Kesepakatan

461 128 8
                                    

Malam ini, Lino mengunjungi mini market untuk membeli camilan. Daripada suntuk di rumah, lebih baik ia pergi mencari harta karun untuk lidah dan perutnya. Sesekali meninggalkan kucing-kucingnya sesaat demi melepas beban pikirannya tentang kucing bungsunya yang hingga saat ini Lino tak tahu di mana keberadaannya.

Selepas membayar di kasir, Lino membawa camilannya ke teras mini market. Duduk sambil menikmati angin malam ditemani camilan favoritnya.

Lino membuka aplikasi instagram di ponsel.

Kayanya lucu nih, filter kucing. Gue imut nggak ya, kalo pake filter ini? Coba ah

Lino bergaya sok imut di depan kamera ponselnya. Bibirnya ia manyunkan dengan antusias. Tuh, kan. Gue emang imut dari sisi manapun.

Sialnya, tiba-tiba terdengar suara kekehan dari belakang Lino. Lino spontan memasukkan ponselnya ke saku. Ia menoleh.

Lia sedang terkekeh.

Sial.

"Ngapain, lo, Kak, monyong-monyong gitu?"

Anjir! Kenapa tiba-tiba ada dia, sih? Ngikutin gue? Lino kembali menghadap ke depan. Ia tak menjawab.

"Hadeh, ada-ada aja bapaknya Dori." Lebih mementingkan milktea, Lia akhirnya masuk ke minimarket.

Ini kesempatan gue buat nagih Dori.

Lino menunggu hingga Lia keluar di pintu minimarket. Tapi nyatanya sudah hampir 15 menit Lia tak kunjung keluar. Ia akhirnya duduk kembali di bangku teras minimarket.

Bermenit-menit berlalu, tetap saja yang ditunggu belum keluar.

Lia di dalem beli barang apa nimbang dosa, sih? Lama amat.

Lama menunggu, Lino akhirnya beringsut tidur. Wajahnya ia benamkan di antara tangannya di meja.

Eh, kok gue molor?

Lino akhirnya membuka mata dan mendongak setelah beberapa saat sempat terlelap. Begitu ia menyadari Lia duduk di hadapannya, ia mendelik kaget. Sontak ia menegakkan posisi duduknya.

"Mau nanyain Dori?"

"Kok tau?"

"Cuma sok tau, sih." Lia meneguk milktea yang baru saja ia beli. Hampir setengah jam di minimarket, ternyata Lia hanya membeli sebotol milktea.

"Dori mana? Balikin ke gue!"

"Nggak mau."

"Kok nggak mau?"

"Selama anak-anak di sekolah masih ngira kita pacaran, gue nggak mau balikin Dori."

Lino terdiam, mencari akal agar Lia mau merubah pikirannya. Ia garuk hidung mancungnya.

Lagipula, sebenarnya ia bersyukur sudah dianggap memiliki pacar tanpa harus repot-repot melakukan hal yang biasa disebut 'nembak'.

"Emang lo nggak dimarahin sama kakek lo?"

Giliran Lia yang terdiam. Pasalnya, kemarin sepulang dari panti, Darman mengomeli Lia habis-habisan, bahkan meminta Lia untuk mengembalikan Dori pada Lino. Lia sudah menceritakan hingga mendramatisir alasan dia menyita Dori, tapi kakeknya tetap saja memarahinya.

Lino menyeringai. "Pasti dimarahin, kan?"

Lia hanya melirik sinis. "Udah ah, gue mau balik."

••

"Ututututu ...." Lagi-lagi Lino memanyunkan bibir. Tapi kali ini karena sedang bermain dengan kucing-kucingnya. "Gemes banget, sih."

"Mas, lo nggak takut kucing lo jijik sama lo?" Handi dengan mulut dipenuhi nasi goreng buatan Lino mencela.

Memang tidak tahu diri!

Sudah diberi nasi goreng, diizinkan main playstation di rumah Lino, bukannya berterima kasih malah mencela.

"Mulut lo tuh, bikin kuping orang jijik!" Abin menyahut.

Yosi hanya terkekeh geli.

Malam ini, Abin, Yosi, dan Handi mengunjungi rumah Lino. Handi dan Yosi bermain PS, sementara Abin hanya karena tidak ada kerjaan.

"Lo nggak ada PR, Bang?" tanya Handi pada Abin.

"Nggak."

"Sip, tolong kerjain PR ekonomi gue, dong."

Dengan sekuat tenaga, Abin melempar Handi dengan bantal Lino yang baru saja dikencingi salah seekor kucing Lino. "Mulut lo sepuluh kilo!"

"Ih, bau!" Handi mengendus bantal yang baru saja mendarat di wajahnya. Lagi-lagi, Yosi hanya terkekeh geli.

Lino, Abin, dan Yosi berlari menjauh dari Handi.

"Hi, bau!"

"Mas Lino, kok lo ikut-ikutan ngebully gue? Nggak gue restuin lo sama Lia!"

Dengan cekatan, Lino membalas, "Nggak gue masakin nasi goreng selama setahun!"

"Gue aduin lo ke nyokap gue!"

Lino berkacak pinggang. "Gue juga bisa ngaduin lo ke orang tua lo kalo lo selama ini jadi biang gosip di sekolah, jarang belajar, main PS terus, suka minta dimasakin nasi goreng tapi malah ngatain gue. Gue bilangin ke orang tua lo kalo lo bau!"

Handi mengembungkan pipi. "Nggak gue bantuin lo buat dapetin Dori. Nggak gue kasih tau di mana Dori."

Lino terdiam.

Kalau sudah menyangkut kucingnya, Lino bisa apa? "Curang lo!"

"Biar!" Handi menjulurkan lidah. Ia kemudian berlari menuju toilet untuk membasuh wajahnya yang bau pesing.

Keluar dari toilet, Handi disambut Lino. "Ya udah, maafin gue."

"Oke. Tapi bantuin gue ngerjain PR. Cuma bantu ngasih tau caranya, ngajarin gue, bukan ngerjain full."

"Ekonomi?"

"Bang Abin bantu yang ekonomi, lo bantuin yang fisika. Gimana?"

"Dih!"

"Nanti gue bantu nyari info tentang Lia. Lo pasti penasaran, kan, sama Lia? Nggak mungkin dong, seorang Mas Lino nyuekin Lia gitu aja."

Lino terdiam, teringat perkataan Darman kemarin di panti bahwa Lia telah meninggalkannya delapan tahun. Ia semakin menduga bahwa Lia itu adalah Lia yang sama dengan yang pernah membuatnya jatuh hati sekaligus jatuh dari pohon di masa lalu.

"Jangan kelamaan mikir. Gue hitung dari satu sampe tiga, kalo lo belum jawab juga, gue hitung lagi."

"Njir!"

"Satu ... dua ... tiga!"

"Oke."

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang