Bismillahirrohmanirrohim
Semoga istiqomah jamaah sholat lima waktu
Semoga istiqomah tilawah Al-Qur'an
Semoga istiqomah sholawat atau dzikir harianBudayakan vote dan komen yang membangun ....
Mba Niya dan Dek Dina update , ada yang nungguin?
Happy Reading
¤¤¤
Alas Kaki
"Jejak kaki seorang bisa menjadi sejarah. Hari ini, alas kaki baru yang aku dapatkan membuatku tersenyum cerah."
Gerbang pondok putri sudah terlihat. Aku bergegas menuju air pancuran depan kantor pondok yang biasa digunakan untuk berwudu. Dek Dina sendiri hanya berjalan santai. Dia masih bercerita tentang temannya selama hidup di rumah.
"Kak, masak aku sudah kangen rumah, kangen temen-temen di rumah," katanya mengeluh.
Aku sudah malas mendengarnya. Dasar bocah. Tidak lucu kan baru beberapa menit nyantri di pondok sudah minta pulang lagi. Alasan klasik kangen temen atau rumah. Dulu saat awal menjadi santri aku tidak seperti itu. Ayah dan ibu pun pasti masih dalam perjalanan. Padahal tadi dia tidak menangis lho.
"Kak, kok diem aja sih, heran aku tuh, kakakku kok pendiem banget sih ga asik," cibirnya yang membuatku langsung menghadapnya, tetapi hanya sekilas.
Aku melihat lagi kaki dan sandal baruku. Aku sudah cuci kaki. Sandal pemberian kang tadi juga sudah bersih dan suci. Aku yang asalnya ingin protes dengan perkataan Dek Dina malah tetap fokus menatap sandal swallow berwarna hijau. Warna kesukaanku.
"Hish, Kak Niya diajak ngomong bukannya jawabin, malah senyum-senyum liatin sandal," katanya lagi membuatku bingung.
Memangnya aku tersenyum ya? Aku senyum sama sandal ini? Astaghfir, kenapa aku jadi aneh. Bukan, aku tersenyum karena sandal dan kakiku sudah suci dan bersih. Bukan karena sandal ini dikasih kang. Tidak boleh. Perasaan macam apa ini. Tiba-tiba aku merasa bersalah. Seharusnya aku tidak menerima sandal pemberian lawan jenis. Hal ini dilarang dan termasuk melanggar peraturan pesantren.
"Oh, atau jangan-jangan Kak Niya kenal sama kang tadi?" tebaknya membuatku langsung menggeleng.
"Siapa namanya tadi, kalau tidak salah Kang...mmm..Kang Zayan," katanya yang membuatku tiba-tiba deg-degan. Kang Zayan? Apakah sama dengan Ustad Zayan? Tetapi itu tidak mungkin. Ustad Zayan tidak sebaik itu. Maksudnya Ustad Zayan itu baik, beliau guruku, tetapi ah pusing aku.
"Sudahlah Dek, Kakak mau ke kamar dulu, kamu masuk kamarmu sana," kataku malas membahas tentang sandal ini. Memikirkan namanya saja kenap sudah membuat wajahku memanas. Aku tidak mau sampai ketahuan Dek Dina. Adikku ini walaupun baru lulus sd, tetapi sudah puber. Jadi dia cenderung dewasa sebelum waktunya.
¤¤¤
Kamar pengurus masih lenggang. Perlombaan hafalan nadzhom sudah berlangsung di aula putri. Aku yang kelelahan setelah mengurus ini itu keperluan Dek Dina berbaring di lantai kamar."Dek Niya, jangan tidur bakda asar," suara Mbak Lail sontak membuatku terbangun.
"Wa'alaikum salam Mbak," jawabku sungkan. Aku kaget lho ada orang masuk kamar, sedangkan posisiku sedang tiduran.
"Eh, Assalamualaikum Dek, Mbak juga lupa ga salam, abis mau manggil sampean yang sudah limat watt, paling sedetik lagi sudah merem," Mbak Lail terlihat sedang membenahi mukena.
"Belum salat asar Mba?" tanyaku langsung. Aku baru ingat kalau belum menunaikan salat.
"Belum, tadi abis keliling pondok. Sekalian nilai kebersihan kamar," katanya. Aku jadi ingat kalau perlombaan kebersihan kamar memang dinilai selama rangkaian perlombaan akhir tahun dimulai sampai semua lomba berakhir. Jadi dulu saat aku belum jari anggota pengurus paling suka dengan lomba kebersihan kamar. Kamarku dulu tidak hanya dibersihkan selama dua minggu, tetapi dihias, di cat, pokoknya segala macam cara agar kamar leebih fresh dan tentunya menggunakan tema.
"Aku juga belum Mbak, tunggu sebentar," kataku sambil berlari keluar kamar.
Sebelum ke kamar mandi alu mampir ke kamar Dek Dina untuk mengajaknya salat juga. Masa perlombaan akhir tahun itu berlangsung selama dua pekan. Dan dalam masa itu lomba diadakan di jam selain waktu sekolah umum. Jadi waktu bakda zuhur, bakda asar, dan bakda isya. Sekolah diniyah juga diliburkan. Walaupun begitu, sebagai santri aku tetap mengusahakan jemaah. Makanya aku meminta Mbak Lail menungguku wudu, dan memaksa Dek Dina untuk jemaah bersama kami. Kami semua jemaah di musola putri.
Salat jemaah memang harus dipaksa awalnya. Nanti lama-kelamaan juga akan terbiasa. Namun, dalam hal jemaah , aku suka sekali mencari imam. Aku sering menolak bila disuruh menjadi imam salat. Bukannya sebagai perempuan kita memang harus mencari imam?eh, kenapa jadi melantur sih.
"Dek Niya, cepat dilipat mukenanya malah melamun," tegur Mbak Lail yang sudah menggunakan jilbab instan.
"Iya tu Mbak, Kak Niya ini suka melamun, masak dari tadi diajak ngobrol sama adiknya diem aja." Dek Dina nimbrung. Ya Allah, adikku ini tidak ada jaga image atau sungkan atau apalah. Buktinya sekarang dia juga berani bicara seperti itu dengan lurah pondok.
Aku hanya meringis di depan Mbak Lail lalu menarik Dek Nana pergi. Aku langsung memulangkan Dek Dina ke kamarnya. Aku menaruh mukena di tempatnya. Aku bersiap untuk mandi sore.
Aku berjalan menggunakan sandal baruku. Di pelataran kamar mandi ada beberapa antrean mandi. Aku mendaftar antrean mandi kepada Dek Alya yang sedang mencuci sepatu sambil menyanyi tidak jelas. Lagi, kuperhatikan alas kakiku. Sandal ini memang tidak sebagus sandalku yang putus. Namun, mengapa sandal ini membuat pipiku seperri kepiting rebus. Apalagi mengingat nama kang..ah lupakan. Astaghfir.
"Mbak Niya, aku belum selesai, sana mandi duluan Mbak," teriak Dek Alya membuyarkan lamunanku.
"Eh..eh,iya Dek, makasih," kataku langsung masuk kamar mandi.
Jangan lupa voment

KAMU SEDANG MEMBACA
Sampean Gus?
EspiritualSemenjak membantu temanku mengkhitbah calonnya yaitu santri pamanku, aku sedikit memperhatikan gadis bercelak yang mengantarkan unjuan di ruang tamu ndalem itu. Zayyan Zainul Muttaqin Tahun keduaku mengabdi di ndalem ini sedikit berbeda karena sahab...