"Siapapun! Tolong, jalani dunia sebahagia yang kamu bisa. Hidup hanya sekali, jadi mari hidup bahagia dan banyak menebar kebahagiaan."
IQ (F=m.a)Setelah jam makan siang selesai, mereka berkumpul di sebuah ruangan yang tak kalah luas dengan ruangan utama. Di sini sudah banyak anak-anak dari TK hingga SD yang duduk di barisan paling depan bersama keluarga mereka.
Masing-masing dari mereka memang sengaja datang siang hari untuk menunjukkan bakat masing-masing di bidang kesenian yang dibalut dengan sains. Tujuan utama adalah memperkenalkan mereka dengan program IQ Classification yang akan mereka ikuti ketika sudah SMP nanti.
"Ra, rame banget," keluh Xena yang sedari tadi selalu berada di samping Bora. Mereka duduk di barisan paling belakang. Tak perlu khawatir, mereka dapat melihat dengan jelas layar lebar yang akan menunjukkan karya anak-anak kok, apalagi kursi di sini didesain seperti bioskop.
"Denger musik pake aerphone aja, Na, nih," kata Bora seraya memberi aerphone miliknya yang langsung dikenakan oleh Xena.
Bora menatap sedu Xena dari samping. "Na, gue gatau harus ngasih tau ke lo dengan cara apa, gue takut, Na," lirihnya dengan pelan. Sebab Xena mulai menutup matanya perlahan, tertidur di tengah kerumunan, seperti biasanya.
"Xena udah tidur?"
Pertanyaan itu membuat Bora menoleh ke arah Nawasena yang baru saja datang dan duduk di sampingnya. Bora mengangguk pelan. "Udah, barusan."
"Ra, mau sampai kapan gini?"
Nawasena mendegus pelan saat Bora terdiam. "Ra...." Bora menggeleng lemah. "Gue gatau, Naw. Sampai lulus bisa?"
Nawasena melirik Xena yang terlihat pulas. "Xena cantik, Ra. Dan, gue gabisa lama-lama. Kalau kayak gini terus, gue gak akan bisa lupa, Ra."
"Lo tau sendiri dan lo bisa lihat kalau Xena masih butuh lo." Bora menatap Nawasena sekilas sebelum akhirnya menatap ke arah depan karena pembawa acara sudah memulai acara siang ini. "Nanti lagi dibahasnya, Naw."
"Welcome to Art and Science Show!"
"Sebelum kita mulai menunjukkan karya-karya milik anak-anak bangsa. Mari kita mengingat kembali perkataan Bapak Husain, kata beliau, sains dan seni ini harus disandingkan. Suatu saat mereka kolaborasi untuk menghasilkan sesuatu yang tidak dibayangkan. Oleh karena itu seniman yang berpikir imajinatif, kemudian oleh peneliti dijadikan sebuah pengetahuan."
"Beliau juga mengatakan bahwa, Indonesia perlu ada sinergi antara seni dan sains. Kadang sains seperti anti seni dan sains anti seni. Padahal tidak. Negara maju sudah menyadari dua hal itu saling melengkapi. Beliau berpikir bahwa sains itu adalah seninya berpikir."
"Maka dari itu anak-anak usia lima sampai dua belas tahun harus mulai bentuk bakatnya. Entah dari segi seni maupun sains, atau bahkan bakat dibilang lain."
"Inilah pertunjukan indah karya anak bangsa, selamat menyaksikan!"
Tepat setelah Kak Zahra turun dari panggung. Seluruh lampu dimatikan sesaat sebelum lampu sorot di panggung menyorot seorang anak kecil yang tengah duduk di atas panggung dengan perlengkapan menggambar di sekitarnya.
Semua mata di sini memandang takjub anak kecil yang menggambar begitu cepat dan rapi. Anak kecil tersebut menggambar sebuah pria dengan kaki yang terbuat dari roti gandum, kelihatannya seperti begitu.
Bora menoleh ke arah Nawasena kala pria ini menyenggol kakinya. "Apaan?"
"Kalau nanti di masa depan ada manusia yang kakinya dari makanan gitu, bisa gak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IQ (SELESAI)
Novela Juvenil[BEBERAPA PART DIPRIVAT. FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA YA] Untuk diakui sebagai manusia, harus menerapkan rumus Fisika, hukum Newton kedua. Terlebih, bagi ketiga keluarga dengan IQ tertinggi di Indonesia. Mereka selalu menempati posisi teratas dalam a...