung menoleh sambil melotot. "Nikah sekarang? Kamu ngehamilin siapa?"

"B-bukan—"

"Jawab Bunda, kamu ngehamilin siapa?!"

"Bukan gitu, Bunda. Azka—"

"Jadi apa? Kamu minta nikah di usia kamu yang masih 18? Mau dikasih nafkah apa istri dan anak kamu? Batu?"

"Bunda, denger dulu."

"Bunda sama Papa sekolahin kamu bagus-bagus, Azka. Jangan mikir yang aneh-aneh. Sekolah dulu yang bener baru bicarain nikah."

Azka berdesis. Sang Bunda lanjut menonton.

***

Vita baru ingat jadwal konsultasinya dilakukan hari ini. Dia kira masih hari rabu, ternyata sudah hari sabtu. Dia mengganti pakaiannya menjadi gaun terusan selutut, menguncir rambut, memakai selempang, lalu mengenakam flatshoes putih. Keluar dari kamar menghampiri Azka yang sudah ada sejak pukul delapan pagi. Sekarang sudah pukul sebelas.

"Udah selesai? Ada yang ketinggalan, nggak?"

Vita menggeleng kecil.

"Oke, yuk." Cowok itu bangkit, mengenakan jaketnya dan mengambil kunci mobil. Tadi Vita sudah bertanya mobil milik siapa, jawabannya milik Bundanya.

"Kamu nggak papa nemenin aku?"

"Loh, bukannya harus gitu? Lo nggak inget kata-kata Pak Kepsek?"

Keduanya memasuki mobil, mengenakan seatbealt. Rasanya masih terlalu kosong di hati Vita. Dia tidak dapat merasakan apapun sekarang. Tapi dia bersyukur masih memiliki setitik cahaya walau itu kecil.

Mobil melaju meninggalkan perumahan, membelah jalan raya yang ramai. Hanya keheningan yang mengisi.

"Semoga membaik." Tiba-tiba Azka berceletuk.

"Membaik? Apanya?" tanya Vita berintonasi rendah.

"Kandungannya."

"Ah, iya." Vita tersenyum tipis.

"Gimana perasaan lo?" Dia bertanya lagi setelah dua menit menghening.

Vita kembali menoleh. "Perasaan aku...?"

"Yang lo rasain sekarang."

Vita bergeming.

Saat itu Azka tersadar pertanyaannya terdengar ambigu. "Maksudnya perut lo. Masih sakit, gak?"

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang