Kala Itu

427 99 20
                                    

Part ini isinya flashback.
Selamat membaca!

••

"Hai, Lia!"

Gadis kecil itu hanya melirik sinis anak laki-laki yang tiba-tiba muncul dari jendela kelas di sampingnya. Ia tak tertarik sama sekali dengan kehadiran kakak kelasnya itu. Baginya, sekolah hanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Tak ada yang namanya rasa suka pada lawan jenis atau sebagainya di sekolah. Lia masih terlalu muda untuk itu.

"Lagi baca apa?"

"Buku," jawab Lia ketus.

"Buku apa?"

"IPA."

"Mau tak ajarin IPA nggak? Aku kemarin ranking dua loh, di kelas. Aku masih inget pelajaran kelas dua, kok."

Lia tak menjawab. Tetap berpura-pura fokus pada buku adalah salah satu cara menghindari percakapan dengan Lino. Meski Lia tak benar-benar menghindar.

"Mau ya? Kata orang-orang, kalo diem berarti mau." Lino tersenyum manis sambil bertopang dagu di ambang jendela. Ia pandang gadis pujaan hatinya cukup lama. "Lia, kok kamu nggak jawab? Lagi sariawan ya?"

Lia mendengus kesal. Akhirnya, gadis itu menatap Lino. Walau dengan tatapan jengkel, Lino tetap senang karena mata mereka baru saja bertemu. Lino masih tersenyum.

"Pergi, deh! Jangan ganggu!" Lia beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan cepat ke luar kelas.

Tapi Lino menghadangnya.

"Mau ke mana?" tanya Lino.

"Kantin. Minggir!"

Lino menyingkir dari hadapan Lia. Lantas, gadis kecil itu berjalan sangat tergesa melewati Lino. Tapi nasib malang menghampirinya. Kakinya terantuk batu. Lia terjatuh.

"Ahahaha! Jatuh!" sorak anak-anak di sekitarnya.

Lia tak menangis. Ia bangkit, lalu membersihkan rok merahnya. Lia harus kuat. Demi apapun.

Orang tuanya sibuk bekerja di luar kota, kakaknya sibuk bermain dengan teman-teman sebayanya hingga lupa waktu dan kerap membiarkan Lia sendirian di rumah. Itu sebabnya dia selalu terlihat ketus, demi melindungi dirinya dari kejahatan para manusia lain. Lagi pula, tak ada gunanya menangis. Tak ada bahu untuk ia sandari. Tak ada yang mempedulikannya.

Kecuali Lino.

Tapi Lia tak butuh itu.

"Lia, kamu nggak pa-pa?" tanya Lino yang tiba-tiba sudah menyejajarkan langkah dengannya.

"Nggak pa-pa, aku tuh kuat," jawabnya masih ketus.

"Aku mau nemenin kamu ke kantin. Aku mau jaga kamu, biar kamu nggak jatuh lagi."

Lia tak menjawab. Bahkan menatap wajah Lino pun tidak. Entah hafal wajah Lino atau tidak, Lino tetap akan berusaha mengambil atensi Lia. Walau sebenarnya Lia pun hanya hafal dengan suara Lino saat itu.

Lia bukan tak hafal wajah Lino. Lia hanya malas mengingat dan menatapnya. Ia benci Lino, pikirnya. Ia tak percaya ada siswa sekolah dasar yang pikirannya dirasuki oleh rasa suka terhadap lawan jenis tapi peringkatnya di kelas selalu bagus. Lino tak pernah keluar dari peringkat tiga besar.

Lia tahu itu. Lino sendiri yang menceritakan.

Sampai di kantin, Lino benar-benar bertindak seperti pengawal. Lino benar-benar membuat murid-murid di sekitar menggoda mereka berdua.

"Ciiee ... pacaran ya?"

"Enggak!" bantah Lia.

"Ciiee, Lia sama Lino pacaran, ciiee ...."

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang