Baca doa dulu, ya.
Komen yang banyak, biar sipanya rajin nulisnya. Thank you. <3^^
Titik saja lupa digunakan, semoga saja tidak lupa menggunakan perasaan. Nanti yang ada tercipta teori baru, namanya Konflik Perasaan.
IQ (F = m . a)Nawasena berdecak kesal melihat nilai ujiannya yang mendapat sembilan puluh. Salah satu. Bukan karena salah jawabannya, isinya sih benar. Hanya saja, Nawasena kurang menuliskan titik di akhir kalimat.
"Bu, gak bisa salah dong, cuma kurang titik doang, Bu!" protesnya.
Ibu Gemini selaku guru Bahasa Indonesia kelas dua belas tersebut menatap lembut Nawasena yang bersikeras agar nilainya tetap seratus. "Nawasena, titik itu penting. Kamu tahu sendiri kalau tanpa titik, tidak bisa disebut kalimat."
"Saya lupa, Bu. Sekali ini aja, Bu. Kasih keringanan. Masa nilai saya berkurang cuma karena titik, sih, Bu?"
"Yaelah, Naw. Kita semua yang dapet nol karena nggak ngasih titik di semua jawaban aja santai," celetuk Barta, ketua kelas di kelas IPS 4. "Em, bukan kita semua sih, kecuali lo sama Uktarsa," ralatnya.
Memang benar. Dari sepuluh orang yang duduk di bangku kelas IPS 4. Meski orang-orang ini masuk ke dalam 20 besar Paralel IPS, yang kebanyakan mendominasi paralel IPS selain kelas akselerasi, tetap saja, mereka pernah mengalami nilai hancur seperti ini.
Namun, tidak dengan Nawasena dan Utkarsa yang selalu menjadi siswa Rangking paralel ke 2 dan 1 sedari kelas sepuluh. Terbukti sekarang, Nawasena mendapat nilai sembilan puluh, Utkarsa seratus, sedangkan yang lain mendapat catatan telur. Alias nol. Hanya karena tidak membubuhkan tanda titik.
"Diem, lo nggak bakal paham, Bar!" gertak Nawasena. Emosinya yang mudah meluap itu sudah tak tertahan lagi.
"Bu, sekali aja, Bu, saya janji besok saya nggak bakal lupa ngasih tanda titik. Sejebug Bu kalau bisa saya tulisnya," lanjut Nawasena dengan nada yang kembali merendah seraya menatap Bu Gemini yang sepertinya sudah ... muak.
"Besok, ya, besok, Nawasena. Besok kamu bisa perbaiki nilaimu. Kelas lain juga sama kok rata-rata dapat nol. Jadi, lain kali jangan lupa bubuhi tanda titik di akhir kalimat. Saya sudahi kelas hari ini." Bu Gemini beranjak dari duduknya dan keluar kelas begitu saja.
Nawasena membalikkan badannya. Menatap tajam Utkarsa yang berjalan keluar melewatinya. Tangan Nawasena memukul papan tulis dengan keras. Lagi-lagi, dia kalah dari Utkarsa. Utkarsa selalu menjadi nomor satu.
"Seneng lo?"
Utkarsa berhenti, menatap Nawasena dengan tatapan bingung. "Saya?"
"Yaiyalah lo, siapa lagi? Puas kan, selalu jadi nomor satu?"
Utkarsa tersenyum simpul. "Saya hanya berusaha untuk memperbaiki hidup. Biarkan saya berjuang jadi kaya seperti kamu. Saya belum puas. Seharusnya, kamu yang sudah puas karena lahir sudah kaya sekujur badan."
Nawasena melangkah maju. Gurat amarah tertampang nyata di wajahnya.
"Jangan berantem. Kamu tidak ingin kena poin 'kan?"
Nawasena menutup mulutnya. Sialan. Dia baru saja kalap jika Utkarsa tidak memperingatinya.
"Saya duluan. Lain kali, harus lebih teliti."
Utkarsa pergi. Nawasena mendudukkan diri di kursi terdekat. Menarik napas dalam-dalam. Mengambil sebuah permen Hot-Hot Pop berbentuk kaki kesukannya, lantas mengemutnya dengan perlahan guna meredakan emosinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IQ (SELESAI)
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVAT. FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA YA] Untuk diakui sebagai manusia, harus menerapkan rumus Fisika, hukum Newton kedua. Terlebih, bagi ketiga keluarga dengan IQ tertinggi di Indonesia. Mereka selalu menempati posisi teratas dalam a...