"Hubungan keluarga bukan hanya hubungan antar ikatan darah, tetapi juga sebuah ikatan sosial primer yang sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan anggota keluarga di dalamnya."
IQ (F=m.a)Kishika berlari ke ruang tamu di mana Ekadanta, Manendra dan Elle berada. Dengan nafas tersegal-segal Kishika memantapkan langkahnya untuk berbicara. Ekadanta yang pertama kali melihat Kishika berlari itu kini tersenyum.
Akan tetapi senyumnya pudar kala melihat bercak darah di baju merah muda yang dikenakan Kishika. "Kishika, itu darah siapa?" tanya Ekadanta sewaktu Kishika sudah berdiri tengah-tengah mereka.
"Darah nenek," jawab Kishika dengan santai. Berbeda dengan reaksi ketiga orang dewasa di sana, ketiga nya benar-benar panik. Elee yang langsung berlari ke kamar Idaline dan langsung berteriak.
Manendra yang paling terkejut menatap Kishika tak percaya. Sebelum akhirnya memilih untuk segera menelpon ambulans. Idaline yang sudah tak sadarkan diri segera dibawa ke rumah sakit. Diikuti oleh Ekadanta dan Elee.
Sedangkan Manendra terpaku dengan pandangan yang sedari tadi tak luput dari putrinya yang menangis sesegukan. "Papi, Shika gak bisa ngendaliin perasaan untuk ngehilangin nenek dari bumi!"
Kishika berkata dengan lantang meski suaranya bergetar karena berteriak dan menangis di waktu yang bersamaan. Akan tetapi matanya sama sekali tak berani manatap Manendra.
"Papi tau, kamu marah sekali dengan nenek, tapi Papi gak nyangka sama tindakan kamu, Shika. Kenapa harus membalas begini?" tanya Manendra dengan tenang meski suaranya begitu terdengar tegas.
"Mami enggak pernah punya sifat kayak begitu, Kishika. Kamu sudah sering membaca catatan harian mami, kan?"
Kishika mendongkak, menatap mata Manendra yang terlihat jelas sangat berkaca-kaca. "Kishika gak mau punya sifat terlalu baik seperti mami. Kishika gak mau meninggal seperti mami."
Manendra menatap langit-langit. Mencoba untuk menahan air matanya kala mengingat kejadian yang merenggut nyawa istrinya. "Kishika, Papi enggak akan pernah biarin hal itu. Papi udah sering bilang ...."
"Enggak. Papi enggak pernah bisa jadi tameng waktu aku disakitin nenek," jawab Kishika terang-terangan, mengeluarkan seluruh keluh kesahnya bersamaan dengan air mata yang masih berjatuhan.
Kishika menunjuk tangan, kaki, dahi, telinga yang banyak terdapat bekas luka. "Ini. Ini. Ini dan semua luka yang ada di tubuh Kishika jadi bukti kalau enggak pernah ada yang benar-benar jadi pelindung Kishika dari nenek."
"Shika ..., kamu enggak tahu seluruh sudut pandang. Kamu cuma bisa lihat dari sudut pandang kamu sendiri," balas Manendra. Jujur, perasaannya begitu terkoyak mendengar pernyataan Kishika.
"Maaf kalau menurut kamu, Papi enggak pernah bisa jadi pelindung kamu. Papi minta maaf banget, Shika ..., Papi juga minta maaf enggak bisa jadi tameng untuk Mami kamu."
"Shika pernah nanya kan ke Papi? Kenapa Papi enggak pergi dari rumah ini dan tinggal berdua sama kamu?" tanya Manendra dengan suara bergetar meski air matanya masih tertahan. "Permintaan terakhir Mami. Mami mau kamu berhubungan baik sama nenek, Shika."
"Shika juga pernah nanya kan? Kenapa Papi enggak pernah benci sama nenek? Karena mami—"
Kishika memotong ucapan Manendra, "Meskipun Papi tau kalau yang bunuh mami itu nenek?"
Kishika mencoba menarik napasnya yang sudah tersegal-segal sebelum kembali berbicara. "Papi tau? Kishika pernah baca buku sosiologi SMA. Katanya, kualitas lingkungan keluarga dapat mencerminkan kualitas anggotanya."
Manendra terdiam. Kembali mencoba menahan kuat air matanya agar tidak jatuh di depan Kishika.
"Papi kalau mau nangis, nangis aja. Jangan ditahan, sakit Pi lihatnya," celetuk Kishika. "Kishika gagal jadi putri baik yang gak pernah ngelakuin kesalahan. Papi berhak marah."
"Kishika juga berhak dapat hukuman. Asalkan nenek juga dapat hukuman atas perbuatannya yang buat Kishika ga bisa ngerasain pelukan seorang ibu."
Runtuh semua pertahanan Manendra saat mendengar kalimat yang dilontarkan Kishika dengan jelas. Manendra lantas pergi keluar, meninggalkan Kishika seorang diri. Untuk memeluk Kishika saat ini, Manendra tidak akan sanggup. Begitupula dengan Kishika.
Memang benar, tentang teori sosiologi tentang keluarga yang Kishika pernah baca. Lingkungan keluarga yang baik akan memberi pengaruh yang baik, sebaliknya lingkungan keluarga yang buruk akan berpengaruh buruk terhadap anggotanya.
Entah, akan seperti apa nasib anggota keluarga Ranajaya ke depannya. Yang pasti, berita tentang Idaline yang dibawa ke rumah sakit akan segera menjadi buah bibir masyarakat serta akan menjadi sorotan publik yang paling utama di bulan ini nantinya.
πππ
Trayi kini sedang bersama tiga orang siswa dari sekolah lain di sebuah rumah salah satu siswa yang kebetulan pemiliknya sangat memperbolehkan dan menyediakan tempat untuk anaknya belajar bersama Utkarsa. Trayi tidak canggung, dia justru sangat betah berlama-lama belajar di sini.
Sebab, salah satu dari kedua lelaki di sini menurutnya tampan, apalagi sepantaran, namanya Jinaan. Jarang-jarang Trayi menemukan pria tampan yang sepantaran. Sepertinya, Trayi harus berterima kasih kepada Bora yang sudah mendaftarjannya untuk belajar di sini.
"Kak, Jinaan ikut lomba karya tulis. Mau review enggak? Sebelum dikoreksi guru pembimbing," celetuk Jinaan selepas Utkarsa menutup pertemuan kali ini.
Jinaan ini sibuk mengikuti lomba yang berbau bahasa Indonesia, seperti debat, puisi, bercerita, dan karya tulis ilmiah. Sebab Jinaan ingin masuk ke SMA Gatra Indonesia tanpa jalur tes, akan tetapi lewat jalur prestasi saja.
"Boleh, kok, Jinaan."
Jinaan menyerahkan laptopnya yang sudah menampakkan dokumen karya tulis ilmiahnya di layar. Mereka duduk melingkar dengan Trayi dan Jinaan mengapit Utkarsa di tengah. Sedangkan Kyla dan Syla, si kembar pemilik rumah masing masing bersebelahan di samping Trayi dan juga Jinaan.
Utkarsa membaca kalimat demi kalimat. Trayi yang duduk di samping Utkarsa semula tidak ingin penasaran, akan tetapi matanya tak sengaja membaca beberapa kalimat sekilas. Tentang keluarga.
Keluarga merupakan komunitas primer yang terpenting
dalam masyarakat. Komunitas primer artinya suatu kelompok dengan kedekatan antara anggota-anggotanya sangat erat.(Dikutip dari : M, Idrus Abustam, M. Idrus. Partisipasi Angkatan Kerja dan Pengalokasian Waktu dalam Rumah Tangga Petani Menurut Situasi Sosial Ekonomi di Daerah Pedesaan Sulawesi Selatan, Laporan Penelitian (Ujung Pandang: FPIPS-IKIP, 1992), h. 30)
"Jinaan," panggil Trayi.
"Kenapa, Tra?"
"Kalau anggota keluarganya enggak dekat, masih bisa disebut keluarga?"
Jinaan terdiam, begitu pula dengan Utkarsa yang langsung kehilangan fokus sewaktu mendengar pertanyaan Trayi yang terkesan begitu dalam.
"Kenapa bertanya hal seperti itu, Trayi?" timpal Utkarsa.
"Random aja sih, Kak."
"Ayah sama Bunda kami berdua udah cerai, tapi masih berhubungan baik. Kadang kalau ada hari besar kita bakal ketemu ayah. Dan waktu itu Kyla nanya, kita itu masih keluarga atau bukan namanya? Terus ayah jawab, kita masih keluarga karena masih punya ikatan darah, iya kan, Kyla?" Jawab Syla terang-terangan.
Syla tidak pernah malu mengakui bahwa kedua orang tuanya sudah cerai sejak Syla dan Kyla baru bisa merangkak. Sebab, menurutnya ayah dan bundanya yang selama ini berhubungan baik tidak bisa di-cap sebagai pendosa hanya karena bercerai. Mereka masih menjalani tugas sebagai orang tua dengan baik.
"Iya, betul, tapi kata Jinaan, disebut keluarga atau bukan gak usah dipikirin, toh nanti diakhirat ga bakal ingat siapa-siapa."
Jinaan berdecak, lagi-lagi dia kena kejamnya fitnah dari Kyla. "Kok gue? Sejak kapan gue bilang gitu?"
"Dalam dunia perzigotan."
πππ
Baru konflik pertama, masih kalem. Maaf kalau kurang nge-feel.
KAMU SEDANG MEMBACA
IQ (SELESAI)
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVAT. FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA YA] Untuk diakui sebagai manusia, harus menerapkan rumus Fisika, hukum Newton kedua. Terlebih, bagi ketiga keluarga dengan IQ tertinggi di Indonesia. Mereka selalu menempati posisi teratas dalam a...