Bismillah,Semoga Istiqomah jamaah 5 waktu
Semoga Istiqomah tilawah AlQuran
Semoga Istiqomah selawat burdahHappy Reading
¤¤¤¤
Kitab Suci
"Sebuah benda yang berisi kalam ilahi. Namun, tak semua orang menjadikannya kitab pedoman untuk dijalani. "
Destinasi kedua yaitu Museum Al-Quran dan Kitab tertua di Jawa, yang mana kali ini kita wajib mempelajari dan membuat dokumentasi selama rihlah berlangsung. Sejak tadi Gus Daffa selalu menempel padaku. Bahkan beliau ikut rombongan bis. Selama di Museum kami tidak pernah absen diskusi. Aku berasa mempunyai adik sungguhan.
"Kak, " tegurnya saat aku sedang asik mengamati bangunan megah ini. Museum Al-Quran Al Jalil adalah Alquran raksasa yang berbentuk lembaran kayu sebagai dinding bangunan. Museum ini sampai bertingkat tujuh. 30 juz Alquran diukir cantik pada kayu tembesu yang berukuran 2 x 3 meter dengan tebal 2,5 sentimeter.
"Dalem," jawabku kalem sambil menyentuh permukaan dinding. Ukirannya halus. Pikiranku melayang teringat Dek Niya. Terakhir kali aku melihatnya saat Dek Niya menemani Bu Nyai pergi di maqom tadi. Aku membayangkan bagaimana perjuangannya seorang Hafidz atau Hafidzoh. Mereka mengukir setiap huruf dalam otaknya. Mengumpulkan menjadi ayat, merangkainya menjadi surat, lalu membacanya tartil berlembar-lembar hingga berganti juz.
"Lah...Kak, malah senyum sendiri. Bengong ini. Lihat tuh arah jam sembilan." katanya lagi yang reflek aku turuti.
Pemandangan yang indah. Ada seorang gadis sedang duduk sambil mulutnya berkomat-kamit. Sedangkan temannya asik memotret dinding dengan ukiran ayat quran juz sepuluh. Iya, ketika kubaca memang surat at-taubah.
"Beda memang yang sudah halal, pandangan satu, dua, tiga asli memang rizqi, kedip gak kedip mah, " Gus Daffa semakin menggodaku. Aku merasa dejavu. Rasanya malah seperti ketika aku menegur Bashir. Apa kabar dia sekarang?
"Ekhem...Gus, coba ceritain museum yang terkenal di madinah itu, aku hanya bisa melihat dari layar ponsel."
"Museum Alquran? Maksud Kakak The Holy Quran Ex yang di Madinah tah? Museum itu didirikan pada 1984. Museum itu luas lo Kak, luas dan punya berbagai macam koleksi Alquran. Dari yang tertua berusia hingga sekitar ribuan tahun sampai yang terbaru. Namun, lebih banyak koleksi Alquran jadul masa lampau.Salah satu koleksi museum yang cukup menarik itu Alquran yang ditulis menyerupai mushaf aslinya dari zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib" katanya bersemangat. Aku hanya mangut-mangut sambil selawat.
Gus Daffa sesekali melihat ponselnya. Takut Abah dan Ibu menghubungi. Diam-diam Gus Daffa tumbuh menjadi lelaki dewasa, yang penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Taat dan berbakti kepada Paman dan Bibi. Kadang egoku tersentil. Menjadi anak lelaki satu-satunya dan tak ada tempat mengeluh sekadar bercanda tawa itu adalah berat. Makanya aku selalu mengambil peran kakak untuknya.
"Gus, la mushaf aslinya ada dimana? " tanyaku penasaran.
. “Koleksi mushaf aslinya ada di Museum Topkapi Turki. Sedangkan yang ada di Madinah ini merupakan salinan dari yang aslinya,, seingatku gitu, kata staf Museum Alquran disana, ketika memandu rombongan jamaah haji. " jawabnya santai. Namanya sekolah di Madinah, Gus Daffa menang banyak. Adik kecil ini sudah haji berulangkali. Iri , sedikit. Yah, rasanya ingin segera menunaikan rukun islam ke lima itu. Sholallohu ala muhammad.
"Kak, bukannya di daerah Jawa Barat juga mau ada museum Al-Quran berbasis teknologi 4 dimensi atau 4D. Tahu gak Kak, itu kayak yang ada di Dubai?" tanyanya lagi bersemangat masalah diskusi.
"Iya tah, malah baru tahu Gus," jawabku sambil melirik kearah belakang. Ada seseorang yang menabrak punggungku, pelan. Aku berusaha tidak menggubris karena dari bawah melihat sandal perempuan.
"Wah, Kakak mainnya kurang jauh, susah ya Kak, istiqomah di bawah atap pesantren," katanya pelan. Aku tahu , lubuk hatinya masih ingin belajar melihat luasnya alam semesta ini. Namun, apalah arti umur, ilmu, dan harta, tanpa melangkah meneruskan tapak orang tua. Paman dan Bibi mempunyai visi misi yang besar.
Aku menepuk pundaknya. Namun, aku penasaran dengan seseorang yang ramai dibelakangku. Apa mba santri dari tadi tidak pergi.
"Kak, ditungguin istri? " kata Gus Daffa membuat aku membalikkan badan secara refleks.
"Dek, " kataku melihat Dek Niya terdiam sambil memilin jilbab seragam pengurus.
"Dalem Mas, niki, " katanya sambil memberiku, minuman ion. Lalu mencium tanganku dan bergegas pergi. Tidak lari, hanya mundur secara cepat. Aku melihatnya terus sampai dia menghilang dibalik pintu."hehehe...lucu juga kakak iparku. " katanya membuat aku mengalihkan pandangan lagi. Aku tersenyum samar. Memang selucu itu.
"Kak, kita barter gimana, ceritanya kakak dapat santri sini. Aku cariin santri Lampung. Katanya orang Lampung asli cantik -cantik banget. Kulitnya putih bersih. Temanku ada loh orang Lampung yang kuliah di madinah. Kami bertemu saat perkumpulan mahasiswa Indonesia. " katanya lagi. Dasar anak kecil. Baru tadi kusanjung, malah sekarang dia bertingkah seperti ini. Melihat perempuan hanya fisik itu tidak baik. Percayalah, laki -laki pikirannya memang tidak jauh dengan tubuh bagian tengah. Maka, aku sering bersyukur, Kak Zainab galak dan tomboy. Sedang, istriku, pemalunya mengalahkan tanaman putri malu yang ada di pinggirian pondok.
"Hush, pikirannya kemana-mana. Sana wudu. Anak di bawah umur jangan bahas yang bukan usianya." kataku mengalihkan.
"Kakak mah, seriusnya gak ada obat. " katanya mendengkus sambil meninggalkanku.
"Mau kemana?" kataku setengah bertetiak.
"katanya di suruh wudu, sekalian mau salat, ini dah masuk waktu salat. " katanya sambil jalan. Aku pun mengikutinya.####
Awalnya jamaah salat hanya berdua. Namun, ketika aku salam, kulihat musola ini penuh hampir semua pengurus. Yah, alhamdulillah. Terkadang, aku malah tidak berniat jadi imam, ketika di musola pom bensin, banyak makmum. Dalam kitab Taqrib, dinyatakan bahwa dalam masalah salat jamaah, seorang imam tidak wajib niat menjadi imam, sedang makmum wajib niat jadi makmum.
Ketika aku melihat dalam rumus pernikahan. Sebagai imam, sejak kulafadkan kalimat akad ijab qobul. Aku niat jadi suami. Aku niat bismillah membimbing, dan mendampingi ibadah makmumku.
"Kak, doa, " tegur Gus Daffa lagi membuatku melenyapkan lamunan. Aku mulai memimpin doa.
"Kak, makan dulu yuk, ini diajak ke cafe depan, udah ada Abah ma Ibu, " katanya sambil memakai sepatu sneakers putihnya. Sedangkan aku hanya memakai sandal kulit yang kubeli sebelum lamaran yang langsung sah. Kami berjalan bersisian. Sesampainya cafe sudah ramai. Abah dan Ibu ada di ruangan dalam. Sedang para santri di luar . Aku melihat Dek Niya yang berdiri kebingungan mencari tempat. Aku bergegas menghampirinya. Sebelum temannya mengajak duduk. Aku membawanya untuk makan bersama keluarga ndalem. Jangan tanya kenapa? Aku hanya ....itu pokoknya. Tak peduli Gus Daffa meledekku. Paman dan Bibi tersenyum lebar. Tangan istriku sudah basah sejak kugenggam sejak tadi.
"Kak, makannya pake tangan apa disuapin? Itu dari tadi kok gak dilepas?" tanya Gus Daffa membuat aku dan Dek Niya saling melihat tangan kami. Paman dan Bibi pun ikut menoleh. Dengan perlahan aku melepaskannya sambil berdehem, wajahku kali ini sangat panas. Padahal ruangannya ber AC. Aku tidak berani melihat kondisi istriku yang semakin menenggelamkan kepalanya.
"Makan Mba Niya, " Bibi berusaha mencaikan suasana. Sedangkan Paman sudah memilihkan lauk dipiringku. Makan siang ini sangat berkesan. Rasanya aku kapok membawa istri semeja dengan Gus Daffa yang usil.
Terima kasih yang sudah setia menunggu
Salam dari santri Lampung
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampean Gus?
SpiritualSemenjak membantu temanku mengkhitbah calonnya yaitu santri pamanku, aku sedikit memperhatikan gadis bercelak yang mengantarkan unjuan di ruang tamu ndalem itu. Zayyan Zainul Muttaqin Tahun keduaku mengabdi di ndalem ini sedikit berbeda karena sahab...