Vita menghentikan langkah, berjongkok di tengah taman sambil menangis. Ia mencabuti rumput-rumput lalu membersihkan tangannya menggunakan rumput tersebut. Vita jijik. Vita merasa jijik mengingat dirinya disentuh cowok lain selain Satya.
Karena sentuhan itu masih tetap terasa, Vita mengambil satu remasan tanah dan mengusap ke lengannya. Tidak peduli kotor, Vita terus melakukan berulangkali agar bekas sentuhan tersebut tidak lagi terasa. Di usapan yang kelima belas, tiba-tiba lengannya ditarik paksa hingga dirinya bangkit berdiri. Tarikan itu begitu mendadak bahkan Vita belum menalar apa yang terjadi.
Ingin kembali marah namun kemarahan itu seketika padam melihat wajah Satya lah yang tampak di indra penglihatannya.
"Lo ... ngapain?" Satya merunduk melihat lengan kotor Vita yang disebabkan tanah.
Tangisan Vita tercurah begitu saja, dirinya menangis sejadi-jadinya sembari menyembunyikan wajah di balik telapak tangan.
Satya berdecak, mengeluarkan sapu tangan dari saku. Dengan terpaksa ia menyentuh lengan Vita, membuka telapak tangannya lalu membersihkan pergelangan itu menggunakan sapu tangan.
"Kenapa lo nangis?" Ia menatap Vita lekat selagi mengusap.
Vita sesenggukan, mengelap ingusnya ke bahu sweater. "Temen kamu nyentuh aku."
"Temen gue?"
"Hng."
"Yang mana?"
"Yang sering manggil nama aku, hiks."
"Ck." Satya berusaha keras membereskan lengan Vita sampai bersih. Tidak sampai lima menit selesai juga, meski belum terlalu bersih karena tidak ada air.
"Mana kata lo yang nggak bisa jalan?" tukasnya, menyorot Vita datar.
"T-tadi nggak bisa."
"Terus sekarang bisa? Nggak masuk akal. Bilang aja lo nyari alesan biar ketemu gue."
"Bu-bukan gitu." Vita merunduk, mengusap wajah basahnya.
"Ck, sekarang udah bisa, kan?"
Anggukan Vita membuat Satya mendengus.
"Kalau udah bisa, bagus." Cowok itu menyodorkan tujuh buku pada Vita. "Kerjain, besok pagi harus udah selesai."
"Tapi Satya, aku---"
"Nggak terima alesan. Yang nyuruh lo ngajak ketemuan siapa? Besok pagi gue tunggu di perpus." Dia berjalan keluar taman, meninggalkan Vita tanpa mengucapkan kata 'selamat tinggal', 'sampai jumpa', atau hal semacamnya. Bukan kah itu sudah keterlaluan?
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Vita merebahkan diri di kasur. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar, menelisik lukisan-lukisan bintang yang terdahulu ia pinta pada Papanya kala masih kecil. Kini ia sudah besar, para bintang masih ada namun Papanya telah pergi ke atas sana, menyusul sang Mama yang lebih dulu pergi saat melahirkannya. Hanya tersisa dirinya. Tidak ada siapapun.
"Maafin Erla, Pa. Erlis nggak bisa jadi kebanggaan Papa. Erla udah rusak. Erla hancur." Ia menangis penuh kesedihan.
"Dan sekarang, anak yang di perut Erla ini juga pengin ikutan pergi ninggalin Erla. Erla harus apa, Pa? Harus menyerah?"
Vita menenggelamkan wajahnya di bantal, berharap isak tangis dapat teredam. Tidak bisa. Dia menangis begitu keras, meraung sedalam mungkin.
"Satya ikut ninggalin Erla. Dia yang udah buat Erla jadi gini. Erla harus apa sekarang?" Suaranya bergetar. Begitu menyedihkan.
"Padahal Erla cinta sama Satya. Satya ... hiks, tega nipu Erla. Di-dia nipu aku.... Kenapa! Ke-kenapa...?!"
Menangis adalah cara terbaik untuk melampiaskan apa yang Vita rasakan. Self injury? Belum. Vita belum masuk ke tahap itu, tidak tau besok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tears of Hope✓
Fanfiction❝Tentang luka seorang perempuan.❞ Aku bertemu seseorang yang sangat berarti dalam hidupku hanya untuk menyadari pada akhirnya aku harus melepaskannya. [LENGKAP] Warn, 17, bahasa kasar. Ft. Jake Ft. Sunghoon Ft. Jay Highest ranking: #1 in sunghoon...