Sepuluh🍂

1.8K 408 105
                                    

Upacara sedang berlangsung, terik matahari menyengat kulit sebagian murid, sebagiannya lagi tertutup pohon jadi tidak ikut berjemur, beruntungnya. Sedangkan yang terkena teriknya harus merelakan keringat bercucuran dari pelipis hingga leher. Harusnya kelas Vita aman dari terik matahari karena terletak di dekat pohon, namun sekarang giliran kelasnya yang menjadi paduan suara sehingga posisi mereka berbaris adalah berhadapan dengan matahari.

Usai bendera merah-putih dikibarkan, tertib selanjutnya adalah hening cipta, semua murid merunduk. Di saat begini Vita menyempatkan mengelus perut agar membujuk calon anaknya untuk lebih sinkron menyatakan rasa sakit.

"Mules, ya? Pasti belum boker."

Bola mata Vita membulat mendengar suara yang tiba-tiba muncul di sebelah telinganya. Cowok ini—tidak bisakah ia lebih sopan? Dia terlalu blak-blakan! Dan juga, mengapa ia bisa tersasar di barisan kelasnya?

"Ngapain kamu di sini?"

"Ngelindungi lo."

Mata Vita tertuju pada terik matahari yang memang tidak lagi menerpa dirinya karena tubuh tinggi Azka menghalangi.

"Ini barisan kelas aku, kalau guru bk tau kamu bisa kena hukum!"

"Lebih pentingan mana? Gue kena hukum atau lo pingsan?"

Desahan Vita terdengar.

"Kalau upacara selesai, ngaca di kamera, muka lo melebihi zombie yang nggak dikasih minum setelah nelan kepala orang bulat-bulat."

"Jangan sembarangan!"

Teman-teman sekelas langsung melirik Vita lantaran volume suaranya yang tidak biasa. Baru kali ini Vita menciptakan keributan setelah satu setengah tahun melaksanakan upacara.

"Mending kamu pergi atau aku laporin ke guru bk?"

"Lah jangan dong? Nanti lo nggak ada yang ngelindungi. Kasian, kan?"

"Satu?"

"Dua, tiga," lanjut Azka sumrigah.

Geraman Vita terdengar. Lebih baik mengabaikan daripada merespons, tidak ada gunanya juga ia memerintah cowok ini.

Selesai hening cipta, tertib selanjutnya ialah amanat, hal yang paling murid-murid tunggu. Tunggu dalam artian cepat selesai.

"Cinta itu sederhana~~" Suara nyanyian halus nan lembut memasuki gendang telinga Vita, jangan tanya berasal darimana, jelas dari cowok aneh di sebelahnya. "Yang rumit itu kamu~"

"Mencintaimu itu mudah~"

"Yang sulit adalah membuatmu juga mencintaiku~"

"Siapa itu yang nyanyi?" Pak Kepsek menegur saat baru mengeluarkan kata pertama dari sambutan pidatonya.

Vita mati-matian menahan malu saat semua murid menunjuk Azka. Jangan sampai ia dilibatkan, jangan sampai ia dilibatkan, Vita terus merapal doa. Tapi—

"Saya nyanyi buat calon pacar, Pak. Vita Erla Pratisha."

Terlambat.

Seisi penjuru sekolah menyoraki Azka, wajah Vita sudah memerah menahan malu.

"Enak saja kamu bilang Nak Vita calon pacar kamu. Rugi sekali dia. Jangan mau ya Nak Vita, Azka sudah bodoh, tak bermoral lagi."

"Eits, jangan lupakan satu fakta kalau saya ganteng, Pak." Dia membetulkan kerah seragam dengan sangat bangga. "Gentle, tajir! Murah hati, suka menolong! Wih, banyak kelebihan saya, Pak."

"Halah bullshit!"

Semuanya tertawa mendengar suara melengking Pak Kepsek melalui speaker, guru sampai tukang sapu ikut tertawa.

Tears of Hope✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang