Umniyatul Ula (26)

3.5K 300 12
                                    

Bismillah,

Semoga kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi setiap harinya aamiin

Happy Reading

¤¤¤¤

Kabar tak terduga

"Perintah orang tua adalah salah satu amar yang harus dijalani bila itu tentang ibadah. Berbaktilah kepada keduanya dengat niat lillah."

Hiruk pikuk kehidupan santri putri dimulai dari fajar menyingsing. Keributan santri saat membereskan peralatan tidur sampai panjangnya antrean wudu dan mandi. Aku sudah duduk di musola sambil mengikuti bacaan selawat seperti Mbak Lail. Iya, subuh ini Mbak Lail sudah berselawat menggunakan mic.
Sepuluh menit berlalu, Ibu Nyai datang dan Mbak Lail mengumandangkan iqamat. Seluruh santri merapatkan barisan untuk segera melaksanakan jemaah subuh. Kemudian wirid dan doa bersama dipimpin oleh Ibu Nyai. Aku beringsut melipat sajadah ketika Ibu Nyai meninggalkan musola.
Perlahan satu persatu santri juga ikut meninggalkan musola untuk sekadar mengambil kitab atau Al-Qur'an di kamar. Mereka mempunyai jadwal mengaji masing-masing sesuai kelasnya. Aku sendiri masih memeluk Al-Qur'an untuk murojaah mandiri. Jadwal mengajiku bakda subuu setelah anak tahfid yang masih sekolah selesai.
"Dek Alya, tolong sima' ya," pintaku begitu melihat Dek Alya lewat pelataran musola.
"Iya Mbak, bentar," katanya sambil membenarkan jilbab. Aku menghampirinya yang hanya di pelataran musola.

"Kamu suci atau haid lo dek?" tanyaku melihat gelagatnya. Dek Alya membenarkan posisi duduknya.

"Hehe, haid Mbak, baru aja," jawabnya sambil meringis. Aku teringat pengajian dengan Abah Yai kitab fiqih "Safinatun Najah" karya Syaikh Salim bin Samir dijelaskan, bahwa seorang wanita yang haid tidak diperkenankan untuk duduk , atau berlama-lama di masjid maupun musola dikhawatirkan darahnya menetes. Hal itu benar adanya, walaupun di zaman sekarang banyak macam kain atau sejenisnya yang berguna untuk menyumpal darah, tetapi tetap harus berhati-hati. Apalagi sebagai santri yang tahu tentang ilmunya, kami berusaha berhati-hati dan menjalankan ilmu yang ada.

"Pantesan kamu gak keliatan jemaah, ini baru dari kamar mandi kan, yaudah Mbak pegang Al-Qur'annya tolong sima ya," pintaku lagi sambil mengarahkan Al-Qur'anku ke hadapannya.

"Iya Mbak," kata Dek Alya sambil melihat Al-Qur'an.

Aku mulai membaca Surat Al-Fatihah dan dilanjut Surat Al-Mu'minun. Ayat demi ayat dalam juz delapan belas selesai dalam waktu sekitar empat puluh menit.

"Alhamdulillah, semangat ya Mbak Niya," kata Dek  Alya dengan mengepalkan tangan.

"Duh, masih banyak yang salah Dek, takut disuruh mundur sama Ibu," keluhku sambil membuka lembaran yang ayatnya keliru.

Lalu aku kembali mencoret-coret Al-Qur'an dengan pensil. Terutama untuk ayat yang panjang pendek atau hurufnya sering keliru.

"Dikit kok Mbak, semangat ya, aku mau ke atas dulu, hari ini piket," katanya langsung berdiri dan melambaikan tangan kepadaku.
Aku dengan perasaan siap atau tidak langsung menuju ndalem untuk mengaji dengan Ibu Nyai. Antrean setoran mengaji sudah lumayan luang. Sebentar lagi giliranku untuk simaan. Aku mengirim fatihah kepada Ibu Nyai dan semua guru-guruku. Tibalah giliranku mengaji di hadapan Ibu Nyai, bismillah.

¤¤¤

Alhamdulillah, aku sudah mengerjakan salat duha lebih cepat dari biasanya. Ini baru pukul tujuh pagi. Sepulang dari mengaji di ndalem, aku langsung berwudu kembali dan salat. Serangkain doa salat duha dan wirid.sudah kubaca. Aku segera melipat mukena dan meletakkann di tempatnya.
Dering telpon dari kantor pengurus terdengar. Mbak Lail yang sedang sibuk membaca kitab entah apa memberi kode untukku menerima panggilan telpon. Aku segera berlari ke kantor pengurus. Napasku terengah mencari posisi telpon yang menyelempit di antara buku-buku pengurus pendidikan.

"Assalamualaikum, maaf ini dari siapa?" tanyaku membuka panggilan telpon tanpa melihat nama yang tertera di ponsel pondok.

"Wa'alaikumsalam, ini ibunya Umniyatul Ula dari Jepara," jawab suara di sebrang sana.

"Ibu, niki ibu to," kataku kaget sambil melihat layar ponsel untuk memastikan.

"Enggih, Kak, kakak sehat?" tanya Ibuku santai. Ibu ini sudah paham suaraku malah sengaja berkata seperti formal diawal.

"Alhamdulillah sehat, Ibu kaleh Ayah pripun? Kulo kaleh Dek Dina alhamdulillah geh sehat, Dek Dina  mpun betah. Ayah kaleh Ibu ampun khawatir." Aku melaporkan keadaan kami di pondok. Dek Dina belum terlihat sejak subuh. Mungkin masih mengaji dengan pembimbingnya atau masih antre mandi. Aku melongok ke jam dinding yang ada di kantor.

"Alhamdulillah, Kak, la Dek Dina pundi?" tanya Ibu yang membuatku langsung berdiri dan menghidupkan microphone yang ada di kantor.

Segini dulu ya untuk malam ini, part ini dibagi dua.

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang