Hukuman (2)

475 133 3
                                    

Sembilan orang turun dari mobil hitam yang telah terparkir di halaman panti asuhan. Satu orang pengendara motor menyusul memarkirkan kendaraan roda duanya, kemudian melepas helm dan jaketnya dengan elegan. Ia kemudian mendekati sembilan orang lain yang mulai melangkah masuk ke dalam panti.

"Gimana, Bang? Panas nggak, naik motor?" tanya Jojo sambil nyengir, menampakkan behelnya.

Chandra mendengus. "Enak ya, kalian naik mobil, adem."

Jojo menggeleng polos. "Enggak kok, Bang. Orang sempit."

"Lo, sih, Bin. Bisep lo makan tempat," ledek Lino. Beruntung, Abin hanya meluapkan kekesalannya dengan mengusap wajah Lino kasar.

Darman menemui salah seorang pengurus panti. Sementara cucunya bersama delapan pemuda yang menemaninya sudah mulai bermain dengan anak-anak panti asuhan yang mereka datangi.

"Eh, nama kamu siapa?" tanya Lino pada salah seorang anak yang tengah memberi makan kucing di halaman panti. "Kamu suka kucing, ya?"

"Aku Lina, Kak. Iya, aku suka kucing, tapi nggak boleh bawa kucing masuk ke kamar. Nanti dimarahin sama temen-temen yang takut kucing."

"Ih, aku juga suka kucing. Namaku Lino, loh. Nama kita juga mirip ya?"

"Wah, iya." Lina mengelus kucing di hadapannya. "Andai aku punya kakak."

Lino menatap Lina cukup lama. Dalam sekejap, ia turut merasakan sebuah duka. Banyak yang tak seberuntung dirinya. Hidup tanpa kasih sayang dari keluarga kandung, bahkan tak bisa dengan bebas menyalurkan kecintaannya terhadap kucing. Lino sadar, ia semestinya banyak bersyukur. Lino kemudian tersenyum pilu. "Mau jadi adikku nggak? Aku punya kucing banyak. Nanti kamu boleh main sama kucing-kucingku."

"Mau, Kak!" Anak perempuan berusia delapan tahun itu mengangguk antusias seraya tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

"No!" Suara baritone milik Chandra mengalihkan atensi Lino. Chandra melambaikan tangan—meminta Lino untuk mendekat.

Lino bangkit, cepat-cepat ia menghampiri Chandra. "Kenapa, Bang?"

"Intro dulu sama yang ngurus panti."

Selepas Darman memperkenalkan cucu dan teman-teman cucunya pada pengurus panti, ia meminta agar mereka diberi pengertian dan wejangan-wejangan hidup. Dan yang terpenting adalah mereka harus dituntut untuk membantu para pengurus panti asuhan dalam mengurus panti dan menjaga anak-anak di dalamnya. Lino dan yang lain menyetujuinya.

"Panti ini bukan punya kakek. Tapi anak-anak di sini sudah kakek anggap seperti cucu-cucu kakek sendiri," ucap Darman saat berjalan ke luar panti, mulai berbaur dengan anak-anak di halaman. "Delapan tahun ditinggal Lia dan cucu-cucu kakek, rasanya sepi. Jadi mendingan kakek sering mampir ke sini."

Lino yang semula berjalan bersama yang lain tiba-tiba berhenti.

Delapan tahun ditinggal Lia.

Mata Lino mulai melebar. Dadanya terasa terhantam dari dalam. Ia telan salivanya kasar. Kini, sepasang matanya mulai menatap gadis yang tengah berjalan membelakanginya bersama Darman.

"Kenapa, No?" Chandra bertanya setelah sempat menepuk bahu Lino.

Lino yang sedang dalam keadaan tegang sontak melonjak kaget ketika bahunya dipukul tiba-tiba. Ia mendengus selepas menoleh pada Chandra. "Nggak. Gue main sama Lina dulu ya?"

"Lina?"

"Iya, yang tadi main kucing sama gue. Dia suka kucing, tapi nggak boleh pelihara kucing. Terus, gue nawarin diri buat jadi kakaknya, tau." Salah satu ibu jari Lino menyenggol hidung mancungnya, sementara sebelah tangannya berkacak pinggang—berlagak sok jagoan.

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang