40. Short Service Forehand

1.5K 452 30
                                    

Seperti biasa, tinggalkan jejak kalian ya, cantik, ganteng.

tapi yang paling ganteng Lee Taeyong tetep. Hehehe.

"Dunia ini banyak tekniknya. Teknik bahagia, teknik pura-pura bahagia, teknik menyembunyikan kesedihan, teknik menghilangkan kecewaan, dan masih banyak lagi."
IQ (F=m.a)

"Ra!"

Nawasena memanggil Bora saat gadis itu berjalan masuk menuju kelas bimbingan kimia. Bora membalikkan badan selepas menghentikan langkahnya. Matanya memicing sesaat sebelum akhirnya tersenyum ketika mendengar pekikan Nawasena.

"Semangat!"

Cukup satu kata yang keluar dari mulut Nawasena. Satu kata yang benar-benar mengisi bensin semangat untuk Bora. Bagi Bora, satu kata itu benar-benar bermakna.

Selepas mengatakan satu kata tersebut, Nawasena pergi ke ruang latihan bulu tangkis. Mulai hari ini sampai sebulan ke depan, Nawasena akan menghabiskan waktunya di lapangan indoor daripada di kelas, alias dispen. Selain di lapangan, pria satu ini mulai besok akan sibuk belajar materi sejarah bersama anak-anak olimpiade IPS lainnya.

Selama kurang lebih dua jam belajar bersama pembimbing dan teman-teman lainnya yang kemudian dilanjut seleksi. Akhirnya satu per satu siswa yang berada di ruang bimbingan keluar. Bora juga begitu, dia sudah memasukkan buku dan alat tulisnya.

Saat menyalimi pak Hansa-salah satu guru Kimia, beliau memanggil Bora, menyuruh Bora untuk tetap berada di ruangan ini, ada yang ingin beliau sampaikan, katanya. Dan, Bora menurut, Bora bahkan berharap bahwa dia akan mendapat kabar baik sore ini.

Sampai di mana ruangan ini hanya berisi Bora dan pak Hansa, barulah pak Hansa duduk di samping Bora selepas menutup pintu. Gadis itu memang sedari tadi duduk di bangkunya, paling belakang.

"Mau ngomongin apa, Pak?" tanya Bora hati-hati.

Pak Hansa tersenyum. Bora meneguk salivanya, takut sendiri. Terlebih, pak Hansa menatap ke arah bibirnya sejak tadi.

"Kamu lulus seleksi. Selamat, ya."

"Bukannya besok pengumumannya, Pak?"

"Khusus kamu sekarang."

Bora tercekat. Buru-buru gadis itu beranjak dari duduknya. "Terima kasih, Pak. Kalau begitu saja duluan ya, Pak."

Tidak. Tidak semudah itu. Pak Hansa mencekal tangannya. Bora mencoba untuk tetap tenang, meski nyatanya tidak bisa, jantungnya sudah berdegub kencang, bukan karena jatuh cinta tetapi karena ketakutan. "Ada apa lagi, ya, Pak?"

Bora tercekat sewaktu pak Hansa memegang bahunya. "Sepertinya..., saya mau kamu." Bora sudah panik sendiri, dia mencoba melepas cengkraman tangan Hansa yang masih memegang bahunya, tetapi Hansa justru mendorongnya pelan ke dinding.

"LEPASIN!" Bora berteriak seraya membentak, terserah mau dicap tidak sopan juga, guru di depannya ini jauh lebih tidak sopan, bukan?

Hansa melepaskan tas yang bertengger di kedua bahu Bora, lelaki gila ini sedikit menekan bahu Bora hingga anak muridnya terduduk di lantai. Hansa sekali lagi tersenyum, dia hendak mencium bibir Bora, tetapi kalah cepat dengan tangan Bora yang lebih dulu melindungi wajah.

Hansa berdecak pelan, dia kembali mendorong tubuh Bora ke samping hingga tubuh gadis itu bertemu langsung dengan lantai, tangannya kembali memegang bahu gadis remaja yang masih menutup wajahnya dengan tangan. Hansa bisa melihat dengan jelas di balik sela-sela jari, Bora sedang menangis.

IQ (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang