Umniyatul Ula (12)

4.6K 381 3
                                    

Bismillahirrohmanirrohim

Sholat jamaah dan tilawah Qur'annya semoga istiqomah aamiin

Budayakan klik bintang pojok dan saran yang mendukung ya..

Happy reading

¤¤¤

Selayang Pandang

"Sahabat terbaik adalah ia yang mengajakmu kepada kebaikan. Namun, kepergiannya bukan membuatmu meninggalkan kebaikan. Melainkan, jadikan itu sebagai alarm beramal kebaikan tanpa ia disampingmu sekarang."

Angin berhembus membuat suasana sejuk di aula putri. Aku masih berdiam diri melepas penat. Aku tak pandai berteman. Mungkin teman dekatku bisa dihitung oleh jari. Selama ini aku sering menghabiskan waktu dengan menyibukkan diri belajar. Hanya di sela-sela waktu istirahat bertemu dengan Roihana. Setelah Roihana sahabatku menikah dengan Ustad Bashir dan otomatis boyong, aku mulai merasa kesepian.

Kegelisahanku tidak hanya tentang Roihana yang sudah boyong, tetapi juga tentang perasaan asing yang baru-baru ini melandaku. Ini ada hubungannya dengan rapat perlombaan di putra membuatku sedikit lelah. Bagaimana tidak? Ternyata ada Ustad Zayan di sana dan seperti memerhatikanku yang telat dengan Mbak Lail. Aku kaget. Aku merasa malu dua kali lipat bertemu dengannya. Beliau adalah Ustadku. Seharusnya aku tidak memikirkan tentang beliau. Astaghfir.

"Dek, lagi apa? Melamun aja," tegur Mbak Lail datang dari arah musala putri. Mbak Lail ini biasa disebut lurah pondok.

"Hehe, enggak kok Mbak," kilahku sambil membenarkan jilbab yang tertiup angin. Ada angin apa ini sampai Mbak Lail menghampiriku.

"Dek, mbak ada kata-kata bagus," katanya tiba-tiba sambil duduk di sebelahku.

"Apa mbak?" tanyaku penasaran. Aku menunggu sesuatu yang akan dikatakan Mbak Lail.

"Tadi ibumu telpon-" Mbak Lail terpotong

"Lho, iya tah mbak, jam berapa?kok aku ga tau," kataku kaget langsung hendak berdiri.

"Dek, mbak belum selesai, mbak cuma ngetes aja, kayaknya kamu pingin pulang ya? Atau pingin boyong?" tembak Mbak Lail seperti mengerti jalan pikiranku.

"Ih, Mbak Lail udah bikin aku deg-degan. Kirain Ibu beneran nelpon." Aku kembali duduk dengan wajah malu.

"Ehem, atau kangen Dek Hana?" Mbak Lail masih kekeh menanyakan alasanku merenung sendirian.

"Iya Mbak, kangen sama Mbak Hana," kataku jujur. Aku memang sedikit malas atau lebih tepatnya mulai enggan menjalani rutinitas di pondok ini. Kenyataannya sahabatku sudah pergi, jadi tidak ada teman akrab yang bisa memotivasi saat sulit murojaah, atau menghibur di kala lelah.

"Dek, tetep jadi pribadi yang rajin. Walaupun Dek Hana dah boyong, sampean harus tetep rajin ngajine, semangat di pondok. Jangan mikir pingin boyong juga, atau mau nyusul Dek Hana?" Mbak Lail memberiku wejangan malah diakhiri meledek.

"Mbak Lail dulu tah mbak," jawabku dengan wajah gugup mengingat Ustad Zayan, eh astaghfirulloh , itu guruku.

"Ingat Dek, masa ngabdi dua tahun. Nunggu setahun lagi sampai ada pergantian pengurus ya, jangan lepas tanggung jawab di pertengahan tahun, Dek. Mbak nanti yang bingung. Sampean kan ketua bendahara," kata Mbak Lail mengingatkan tentang amanah yang ada di pundakku sebagai pengurus di pondok DAWI.

"Iya Mbak, adekku juga mau mondok di sini. InsyaAllah aku masih di sini setahun lagi," kataku mantap.

"Alhamdulillah, satu lagi Dek, tolong nanti bantuin Mbak lagi ya lembur rekap laporan bulanan, Bu Nyai minta revisi apalagi di bagian seksi pendidikan," katanya diakhir percakapan kami. Pundakku melemas.Ya Allah, Mbak Lail, padahal nanti malam pembukaan lomba masih harus sibuk dengan administrasi pondok. Semoga lelah ini berkah.

Teruntuk sahabatku Roihana. Aku rindu. Aku juga punya cerita rahasia. Namun, aku sungkan mengatakan ini pada siapapun. Rasanya ini tidak pantas bagiku. Selamat atas pernikahanmu, semoga sakinah mawaddah warohmah. Aku turut bahagia sekaligus kehilangan.

Jangan lupa tinggalkan jejak voment

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang