Kenapa?

356 103 31
                                    

Lino benar-benar mangayunkan kakinya seolah sedang berlari. Di belakangnya, Lia terus-terusan menahan tawa sekaligus malu dengan pengguna jalan yang lain.

Bayangkan saja, badan Lino condong ke depan, seolah sedang melangsungkan balap motor. Tapi kakinya seperti sedang lari maraton. Lia sesekali menutup wajahnya lantaran malu sekaligus mati-matian menahan tawanya.

"Ayo! Katanya lo mau lari. Mana? Kok diem aja kaki lo? Gue udah lari-lari, nih. Lari tapi kaki gue melayang kaya sinetron indosiar," kata Lino seraya tetap mengayunkan kakinya.

"Nggak mau," jawab Lia masih dengan wajah tertutup.

Lino berdecak. "Ya udah, gue aja yang lari bawa lo sampe ke rumah. Hebat, kan, gue?"

Lia sedikit melepas tawanya, tapi wajahnya masih ia tutup dengan dua tangannya. "Kenapa lo random banget, sih?"

"Kenapa ya?" Lino mengurangi laju motornya. Ia menatap ke manapun, berpikir untuk menjawab pertanyaan Lia. Terdiam beberapa detik, ia akhirnya menjawab, "Biar orang lain ketawa aja. Haha. Tapi gue emang gini, sih. Jadi ... kenapa ya?"

Kemudian Lia terdiam. Ia tak lagi ingin tertawa. Lantas ia turunkan dua tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya. Ia sedikit terkejut dengan jawaban lelaki di depannya.

"Enggak seabsurd ini juga, sih. Cuma ... gue gabut aja. Selama ini sepi di rumah, cuma ada kucing. Kadang kalo anak-anak nggak main ke rumah gue, ya gue menghibur diri sendiri aja. Eh, malah kebiasaan." Lino tertawa kecil. Ia sebenarnya ingin melihat pantulan wajah Lia di kaca spion. Sayang, tiba-tiba perasaannya tidak mendukung untuk itu.

"Emang orang tua lo ke mana?"

"Kerja."

Lia terdiam, tak menjawab apapun.

"Tapi nggak pernah pulang," lanjut Lino. "Udah berapa bulan ya? Hampir setahun kayanya."

Lia cukup tertohok dengan jawaban Lino. Pasalnya, alasan ia kembali ke Jakarta adalah karena bosan orang tuanya sibuk bekerja. Ia merasa tak mendapat perhatian. Lalu ia memutuskan tinggal bersama kakek dan neneknya. "Lo nggak ada saudara?"

"Gue anak tunggal."

Lia kembali terdiam. Tak bisa membayangkan bagaimana kesepiannya Lino jika tak ada kawan-kawan dan kucingnya di rumah. Ia teringat rumahnya. Di sana masih menjadi tempat pulang orang tuanya setiap hari walau terkadang ia menunggu hingga larut malam. Ia juga masih memiliki kakak yang tiap semesternya pulang ke rumah—libur kuliah. Tapi kenapa ia dengan cepat memutuskan untuk meninggalkan mereka?

"Lia. Sssttt! Lia!" Lino menggoyangkan motornya.

"Hah?" Lia tersadar dari lamunannya.

"Udah sampe."

"Oh, iya," ucap Lia kemudian turun dari motor Lino. "Makasih udah nganterin."

"Iya. Sambil lari, loh," ucap Lino kemudian terkekeh geli. "Jangan lupa kalo lo pernah dibawa lari sampe ke rumah, 40km/jam!"

Lia menahan kekehan. Tak ingin terlihat senang. Walau sebenarnya hatinya cukup senang setelah diajak melakukan hal absurd bersama Lino. Lino memang punya cara tersendiri untuk membuat Lia tertawa.

"Gue balik. Salam buat kakek nenek lo." Lino memutar balik motornya. Ia menyalakan mesin motornya.

"Mau lari lagi?" tanya Lia.

"Enggak. Capek." Lino menggaruk hidung mancungnya. "Yang penting gue udah bawa lo lari sampe rumah."

Lia akhirnya tertawa. Cepat-cepat ia berbalik badan, lantas kembali menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang