Zayyan Zainul Muttaqin (29)

3.6K 353 15
                                    

Assalamualaikum,
Salam alhamdulillah
Semoga istiqomah solat jamaahnya,
tilawah qur'annya, sholawatannya aamiin..

Gus Zain update, maaf lama banget memang nulis itu pekerjaan sunnah, hehe sunnah apa entah

Jadi sebisanya, sengalirnya kehidupan guse yang santai.

Terima kasih untuk para readers yang sudah vote , komen, sampe share ke temennya. Alhamdulillah yang baca cerita ini sudha banyak, walopun yg support masih berbanding jauuhhh, gpplah...
Saya juga masih belajar menulis.

Jangan lupa pembaca budiman support penulis ya dengan vote bintang pojok , comment yang mendukung, saran boleh banget....

Saya termasuk penulis baru di wattpad, dan belum pernah nentuin pemain misale, saya jadi membebaskan pembaca siapa yang jadi guse atau mb niya....kalau ada saran boleh...

Sudah ya, sebenarnya malam ini ndak tau ada ilham apa bisa nulis...ini rizqinya yang nungguin guse, atau efek malam jumat..

Happy reading

¤¤¤

Abah

"Lelaki panutan, seorang Bapak yang mengajari dengan teladan
Tak pernah memerintah dengan paksaan, namun selalu berbicara dengan senyuman."

Perjalanan ini memang sangat melelahkan. Di mana aku harus membawa mobil sendiri tanpa bergantian. Masalahnya sudah lama aku pensiun menjadi supir. Iya, dulu aku pernah menjadi supir ndalem dan terbiasa membawa mobil dengan jarak ratusan kilometer. Bukan, sebenarnya aku tidak mengeluh menjadi supir Abah Afnan. Aku hanya tidak tenang sepanjang jalan memikirkan Abahku, atau Abah Afnan dan Mba...tidak, apa hubungannya sih dengan Mba itu. Astaghfir.

Alhamdulillah, semalam mobil ini selamat sampai ke rumahku , eh rumah Abah. Sekarang mungkin Abah Afnan dan Bibi Mai sedang istirahat di kamar tamu. Aku, jangan ditanya, rasanya tadi malam baru meletakkan badan ke kasur , eh sudah adzan subuh. Abah langsung masuk kamar dan mengatakan, "Imamnya kok belum wudu," dengan senyum yang membuat aku langsung berdiri, lari ke kamar mandi yang ada di kamarku. Setelah jamaah subuh dengan para santri, Abah bahkan langsung pergi ke pasar. Well, ada pengurus datang dan mantur, "Gus, ngajine Abah Tafsir Jalalen teng aula." perkataannya seperti alarm perintah untukku. Ya Allah rasanya aku ingin berteriak, namun aku membalas dengan senyum, "Iya Kang, saya ambil kitab dulu."

Jam sepuluh pagi, mataku sudah lengket. Aku masih di aula. Masya Allah, pengajian Kitab Tafsir pagi ini sudah sampai Surat Yasin. Dan ayatnya sungguh membuatku ingin beristighfar terus-menerus. Aku tidak terbiasa mengajar tanpa mutolaah. Satu ayat yang kubaca, maknani ayat, kemudian aku lanjutkan berkisah tentang para sahabat. Aku tidak berani menjelaskan tafsir qur'an tanpa mempelajari asbabun nuzul dan seluk beluknya. Aku tidak bisa hanya membaca arti ayat langsung menjelaskan abcd kepada santri secara asal. Sebagai orang yang juga masih belajar, tidak selayaknya aku membodohi orang awam. Di tengah renunganku sambil memutar tasbih, bukan si gelang yang kujadikan tasbih tepatnya. Ada seorang santri menghampiri.

"Ada apa Kang?" tanyaku sambil memakai gelang tasbih.

"Jenengan di timbali Abah, ken teng ndalem," jawabnya sambil menunduk. Kemudian dia pergi.
Aku pun langsung menuju rumah.

¤¤¤
Perutku berbunyi. Kulirik jam ruang tamu. Pantas saja sudah masuk setengah sebelas aku juga belum makan. Dan juga belum tidur. Aku sangat mengantuk.

"Zain, dari mana?" suara Abah Afnan yang menyapaku pertama.

"Aula Bah," kataku sambil undur diri ke belakang.

Abah Afnan hanya mengangguk sambil kembali masuk kamar tamu.
Aku ke ruang makan. Melihat meja makan ada pisang goreng.

Alhamdulillah. Memang kebiasaan Umiku. Selain jam makan jangan harap ada makanan berat di meja makan. Hanya ada cemilan seperti ini. Tiga pisang goreng sudah membuat perutku kenyang. Biasa anak pondok, mengganjal perut dengan apapun bisa. Nasi atau bukan penting sudah makan.

Rumah Abah terlihat sepi, aku masuk kamar. Menaruh kitab dan melihat dari kaca jendela mobil Abah pun tidak ada. Sepertinya Abah dan Umi masih ke rumah Mbah. Iya, Mbahku tinggal tidak jauh dari sini. Setiap hari Umi yang mengurus, memandikan, menyuapi makan, sampai siang baru pulang. Biasanya kalau Abah tidak sibuk undangan pengajian di luar juga menemani. Mengingat itu aku jadi berpikir. Besok ketika aku sudah menikah apakah aku masih mau membantu Abah Umi? Bahkan merawat Abah Umi selayaknya beliau merawatku di waktu aku kecil? Astaghfir, menikah? Ini kenapa pikiranku tidak jauh dari kata itu. Sudahlah kasur, aku datang.

¤¤¤
           Azan salat dzuhur membangunkanku. Alhamdulillah aku sudah lebih segar. Memang tidur jam sebelas sampai jam dua belas sangat baik. Bahkan di salah satu pondokku ada yang diwajibkan. Walaupun durasi tidur hanya sekitar sejam, namun badan terasa kembali siap beraktivitas. Jangan berfikir aku belum mandi dari tadi pagi. Suuzon aja. Aku mandi setiap waktu salat. Ini ada ilmunya? Di kitab sebenarnya aku belum pernah baca. Aku hanya meniru Abah. Hampir kebiasaan Abah aku ikuti. Abah itu sedikit bicara banyak bertindak. Mungkin, itu juga yang membuatku lebih pendiam dibanding kakak sekaligus kembaranku. Siapa lagi kalau bukan Kak Zainab.

        Jamaah di masjid kali ini di imami oleh Abah Afnan. Alhamdulillah. Sebenarnya jadi imam itu berat. Apalagi kalau harus lima waktu. Jad, aku bersyukur ada Abah Afnan yang mengimami. Ini terjadi karena Abahku dan Abah Afnan berangkat bareng , lalu sampai di masjid sempat saling menolak jadi imam. Akhirnya Abah Afnanlah imamnya. Aku, jangan ditanya, aku sembunyi di antara para santri. Baru saat salaman selesai wirid beliau berdua sadar ada aku yang hadir di masjid juga.

      "Nak, baru kelihatan, ini lho pamanmu susah di suruh jadi imam. Jangan di contoh ya," kata Abah menyindir, duh entah kenapa hatiku yang tercubit.

"Kak, ini Zain kapan di nikahkan kan sudah siap jadi imam?" kelakar Abah Afnan menepuk pundakku.

Masjid memang sepi. Mengingat ada dua Abah dan ditambah aku yang terjebak di sini. Santri langsung kembali ke asrama pondok semua. Tanpa terkecuali. Di saat seperti ini aku ingin ada yang menyelamatkanku. Misalnya, Umi tiba-tiba datang menyuruh makan siang. Eh.

"Wah iya, hampir lupa, dari tadi pagi belum sempet bahas itu ya Dek," jawab Abahku melepas pecinya. Terlihat sudah uban di rambutnya yang mulai mengelilingi rambut hitam.

"Kemarin saya sama Dek Mai sudah minta anaknya, ketemu langsung sama kedua orang tuanya, tetapi memang belum ke rumahnya." Abah Afnan serius.

Aku menerka-nerka, siapa ini? Maksudnya apa? Aku jadi bingung. Diam. Menyimak. Satu lagi tahan napas setiap mendengar beliau berdua angkat bicara.

"Iya, terus orang tuanya gimana? Setuju? Kalau iya langsung saja ini, sudah waktunya ya Nak," kata Abah mengusap tanganku. Membuatku makin merinding. Waktunya apa? Menggantikan posisi Abah? Aku belum siap jadi imam. Astaghfir.

"Alhamdulillah tanggapannya baik, kita bisa langsung berangkat dari Lampung, besok Kak Zuhdi ikut saja ke Semarang." Abah Afnan membuatku teringat tentang Mba Niya. Astaghfir. Memangnya Semarang itu pasti rumahnya Mbak Bendahara yang bercelak itu? Semarang luas. Memangnya ini ke Semarang pada mau ngapain sih?

"Iya siap, nanti aku bilang ma istri tercinta dulu kalau anaknya sudah besar." Abah tampak mencoba mencairkan suasana. Abah Afnan juga tertawa. Kemudian bermunculan candaan lain diantara beliau berdua. Sedangkan aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Selamat Zain, tetap husnudzon dengan Allah apapun rencana Abah. Niatkan Lillah, berbakti kepada Abah. Abahku yanh senyumannya sudah menjadi teladan menggerakkan hatiku untuk belajar ikhlas menjalani amanah. Entah amanah apa selanjutnya yang ada di Semarang?

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang