Harap

339 99 20
                                    

Lino membuka matanya. Sudah beberapa menit ia menunggu di luar ruang ICU. Bau obat-obatan menyeruak ke indra penciumannya, membuatnya merasa tidak begitu nyaman. Ia terus berdoa agar tak terjadi hal yang buruk pada Lia. Ia belum masuk atau sekedar mengintip Lia yang terbaring di ICU sebab dirinya benar-benar merasa bersalah dan terlalu bodoh.

Kawan-kawannya tak berada di dekatnya. Mereka duduk dan berdiri cukup jauh dari titik Lino berada. Saling diam dan mendiamkan. Beberapa dari mereka menyalahkan diri sendiri. Sumpah serapah juga terlontar walau di dalam batin masing-masing insan yang tengah menunggu.

Lino bahkan membenci dirinya sendiri saat ini.

Memori-memori masa kecilnya terus berputar. Ia ingat betapa ia sangat menyukai dan ingin menjaga Lia ketika duduk di bangku sekolah dasar.

"No, gue mau ngomong," ucap Chandra tiba-tiba seraya menarik lengan Lino keluar rumah sakit.

Sampai di luar, mereka berdiri saling berhadapan. Lino tahu Chandra akan memberi kalimat yang mungkin akan mengubah pikiran maupun perasaannya. Itu yang biasa Chandra lakukan. Lino sudah siap. Ia menghela napas. "Apa?"

Chandra mendengus. "Gue rasa ada kemungkinan tulang Lia kenapa-napa, tapi semoga enggak. Untungnya nggak ada benturan di kepala. Dia masih sadar tadi habis jatuh. Dia cuma bilang tangannya sakit banget, sampe akhirnya dia sekarang pingsan."

Lino terdiam. Semakin dirundung rasa bersalah.

"Gue tau lo masih marah. Tapi ... gue nggak yakin juga." Chandra menggaruk tengkuknya. Ia menepuk bahu Lino. "No, lo harus tau kalo Lia jatuh demi lo."

Lino menghela napas berat. Ia palingkan wajahnya dari Chandra, berusaha agar tidak terlihat payah.

"Kita semua datang buat lo."

Sekejap, mata Lino kembali menyorot pria berkulit putih itu. Nanar. Walau pria dihadapannya tengah tersenyum menenangkannya, namun yang Lino rasakan hanya kepedihan.

Chandra menepuk bahu Lino. "Sorry, gue sempet emosi tadi. Pintu lo bakal gue benerin." Pria itu tersenyum lagi, kemudian enyah dari hadapan Lino.

Setelah itu, Lino baru ingat kalau pintunya rusak dan rumahnya sekarang dalam keadaan terbuka.

Sial.

Bagaimana nasib kucing-kucingnya?

"Argh!" Merasa jengkel pada keadaan, Lino menendang batu hingga mengenai salah satu jendela kamar rumah sakit.

Kepala penghuninya nongol. Pria paruh baya berjenggot itu menatap Lino dengan sengit. Ia melepas pecinya.

"Heh! Mau bikin masalah? Orang lagi sakit kok jendela kamarnya dilempar batu. Kalo mau lempar batu di Mekkah sana! Lempar jumroh! Dapet pahala. Anak jaman sekarang kok nggak ada sopan santunnya."

Lalu pria itu kembali memasukkan kepala dan menutup jendela dengan kasar.

Lino mengelus dada.

Setelah sempat menggerutu, Lino memutuskan untuk kembali ke ruang ICU. Ia dapati teman-temannya sudah tidak berada di sana. Buru-buru Lino mengintip ruang ICU, tak ada Lia. Merasa panik, Lino menghampiri salah seorang perawat.

"Mbak, maaf, pasien yang tadi di sini mana ya?" tanya Lino seraya menunjuk brankar bekas Lia berbaring tadi.

"Maaf, pasien yang mana ya, Mas? Soalnya yang di sini banyak."

"Yang cewek, Mbak. Rambutnya panjang."

"Maaf, Mas. Saya nggak tau. Soalnya saya baru datang."

"Yee ... ngomong, dong, dari tadi," ucap Lino kesal.

Remaja berhidung mancung itu cepat-cepat keluar dari ruang ICU. Ponselnya ia raih dari kantong, lantas ia cari grupnya bersama kawan-kawannya. Tapi sesaat setelah menemukan grup tersebut, Lino terdiam. Matanya menatap room chat grupnya nanar. Ia menghela napas. Mendongak, ia pejamkan dua matanya. Gue kan, lagi marah sama mereka.

Lino menyandarkan kepalanya di dinding. Masih dengan mata terpejam, ia menggerutu. Mengutuk dirinya sendiri.

Bego, bego bego! Ngapain gue pake ngambek segala, sih? Lino bego! Gara-gara lo, Lia jadi celaka, Lino! Argh! Kenapa gue bego?

Berkali Lino menghela napas, ia lantas menelan saliva sebelum akhirnya membuka mata. Ia tatap langit-langit bangunan rumah sakit. Ia bandingkan dirinya dengan bangunan yang sudah cukup lama berdiri kokoh itu.

Rumah sakit ini sudah ada sejak Lino kecil. Hingga sekarang, keberadaannya masih dibutuhkan oleh banyak orang. Bangunan ini menjadi tempat tinggal sementara bagi orang-orang sakit sehingga mereka terlindungi. Baik oleh bangunan ini, maupun orang-orang yang bekerja di dalamnya.

Lino tersenyum miring. "Gue kalah sama rumah sakit, kayanya. Lia pasti udah ditanganin. Rumah sakit bisa nyembuhin Lia. Gue enggak. Bahkan gue nggak bisa nepatin janji gue. Gue nggak bisa jagain Lia biar nggak jatuh lagi."

"Heh, Mas Lino jelek!" Suara itu membuat Lino terkesiap. Ia toleh, Handi tengah berdiri di sisinya. Handi sedikit mendengus menahan tawa. "Ngomong sendiri? Gila lo?"

"Heh, ngapain lo di sini?"

Handi mendengus lemas. Punggungnya ia sandarkan di dinding. "Maafin gue. Ini semua berawal dari gue yang nyebar gosip palsu. Kalo aja gue bisa jaga mulut gue, semua ini nggak bak-"

"Sssttt! Berisik! Nggak usah kaya sinetron, lo! Sekarang Lia di mana?"

"Lagi mau dirontgen. Dia udah sadar. Sempet nangis. Tangannya sakit katanya."

Mata Lino membulat. Ia tatap Handi panik.

"Maaf, gue bikin lo khawatir. Tapi semoga Lia nggak kenapa-kenapa," imbuh Handi.

"Yang bayar biaya rontgen siapa?"

Handi melotot menatap Lino. Bisa-bisanya Lino memikirkan siapa yang menanggung biaya rontgen. "Pikirin Lia! Malah mikir biaya rontgen."

Lino mendengus. Ia garuk hidung mancungnya. Sambil berpikir, ia sandarkan punggungnya ke dinding rumah sakit. Lima detik ia terdiam, dua mata itu tiba-tiba terbelalak.

Lino berlari meninggalkan Handi. Ke mana perginya? Ya pasti untuk menemui orang yang saat ini ada di benaknya. Orang yang membuat matanya terbelalak.

Akhirnya ketemu.

"Bin!"

Yang dipanggil menoleh. "Apaan?"

"Lo yang bayar biayanya? Lo kan, orang kaya."

Abin memundurkan kepalanya hingga dagunya melipat-lipat. "Apaan? Bayar apa? Jajan?"

"Bayar biaya rontgen Lia."

"Oh, bukan. Eh, ngomong-ngomong, lo udah nggak marah?" Bibirnya tersenyum miring, seolah sedang menertawakan kebodohan Lino yang tiba-tiba menghilangkan kemarahannya.

Lino tak menjawab. Hanya menghela napas. Bola matanya ia putar. Lino benar-benar tak ingin membahas hal itu lagi.

Bibir Abin kembali menyunggingkan seringaian. "Kenapa, sih, lo susah maafin kita? Harus ya, ada yang jadi korban dulu?" Pria berotot itu menaikkan sebelah alis seraya melipat dua tangannya di dada.

Lino mendelik. "Maksud lo apa?"

Ditepuk bahu Lino oleh Abin. "Gue tau lo nyesel." Abin menghilangkan seringaiannya. Wajahnya berotasi menjadi amat serius. Matanya beradu tatap dengan Lino.

Lino tak menjawab. Hanya saja dirinya sudah bersiap. Kalau setelah ini tiba-tiba Abin memukulinya, ia akan menerima dengan lapang dada. Tapi Lino juga yakin, pria di hadapannya bukanlah orang yang dengan mudah melayangkan pukulan ke tubuh orang lain, meski otot lengannya sekekar atlet angkat besi.

Abin menghela napas, sebelum akhirnya menimpali, "Tapi mungkin habis ini, ada yang bikin lo lebih nyesel."

••

Maaf lama :')
Maaf kalo ceritanya rancu atau kurang sreg dan banyak kekurangan hehe
Makasih yang udah baca sampe sini, Lino love you 💕

Mas Kucing [END] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang