Umniyatul Ula (24)

3.3K 311 6
                                    

   Bismillah

Semoga istiqomah jamaah, tilawah dan sholawat atau zikir lainnya..

Semoga kalian semua sehat jasmani maupun rohani aamiin.

Alhamdulilah, kesibukan dunia nyata jadi baru sempet update.
Ada yang masih on kah malam ini?
Ini Mbak Niya hadir lo..

Jangan lupa follow, read, vote and comment....

Happy Reading
¤¤¤¤¤

Madrosatul Ula

"Perempuan adalah pemegang peradaban. Sebagai perempuan harus banyak belajar agar dapat menggenggam pengetahuan. Perempuan yang cantik budi, hati dan pemikiran."

       "Dek Niya, masih nderes aja, gak ke aula tah?" tanya Mbak Lail saat aku sedang murojaah di depan kamar pengurus.

      "Iya Mbak, besok mau maju sejuz sama Ibu," jelasku. Sejak selesai salat jemaah isya, aku sudah duduk memeluk Al-Qur'an. Besok pengajian jam sembilan pagi aku harus maju murojaah juz delapan belas, yaitu surat Al-Mu'minun, An-Nur dan Al-Furqon.

"La ya, berarti ga mau ke aula tah? Ayok bareng Mbak, soalnya jurinya ibu," kata Mba Lail lagi. Aku memang tahu jadwal perlombaan malam ini pidato. Namun, masalah juri biasanya yang tercantum dan yang hadir itu beda.

"Iya tah Mbak, aku pingin liat la, aku gak tau kalau Ibu jadi juri," sesalku. Dulu waktu aku kelas dua aliyah pernah ikut lomba pidato, tetapi bukan Ibu Nyai yang jadi juri. Kebetulan saat itu Ibu Nyai  sedang pulang ke rumah Mbah Nyai Nariyah, orangtuanya Ibu Nyai sedang sakit keras.

"Makanya ayo Dek, ini sudah jam sepuluh. Sebentar lagi paling selesai. Mbak juga tadi ketiduran," ajak Mba Lail langsung menarikku berdiri. Aku sempat melihat Mba Lail tadi diskusi dengan Mba Fayya pengurus kebersihan. Setelah itu aku fokus mengulang hafalan.

¤¤¤

"Alhamdulillah perlombaan pidato malam ini telah selesai. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari para peserta. Sebelum kami tutup, kiranya Ibu Nyai ingin menyampaikan mauidzoh dan dilanjut doa. Saya sebagai pembawa acara meminta maaf bila ada tutur kata atau sikap yang kurang berkenan kepada teman santri semua dan kepada Allah saya mohon ampun. Akhir kalam, Wassalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh." Dek Alya yang menjado MC menutup acara malam hari ini.

Kemudian Dek Alya memberikan microphone kepada Ibu Nyai. Aku dan Mbak Lail duduk di barisan terakhir. Aku melihat Dek Dina duduk di baris ketiga dari depan. Dia terlihat sudah akrab dengan teman sekamarnya. Alhamdulillah, semoga dia betah. Aku berusaha menjaga jarak dengan Dek Dina.  Bagaimanapun aku di sini sebagai pengurus tentu dilihat banyak orang. Jadi aku membiarkan Dek Dina belajar mandiri dalam segala hal di pondok, itu terlihat mudah karena dia orang yang mudah bergaul. Jadi walaupun umurnya termuda di antara teman-temannya
Ibu Nyai  membuka dengan salam dan hadoroh beliau berhenti sejenak. Aku langsung mengalihkan fokus untuk menyimak mauidzoh dari Ibu Nyai. Beliau itu jarang-jarang bisa hadir di acara putri untuk memberi wejangan seperti ini.

"Mbak-Mbak santri sekalian. Alhamdulillah malam ini Ibu seneng melihat semua peserta bagus. Ibu seneng banyak di antara santri putri di sini sudah bisa pidato. Ibu seneng kalian bisa berdakwah. Namun, dakwah itu luas ya, Mbak. Maksudnya, bagi beberapa santri mungkin ada yang tidak bisa berdakwah dengan cara pidato di depan khalayak bukan berarti da tidak bisa bedakwah. Kalian semua sebagai santri, generasi muda yang melanjutkan perjuangan Ibu di rumah kalian besok harus bisa berdakwah. Di antaranya bisa melalui sholawat, mengajak orang lain untuk seneng sholawat kepada Nabi itu dakwah, Mbak. Apalagi? Apapun profesimu kelak berusahalah untuk tetap berdakwah. Lulus SMA di kampung ngajar tpq atau tk. Lulus kuliah, jadi guru bisa mengajar di sekolah atau lembaga manapun. Lulus kuliah s2 bisa jadi dosen. Dakwah juga tidak harus  menjadi guru. Misal mbak santri di sini besok ada yang kerja di rumah sakit. Nah mengajak teman-teman di rs untuk salat jemaah. Atau ada yang jadi pengusaha sukses, mengajak karyawannya untuk doa dan mengaji setiap membuka atau menutup toko. Ada juga dakwah yang dampaknya bisa membuat kamu hidup selamanya. Yaitu melalui  tulisan, sampaikanlah imu yang kalian dapat dari pondok walaupun hanya satu ayat atau satu kata. Dakwah melalui tulisan ini bisa dilakukan oleh siapapun, mau guru, pedagang, pekerja pns, bahkan ibu rumah tangga." Ibu Nyai menjeda penjelasannya yang membuat aku terhenyak.

Aku bukan tipe orang  yang berani tampil di podium. Kemarin saja saat ditemani Mbak Lail, aku hampir pingsan. Aku berpikir, aku tidak mampu berdakwah seperti kebanyakan temanku. Dek Alya saja dia itu pintar, sering juara pidato tidak hanya bahasa indonesia, bahkan bahasa inggris dan arabnya juga jago. Dulu aku lomba pidato terpaksa hanya karena mewakili kamar. Alhamdulillahnya bisa juara, kata juri materi yang kusampaikan bagus sesuai tema. Aku sampe terkejut saat pengumuman pemenang, karena memang dulu orientasiku hanya penting maju, masalah menang kalah itu biasa. Itu aku juga latihan diajari Roihana.

"Mbak, kita adalah perempuan. Perempuan adalah madrosatul ula. Mbak santri semua terlahir dan tertakdir menjadi madrasah pertama untuk anak-anak kita. Jangan malas belajar, Mbak! Jangan malas ngaji, Mbak! Apapun profesi kalian besok, dakwah yang pertama kalian lakukan kepada anak. Makanya kalian sebagai perempuan itu jangan hanya mempercantik wajah, tetapi belajar ngaji dan sekolahnya yang rajin agar  otaknya terasah. Udah itu aja dari Ibu, semoga jadi renungan, jadi motivasi buat mbak santri sekalian. Ibu akhiri Wassalamu'alikum Warohmatulloh Wabarokatuh." Ibu sudah hendak meletakkan microphone, Dek Alya seperti sedang matur. Kemudian Ibu tersenyum.

"Oh iya Mbak, doa geh?" tanya Ibu Nyai sambil tersenyum.

"Enggih," jawab kami semua sambil menahan tawa.

Ibu berdoa dan kami semua para santri membaca aamiin yang artinya semoga dikabulkan. Setiap doa empat puluh santri itu diibaratkan satu wali. Jadi misal ada dua ratus santri yang berdoa berarti ada lima wali. Doa seorang wali akan dikabulkan oleh Allah. Nah, ini mungkin yang menjadi dasar, banyak orang pingin didoakan oleh santri, agar doanya bisa diijabah. Padahal semua doa itu diijabah Allah, hanya saja mungkin waktu diijabah doa seorang hamba satu dengan lainnya tentu berbeda. Setelah selesai doa Ibu Nyai mulai meninggalkan tempat. Aku langsung pulang ke kamar.

¤¤¤

Tak terasa sudah jam sebelas malam. Aku sudah mulai mengantuk. Meskipun begitu, aku tetap berlari ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Setelah itu aku mulai menggelar kasur lipat dan berisiap tidur. Berbagai macam doa sudah kubaca dalam hati. Mataku juga sudah merem dari lima belas menit yang lalu. Namun, pikiranku melayang tentang madrosatul ula. Aku sadar, aku belum bisa ngaji. Aku harus lebih serius lagi di pondok ini. Apalagi sekaranh ada adikku, Dek Dina. Aku harus menjadi contoh yang baik untuknya. Aku juga ingin mempersiapkan diri, belajar berdakwah. Tadi kata Ibu Nyai minimal mengajarkan satu huruf kepada anaknya. Anak?calon suami saja belum ada. Eh, kok tiba-tiba inget Ustad Zayyan. Ini gara-gara sandal yang belum tentu juga dari Ustad. Apa sandal ini aku kasih ke orang lain atau gimana ya? Ah, tidur dulu. Aku memiringkan badan ke arah kiblat menutupu seluruh tubuh dengan selimut.

Jangan lupa tinggalkan jejak voment.

Mbak Niya malam-malam galau gara-gara sandal. Hehe..

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang