Baikan

205 69 14
                                    

"Lia mau baikan sama Kang Lino," kata Ryani. Gadis tomboy ini kemudian ikut duduk di serambi masjid, sementara para sahabatnya masih berdiri. Lia terlihat berdiri cukup jauh dari serambi. Masih belum bisa dengan lapang dada terlihat dengan Lino, mengingat kebiasaannya adalah bermusuhan dengan cowok itu.

"Kirain mau bantu bersih-bersih kaya doa lo, Min," bisik Handi ke Umin.

"Kan terkabulnya pas udah kelar bersih-bersihnya," jawab Umin.

Lino kemudian bangkit dari duduknya. Ia menghela napas, memberanikan diri untuk menghadapi Lia. Cowok berhidung mancung itu memakai sepatunya yang ia taruh di pinggir masjid, kemudian menghampiri Lia.

"Gue beneran mau minta maaf," kata Lino kemudian mengulurkan tangannya, berharap dijabat oleh gadis berambut panjang di hadapannya.

"Ada syaratnya."

"Apa?" Cowok berhidung mancung itu menarik uluran tangannya.

"Jangan ngelakuin hal aneh-aneh lagi di sekolah!"

Lino terdiam. Bukan dia tak setuju dengan permintaan Lia. Pasalnya, selama ini—bahkan sebelum Lia bersekolah di SMA Nusabangsa ini—Lino sudah terbiasa melakukan hal-hal absurd. Termasuk hal-hal yang ia lakukan untuk para kucing. Apa Lia betul-betul tak dapat menerima keabsurdan Lino?

Haruskah Lino melepas Lia?

"Nggak bisa!" Handi mendekati Lino dan Lia. Cowok berpipi berisi ini merangkul bahu Lino. "Dia sohib gue yang kelakuannya random. Ya... sebenernya emang sohib gue pada random, sih. Tapi Mas Lino ini yang ajaib banget."

Lino melirik Handi sinis. Dia ini mau ngebelain gue atau ngejelek-jelekin gue, sih?

"Tapi perlu kalian semua tau." Handi menunjuk seluruh insan yang ada di sekitarnya. "Mas Lino ini, sahabat gue yang kuat, kece, karena dia bisa nerima kita semua. Lo nggak nyadar, Li? Nggak inget? Dulu waktu SD, lo galak ke Mas Lino, Mas Lino tetep nerima kegalakan lo. Masa lo nggak bisa nerima kerandoman Mas Lino? Padahal dia setiap hari emang begitu kelakuannya sama kucing-kucing. Dia kan pawang kucing. Iya nggak?"

"Betul!" jawab Abin dan Umin. Cherry pun mengangguk setuju.

"Heh! Siapa bilang gue nggak nerima kerandoman yang itu?" tanya Lia.

"Terus?" tanya Lino, Handi, Abin, Ryani, dan Yezzy bersamaan.

Lia memutar bola mata seraya mendengkus kesal. "Maksud gue kerandoman yang sering mengakibatkan warga sekolah salah paham."

"Yang mana tuh?" tanya Abin memancing.

"Hih, ya setiap warga sekolah ngira kalau kita ada apa-apa!"

"Ada apa-apa apa hayo...?" ledek Abin. Yang lain ikut bersorak meledek.

Wajah Lia memanas. Mati-matian ia menahan senyum, namun gagal. Lia benar-benar tersenyum sipu. Buru-buru ia memalingkan wajah beserta tubuhnya. Ia membelakangi teman-temannya. Malu. Takut ketahuan kalau dirinya sekarang tengah tersenyum sipu.

"Maksud lo ada hubungan spesial?" tebak Lino yang kini mendekatkan mulutnya ke kepala Lia.

Lia mendelik. Jantungnya bertalu. Suara lembut Lino dengan kurang ajar menyelinap ke telinganya. Lia tak berani menoleh.

"Waduuhh..."

"Ihirrr..."

"Wah wahhh...."

Sorakan-sorakan itu semakin membuat wajah Lia memanas. Lia ingin kabur. Namun, ia harus menuntaskan masalahnya dengan Lino. Ia tak boleh lari dari masalah lagi.

Lia menghela napas. "Iya!"

"Kenapa? Malu ya? Atau... gue bikin lo deg-degan?"

Keringat Lia betul menetes. Salivanya ia telan kasar. Tebakan Lino barusan memang benar. Selama ini Lino membuat dadanya tak tenang akibat kerap berdegup kencang.

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang