Zayyan Zainul Muttaqin (36)

2.7K 326 77
                                    

Assalamualaikum Wr. Wb.

Bismillah ,alhamdulillah
Semoga para pembaca istiqomah jamaah sholat 5 waktu, tilawah alquran, dan solawat nabi.

Mohon maaf saya cuti nulis mpir setahun. Sebenarnya dari bulan desember saya sudah maksa nulis tapi cuma dapet setengah, kondisi hamil tua.
Akhirnya awal tahun alhmdulillah telah lahir putra pertama saya dengan sehat selamat. Dan qodarulloh baru bisa update malam ini.

Happy Reading

¤¤¤¤

Senyuman

"Hidup bukan tentang apa yang kamu inginkan. Hidup adalah skenario Allah yang harus engkau jalankan."

Aku masih menemani istriku di kamar setelah melepas kepergian Abah, Umi, Bibi dan Pamanku tentunya. Hari masih pagi, sekitar pukul sembilan pagi tepatnya. Iya, Mbak Niya, istri cantikku ini kutemukan pingsan di ruang tamu sepulangku dari Masjid. Asalnya aku panik. Namun, Ibu menyuruhku membawanya ke kamar. Biar nanti jadi urusanku. Beliau para orang tua sudah harus meninggalkan rumah ini karena banyak tugas yang ditinggal di pondok pesantren.

Aku baru saja menyelesaikan delapan rakaat duha. Ini adalah rutinitas yang sudah seperti kewajiban. Sebenarnya dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan, ada 3 (tiga) shalat sunnah mua'akkad yaitu shalat malam, shalat dhuha dan shalat tarawih. Jadi solat duha adalah solat sunnah muakkad.Aku mulai khawatir dengan istriku yang belum siuman. Aku mendekatinya dan mengoleskan minyak kayu putih di hidung dan jempol kaki. Beberapa menit kemudian ia mulai sadar.

"Dek," panggilku sambil menyentuh pipinya.

"Mmm, Ust,"

"Iya dek, makan dulu yuk," ajakku sambil mengambil piring berisi masi sayur yang tadi ibu bawakan ke kamar kami.

"Ustad, sebenernya siapa?" katanya malah membuatku mengeryit. Sebenarnya apa yang menyebabkan istriku pingsan. Kenapa ketika terbangun menayakan hal seperti itu.

"Saya suami kamu, dek, masak lupa," jawabku sambil menyuapkan sendok ke mulutnya. Ia tidak menolak.

"Saya pusing, Ust," katanya lagi sambil mencoba duduk. Aku tentu membantunya meletakkan bantal sebagai penyangga di pinggir cover bed kecilnya.

"Makan lagi ya, mungkin kamu kelelahan soal semalam," kataku sambil memotong kecil telur di piring dengan wajah terasa panas. Duh keceplosan. Aku melirik wajah istriku yang juga ikut salah tingkah.

"Iya Ust, saya makan sendiri saja, Ustad boleh beraktivitas di luar kamar dulu," katanya cepat sambil merebut piring dari tanganku dan langsung duduk tegak. Rasa malunya membuat ia langsung bertenaga seperti bukan orang yang baru saja pingsan. Apa katanya aku boleh keluar? Apa dia mengusirku. Astaghfirulloh agaknya aku memang salah bicara kali ini.

"Saya akan menemani kamu sampai sehat," tegasku, masak baru semalam disayang paginya aku diusir dari kamar ini. Tidak. Aku suamimu dek, jangan menyuruhku untuk menjaga jarak denganmu. Ini kenapa aku jadi suami posesif sih.

"Saya sehat, Ust," jawabnya menunduk sambil meletakkan piring yang makanannya sudah habis ia lahap. Mungkin dia kelaparan.

"Lalu, kenapa bisa pingsan?" tanyaku heran, mau membahas soal semalam tetapi akunya juga kikuk sendiri.

"Ustad, sebenernya siapa?" istriku mengulang pertanyaan yang tadi. Aku harus jawab apa?

"Sampean ingin jawaban yang seperti apa?" tanyaku linglung, "Kita belum pernah berkenalan sebelumnya, mungkin kita harus saling mengenal mulai hari ini. Perkenalkan namaku Zayyan Zainul Muttaqin, saya suamimu mulai kemarin sore." kataku sambil mengulurkan tangan dan mau tak mau walaupun ia masih tetap bingung, ia tetap mencium tanganku. Reflek aku mencium keningnya. Ia berjengit dan mundur perlahan.

"Maaf Ustad, kalau sekadar nama Ustad saya sudah tahu, semua orang di pondok putri mengidolakan ustad, jadi saya juga tahu nama ustad. Maaf saya ingin tahu bagaimana bisa ustad menikah dengan saya?" tanyanya yang membuatku tersenyum. Oh, berarti aku seterkenal itu ya?  Aku jadi idola? Apa istriku ini juga mengidolakan aku? Asraghfirulloh ini kenapa aku jadi labil seperti remaja kasmaran. Tidak . Jangan senyum-senyum sendiri. Aku berusaha menahan rasa aneh ini.

"Ehem, iya..iya karena adek itu adalah jodoh saya yang tertulis di lauhul mahfudz." jawabku jadi tergugu.

"Ya Allah, kenapa jawaban ustad tidak memuaskan." erang istriku sambil menutup muka dengan bantal. Aku tercengang tambah bingung iya. Oke, jadi ini yang dimaksud sulit mengerti perempuan. Padahal Kak Zainab orangnya ceplas-ceplos dan aku selalu paham. Namun, istriku memang beda dan aku harus apa ya?

"Dek, maksud sampean apa? Coba bilang yang jelas." tanyaku sambil membuka jilbab instannya dan mengelus rambutnya yang panjang. Aku suka.

"Ustad," panggilnya pelan sambil membuka bantal yang menutupi wajah cantiknya.

"Dalem, Dek," jawabku tidak sabar.

"Sampean Gus?" tanyanya sambil mata kami saling beradu.

"Kenapa tanya hal itu?" aku mengalihkan pandangan terlebih dahulu. Aku pun duduk tegak melepaskan kaitan tanganku di rambutnya yang halus.

"Gus Zain," panggilnya pelan dengan tatapan menuntut jawaban. Kenapa aku seperti terhakimi.

"Darimana sampean tahu?" tanyaku dengan mata membola.

"Ya Allah, pangapunten Gus, kulo boten ngertos sampean Gus," istriku memakai jilbab dan berdiri menunduk  tidak berani lagi menatapku. Lah, kenapa ia jadi begini sih.

"Dek, kenapa jilbabnya dipakai lagi?" tanyaku gemas dan menariknya duduk di pinggir kasur menempel denganku.

"Saestu  gus, pangapunten, niki pripun," katanya masih menunduk. Aku malah jadi bingung.

"Dek, saya ini suamimu, jadi bersikaplah seperti tadi malam," kataku dengan ah, setiap mengulang kata malam rasanya wajahku selalu memanas.

"Enggih, eh, boten saget , pripun geh, duh, sampean niku gus," jawabnya dengan tangan yang lagi-lagi berkeringat. Aku tersenyum.

"Memangnya kenapa kalau saya ini gus?" tanyaku sambil menggenggam erat tangannya. Ia tidak menolak.

"Ngapunten gus, sampean ngersaake nopo? kulo pendetke ngeh," tanyanya masih dengan menunduk. Ia ingin melarikan diri tapi  rasanya aku ingin menggodanya terlebih dulu.

"Saya ingin sampean duduk disini menemani saya mutolaah," kataku dengan senyum penuh arti.

"Oh geh, kitab nopo kulo pendetke,"katannya sudah reflek ingin berdiri. Namun, tangan basahnya masih kugenggam erat.

"Kitab...adek pingin ngaji kitab apa?" tanyaku bingung, tadi aku asal bicara tapi malah ia menanggapi serius. Maksudku sebenarnya ingin berlama-lama berduaan dengan istriku yang lagi aneh ini.

"Kitab jurumiyah mawon Gus," jawabnya. Aku mengangguk pelan. Ia berjalan ke rak buku khusus kitab dan mengambil kitab, kemudian tak lupa mengambil buku catatan dan pulpen.

"Dek, kunci kamarnya dulu, saya kalau mutolaah harus serius tidak bisa diganggu." kataku sambil menahan tawa.

"Enggih, Gus," dengan lugunya istriku mengunci kamar ini. Alhamdulillah.

Ceklek

Lah mau ngaji atau apasih ndadak dikunci kamare?hehehe

Monggo komen alasan pembaca kenapa masih mau nunggu cerita yg udh lumutan ni, jujurly ya, siapa tahu saya bisa update cepet,

Sampean Gus?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang