Zayyan Zainul Muttaqin (31)

3.4K 365 20
                                    

Bismillah Alhamdulilah

Assalamualaikum warohmatulooh wabarokatuh.

Semoga istiqomah jamaah, tadarus, dan sholawat nabi.

Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang sudah memberikan vote dan juga komen tentang cerita ini. Hal itu membuat imun saya membaik hehe.

Alhamdulillah qodarulloh saya langsung bisa cepet nulis next chapter. Dan ini termasuk panjang. Jadi saya bagi dua saja ya..hehe.

Sabar gak sabar nungguin guse m mbanya sah....hehe

Happy Reading

¤¤¤

Mengikat janji

"Akad adalah sebuah janji kepada Ilahi. Ketika lisan sudah berjanji, maka seluruh jiwa raga ikut bersaksi."

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika kapal yang membawa kami menyebrangi selat sunda sejak enam enam jam yang lalu. Selama itukah waktu yang harus ditempuh dari pulau sumatra ke pulau jawa? Tidak. Biasanya hanya butuh dua sampai tiga jam. Alhamdulillah kami mendapat kapal yang bagus. Di mana semua tempat dalam kapal ini terdapat banyak bilik kasur tingkat. Tidak hanya di ruang vip. Namun, semua ruangan. Bahkan ada ruang keluarga yang terdapat televisi khusus di dalamnya. Semua itu menutupi kekurangan dari kapal ini. Ternyata berlayar menggunakan kapal bagus memakan waktu yang sangat lama. Yaitu dua kali lipat dari umumnya.

Berbicara tentang kami. Iya, kami adalah abah, umi, paman, bibi serta aku. Ada lagi supir ndalem abah. Aku tahu tujuan abah dan umi kali ini ingin menemui seseorang yang akan menjadi pendampingku. Umi juga bilang, dialah yang nanti akan menggantikan banyak tugas umi di pondok putri. Segala persiapan buah tangan dari kue kering, atau bahan masakan mentah, kami bawa dari Lampung. Tak ketinggalan kopi khas Lampung produksi pesantren abah.

Aku masih memainkan gelang tasbih sembari melihat laut dari balik kaca mobil. Aku duduk sendiri di mobil bagian belakang. Tidak bisa tidur. Sejak umi memberitahu kisi-kisi calonku saja, perasaanku sudah berkecamuk. Hanya zikir dan selawat yang menenangkan hatiku. Semalam di kapal aku hanya tidur lima menit. Selebihnya aku ikut menonton film yang otomatis sudah ada di layar televisi kapal. Ada film yang berjudul, "Sayap Pesantren". Kaget. Itu adalah salah satu film terbaru dari sutradara yang setelah kucari namanya di google beliau alumni pondok pesantren di Jawa Tengah. Namanya Kang Ridho.

Beliau ternyata juga alumni dari ma'had ali di mana aku pernah belajar. Film ini bukan hanya menceritakan tentang santri yang beralhlaq. Melainkan lebih melihatkan bagaimana perjuangan seorang Bu Nyai. Di banyak tempat atau momen banyak disebut bahwa Kyailah yang berperan besar dalam pesantren. Namun, seperti yang kita tahu, bahwa di samping lelaki yang hebat ada perempuan yang hebat pula. Ibarat wali tidak hanya lelaki, ada juga wali perempuan. Begitulah, kiprah seorang perempuan inilah yang dalam kitab Mar'atus Sholihah disebutkan bahwa perempuan itu adalah tiang agama. Bila perempuan dalam suatu negara itu baik, maka negara itu menjadi baik.

Aku tercenung, masih terbanyang bagaimana perjuangan Bu Nyai dalam mengurus segala bidang yang ada dalam pesantren. Bu Nyai tidak hanya mengajarkan dalam pengajian. Beliau pun mendidik dalam tingkah laku serta tutur kata. Tak ada yang tahu tangis dan tetes air matanya untuk semua keluarganya maupun santri dan pesantrennya.

Ini bukan menjelaskan tentang kelemahan Bu Nyai atau sifatnya yang lemah lembut. Bu Nyai juga mengorbankan waktu, tenaga serta pikirannya untuk keberlangsungan hidup pesantren yang di asuh oleh suaminya. Bu Nyai bahkan mempunyai andil yang cukup besar dalam urusan anggaran rumah tangga pesantren. Aku, mulai berpikir, apakah calonku siap berjuang bersamaku layaknya Bu Nyai dalam film itu.

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang