Umniyatul Ula (33)

3.5K 423 53
                                        


Bismillahi ,alhamdulillah

Assalamualaikum Warohmatullohi Wabrokatuh

Semoga kita selalu diistiqomahkan dalam kebaikan, jamaah salatnya, tilawahnya, selawat kepada kanjeng nabi dsn bakti kepada orang tua kita aamiin...

Saya selalu ingin mengucapkan terima kasih untuk semua pembaca yang sudah support cerita ini, baik vote maupun comment...dan maaf juga tidak bisa balas satu-persatu, bukannya sok sibuk, tapi asli kehidupan nyataku ah begitu pokoknya. Namun, aku selalu bacain semuanya yang komen kok, kayak vitamin buat nulis gitu.

Tulisanku ini masih banyak typo dll, wlopun udah diusahain hehe, krn memang ngetiknya selalu di hp, you know lah...jariku ini kadang suka khilaf maafkeun...
Nanti setelah end story pasti aku revisi.

Happy Reading

¤¤¤

Membangun Surga

"Perempuan soleha adalah surga dunia. Namun, tak semua perempuan mampu menjadi soleha untuk orang tuanya, gurunya maupun pasangannya."

Hatiku berbunga tentu. Dalam hitungan jam yang lalu aku sudah resmi menjadi istri dari Ustad Zayyan. MasyaAllah, rasanya aku ingin menangis. Aku tak pernah berani menyebut nama lelaki siapapun untuk jadi imamku. Aku hanya perempuan akhir zaman yang bodoh dan haus akan ilmu. Aku hanya perempuan sederhana yang berusaha mengabdi kepada orang tua maupun guru.

Sungguh aku tak tahu harus bagaimana caranya berterima kasih kepada Allah yang memberiku segala kebahagian tanpa kupinta. Lantunan selawat tak henti kurapalkan. Kejadian setelah salat maghrib itu tak ada yang direncanakan. Aku yang terlalu asik murojaah karena sejak tadi pagi sibuk membantu ibu, malah melupakan suamiku. Ustad Zayyan, ustad favorit di pondok.

Saat ini aku tengah wirid bersama ibu dan kedua bu nyai. Aku sebenarnya bingung, sejak tadi kuperhatikan tak ada orang tua Ustad Zayyan. Atau aku yang belum paham juga. Atau Ustad Zayan ini masih saudaranya Gus Dafa? Aku tidak berani bertanya. Sekadar berbincang sebentar dengan ibu rasanya masih sungkan. Ibu sejak tadi tak henti duduk bersama kedua Bu Nyai membicarakan banyak hal. Aku lebih memilih mengundurkan diri untuk ke kamar. Mereka semua malah tersenyum setelah kusalimi, seperti mafhum pengantin baru. Aku menjadi semakin malu.

Di kamar, sejam, dua jam, tak ada tanda-tanda Ustad Zayan akan masuk ke kamar. Aku sudah berhias diri. Aku memakai skincare umum saja, seperti pelembab malam, agar wajahku tidak kusam dan kering. Hair mist agar rambutku wangi setelah mandi sore tadi keramas. Lotion dan sedikit parfum tentunya untuk menyenangkan hati suamiku. Aku diajarkan khusus oleh ibu. Sejak aku mengiyakan lamaran yang ibu kabarkan, ibu berubah jadi lebih posesif dan mulai membiasakan diriku untuk berdandan. Wajib di kamar apalagi waktu malam, itu kata beliau. Selama ini yang kulakukan hanya fokus mengaji di pondok. Belum pernah aku mengikuti gaya hidup teman-temanku yang menghabiskan uang banyak sekadar biaya make up, skin care dan lainnya. Pikiranku hanya mengabdi kepada orang tua, guru, dan pesantren.
Memulai kebiasaan baru yang sebenarnya aku anggap aneh itu lumayan membuatku enggan.

Awalnya aku ingin menolak. Namun, hati kecilku mulai terbuka. Aku akan menikah, dan setelah ijab qobul itu sah, maka aku harus bisa menjadi perempuan soleha juga untuk suamiku. Maka, sejak itu kubuka kembali kitab-kitab tentang bab nikah, apa saja kewajiban, sunnah, hak suami dan istri dan masih banyak lagi. Rasanya aku sampai mabuk membaca banyak kitab dalam waktu yang sempit. Seperti momen aku akan mengikuti lomba cerdas cermat dulu. Diantara banyaknya fasal dalam bab nikah, aku justru menghindari fasal talaq, khulu, dan semacamnya. Aku takut sendiri. Naudzubillah. Doaku semoga pernikahanku nanti sakinah mawaddah warohmah aamiin.

Aku berhenti memandang cermin yang menampilkan pantulan wajahku. Celakku masih awet. Itu memang bagian dari sunnah. Aku sudah terbiasa dengan celak hitam menghiasi mata bulatku warisan dari ibu. Berkali-kali membaca doa bercermin juga dan berusaha tidak mengeluhkan apapun bentuk wajahku di depan cermin. Kebanyakan wanita yang lama  bercermin pasti mengeluh ini itu dan menjadi tidak bersyukur. Naudzubillah. Akhirnya aku berkata pada diri sendiri di depan cermin, "Alhamdulillah aku cantik." aku tersenyum malu sendiri menjadi narsis.

Aku beralih ke meja belajar di jam setengah sepuluh. Mengambil buku harian dan pulpen. Menuliskan sedikit demi sedikit rangkain detik-detik pernikahanku dengan Ustad Zayan hingga maghrib tadi. Senyumku tidak memudar. Menjadi perempuan soleha itu adalah jabatan yang mulia. Tidak mudah tentu dalam mencapainya. Menikah sejak awal adalah untuk mengabdi kepada suami atau pasangan kita. Bahkan seperti kata ibu, surgaku sudah berpindah kepada suamiku, yaitu Ustad Zayan. Aku harus belajar dan belajar lagi. Imamku adalah panutanku. Surgaku ada padanya. Aku harus mendapatkan rida-Nya jika ingin Allah juga rida padaku. Ini bukan tentang perempuan yang harus selalu mengalah. Bukan. Ini adalah tentang kodratnya perempuan di bawah laki-laki. Karena Ustad Zayyan kelak yang akan dimintai pertanggungjawabannya atas diriku dan anak-anak kami kelak. Wah, pikiranku sudah jauh sekali. Tentang anak-anak apakah aku sudah siap? Entahlah, aku tiba-tiba deg-degan memikirkan hal itu. Suara bass Ustadku membuat aku langsung berdiri.

"Dek, belum tidur?"

Jangan lupa tinggalkan jejak ya readers, vote and comment.

Boleh tau gak kalian ketemu cerita ini dari siapa?
A. Nyari sendiri
B. Rekomendasi temen
C. Akun sosmedku ig atau wa (mngkn)
D. Lain?

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang