Umniyatul Ula (6)

5.8K 458 5
                                    

Bismillahhirrohmanirrohim

Jangan tinggal sholat jamaah dan tilawah al-Qur'an

Asmaul husna dan burdah juga dibaca ya teman...

Vote bintang pojok dan saran yang membangun ditunggu...

¤¤¤¤

Lamaran

"Suka berteman dengan duka. Ketika rasa suka datang jangan abai. Begitupula ketika duka mengahadang jangan sesali. Keduanya tetap akan menghampirimu baik bergilir maupun bersamaan."

Siang ini aku sengaja ke kamar mba ndalem untuk bertemu sahabatku. Namun, Roihana tidak ada di kamar. Lalu, aku ke dapur ndalem dan bertemu dengan Roihana yang sedang membuat teh dan menata kue.

"Mba Hana, ada tamu ya, kayaknya repot banget, sini aku bantu?" tanyaku sambil membantu menyiapkan cangkir di atas nampan.

"Eh, Mba Niya, makasih lo dah dibantu, baiknya," katanya sambil menuangkan teh diatas cangkir yang sudah kutata rapih.

"Iya Mba, tadi aku cari Mba, di kamar ga ada, jadi langsung ke dapur," kataku sambil duduk di lantai bawah.

"Mba Niya, sibuk ga? temanin anter unjuan ke depan ya," pintanya yang sudah membawa nampan teh.

"Boleh Mba," kataku sambil tersenyum dan membawa nampan kue.

Aku dan Roihana segera mengantarkan unjuan teh dan kue ke ruang tamu ndalem. Disana terlihat ada Ustad Bashir berserta keluarganya dan juga ada Ustadz Zayyan. Ustadz Zayyan yang sedang matur (berbicara ) kepada Abah Yai. Setelah meletakkan unjuan kami hendak undur diri. Namun, Bu Nyai mencegah Roihana dan tentunya sahabatku juga menarik tangganku untuk menemaninya. Aku merasa sedikit menyesal menemani Roihana karena harus bertemu Ustdaz Zayyan lagi. Kejadian tadi pagi saja sudah membuatku ingin menyembunyikan diri.

Ternyata pembahasan ini mengenai Ustad Bashir yang mengkhitbah Roihana. Aku turut bahagia. Bahkan ibunya Ustad Bashir langsung memberikan cincin kepada Roihana. Entah mengapa aku merasa diperhatikan oleh seseorang, tetapi aku kembali menundukkan kepala. Akhirnya Ustad Bashir dan keluarga serta Ustad Zayyan juga pamit. Bu Nyai menyentuh tangan Roihana sambil tersenyum. Ketika Bu Nyai hendak beranjak berdiri kami langsung salim takzim dan undur diri ke pondok.

Roihana ini teman sebayaku. Namun, secara pemikiran sudah lebih tua dariku. Roihana juga cenderung lebih pendiam dariku. Aku sudah menganggapnya seperti kakakku sendiri, karena aku anak pertama. Roihana hanya bercerita bahwa memang semalam Bu Nyai sudah mengutarakan ada kang santri yang mengkhitbahnya. Roihana tentu sudah salat istikhoroh. Dia mengaku akan bercerita padaku kalau sudah resmi saja. Hari ini adalah lamaran Roihana. Aku sebenarnya tidak terlalu kaget bila Roihana dikhitbah oleh ketua pondok putra yaitu Ustad Bashir.

Dari awal kenapa aku bilang Roihana selalu memotivasiku selama di pondok. Roihana terlahir dari keluarga cukup mampu. Bapaknya adalah bos kain di daerahnya, sedangkan ibunya memiliki konveksi pakaian seragam. Namun, ia memiih mondok sambil khidmah di ndalem katanya agar lebih berkah.

Aku dan Roihana mulai dekat sejak aku masuk kamar khufadz, mulai menghafalkan Al-Qur'an sekitar tiga tahun yang lalu. Walaupun kami sebaya waktu itu dia sudah hampir menyelesaikan hafalannya kurang lima juz lagi. Jadi aku banyak belajar membagi waktu mengaji, belajar sekolah dan lainnya dari Roihana. Ketika roihana sudah khatam Al-Qur'an aku baru menghafal setengah Al-Qur'an. Aku hampir menyerah untuk melanjutkan hafalanku karena sakit asam lambungku parah hingga dibawa ke rumah sakit.

Meskipun sakit, aku tidak mau pulang ke rumahku. Aku bilang pada ibu, aku akan pulang bila sudah bisa mengaji seperti kepulangan pertamaku lulus madin pondok setahun yang lalu. Awalnya ibu begitu khawatir dan memaksaku untuk pulang ke rumah setidaknya sampai aku sehat kembali. Aku sakit sampai dua bulan. Setelah itu aku sudah bisa mengaji kembali dan terasa begitu mudah bila diniatkan dalam hati karena Allah. Ikhlas dengan segala ujiannya menghafal Al-Qur'an. Dan aku bisa mengkhatamkan Al-Qur'an bersamaan kelulusan Madrasah Diniyah Aliyahku.

Roihana bukan sekadar sahabat dan juga kakak. Bagiku dia mengajarkan tentang sabar itu tidak terbatas. Orang tuanya yang mampu itu meninggal dunia saat menjalankan ibadah haji setahun yang lalu. Sebagai anak terakhir dan perempuan sendiri ia mengabdikan di pondok ini untuk mengubur sakit hatinya ditinggal kedua orang tuanya. Dia bilang di sini ia masih punya Abah Yai dan Ibu Nyai. Ketika Roihana di rumahnya kakak-kakaknya sudah menikah semua. Jadi tidak heran bila Ustad Bashir mengkhitbah mba roihana lewat Abah Yai.

"Senyum kok nangis sih Mbak," kataku melihat Roihana yang aneh.

"Hehe," ringisnya terlihat giginya rata.

"Kan, malah ketawa," kataku sambil mengendikkan bahu. Roihana itu penuh rahasia dan selalu membuatku penasaran.

"Alhamdulillah Mbak Niya, aku seneng sekaligus sedih,"katanya malah menghambur memelukku.

"Mbak Hana, ih nangisnya nular nih," ucapku sambil menerima pelukannya.Tak terasa aku pun ikut menangis.

"Mbak, maape ya kalau aku banyak salah," rintihnya di sela tangisan.

"Iya Mbak, aku juga, Mbak Hana jangan lupain aku ya kalau udah boyong," jawabku sambil mengusap air mata.

Aku sadar, Roihana sudah dilamar itu berarti sebentar lagi ia juga akan boyong dari pondok ini. Aku akan kehilangan sahabat terbaikku. Pertemuan dan perpisahan itu sama antara tawa dan lara. Aku bahagia dipertemukan dengan sahabat yang membuatku lebih baik. Hal yang aku tangisi sekarang adalah perpisahan yang tercipta karena pertemuanku dengan Roihana. Tak ada lagi perbincangan diantara kami. Kami masih menangis hingga tertidur di kamar mbak ndalem.

Jangan lupa tinggalkan jejak voment

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang