Maaf

376 105 45
                                    

"Lia maafin gue!"

Handi yang ditemani Cherry mengetuk-ngetuk jendela kamar Lia dari samping rumah. Seketika, gorden terbuka, membuat Handi dan Cherry terperanjat.

Bukan Lia yang berdiri di sana, tapi kakeknya.

"Maaf, Kek, maaf," ucap Handi dan Cherry seraya membungkukkan badan bersama.

"Heh, kalian ngapain?" Lia tiba-tiba muncul dari depan teras. "Sini, oy! Di situ banyak ulet."

"Hiii!" Handi melompat ketakutan. Ia berlari sambil spontan menggandeng tangan Cherry.

Sampai di teras, Lia dengan wajah judesnya memisah dua tangan yang tengah bergandengan itu. "Seneng lo, Han? Cari-cari kesempatan dalam kesempitan."

Handi nyengir. "Nggak sengaja."

Lia memutar bola matanya malas. Sementara Cherry? Gugup setengah mati. Pertama karena diberitai oleh Lia bahwa di tempat yang ia pijak tadi tersapat banyak ulat bulu. Kedua karena tangannya tiba-tiba digandeng Handi.

"Li, gue mau minta maaf," kata Handi.

"Buat?"

"Buat kemarin. Masalah Dori. Maaf gue malah jujur."

Lia mendengus. "Yaelah, udah gue maafin. Lagian lo jujur nggak jujur tetep aja nggak mujur."

Sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Handi nyengir. "Iya, sih. Tapi ... kalo gue nggak ngomong jujur cepet-cepet waktu itu, kan ... kali aja lo mau ngarang jawaban gitu."

"Yeee ... malah gue yang disuruh mikir," ucap Lia kemudian melipat dua tangannya di dada. Lia kemudian mempersilakan dua temannya duduk di bangku teras.

"Li, kayanya Kak Lino marah ke kita semua," tukas Cherry. Ia memeluk tas kecilnya.

"Dia nggak bales chat gue seharian kemarin. Gue telpon nggak diangkat. Gue ke rumahnya, gerbangnya digembok. Gue panjat aja tuh. Eh, sampe pintu malah dikunci juga. Mau lewat pintu belakang tapi serem."

"Apa mungkin dia nggak di rumah?" tukas Lia.

"Di rumah, kok," Handi mengangguk yakin. "Ada suara-suara kehidupan pas gue sampe depan pintu rumahnya. Ya, seenggaknya gue mastiin aja kalo di rumah."

"Han, lo nggak jatuh dari pager lagi?" Cherry bertanya.

"Enggak. Gue udah ahli. Walaupun kaki masih sakit, sih." Handi nyengir canggung. "Tapi bodo amat lah, demi Mas Lino, gunung pun kudaki."

"Kalo demi Cherry ... gitu juga nggak?" goda Lia, membuat Cherry menutup wajahnya dengan tas kecilnya.

Handi menggaruk tengkuknya. Ia nyengir. "Kalo demi Cherry ... ngapain jauh-jauh sampe gunung? Kan, Cherry udah ada di sini," ucapnya sambil menunjuk jantungnya.

"Eeaa," ucap Lia.

Handi menenggelamkan wajahnya di dalam kaos. "Aaa ... mau modar aja gue."

Lia terkekeh geli. "Gombal mulu lo, Han. Entar sampe rumah galau ... dicuekin Mas Lino."

Handi terkekeh. "Tau aja. Nggak ada yang masakin gue, nih. Eh, Li. Lo mau memenin gue minta maaf ke Mas Lino nggak?"

"Dih, ngapain? Minta maaf sendiri lah."

"Tapi kayanya Mas Lino bakal mau bukain pintu kalo ada lo."

"Kok gitu?"

"Soalnya dia mau bunuh lo."

"Sialan." Lia melempar sandal ke kaki Handi, membuat Handi mengaduh lantas mengusap kakinya.

"Ayo, Li, temenin gue. Gue sedih, tau, Mas Lino marah-marah."

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang