"Kadang, sebuah masalah harus ditinjau dari seluruh sudut pandang."
IQ (F=m.a)Bora mengambil tas ransel milik Nawasena, menumpahkan semua isinya di atas jok mobil, lantas memasukkan kotak P3K, amplop berisi surat, sebuah kompas dan mengambil asal sebuah baju milik Nawasena, serta air mineral botol satu liter.
Sore itu, gelap tetapi tidak hujan, jangan sampai. Sebenarnya masih sekitar jam tiga sore, hanya saja matahari tertutup oleh awan-awan sehingga tampak seperti hampir malam. Bora berdoa, semoga saja tidak hujan. Bisa-bisa dia ketiduran karena mendengar suara rintik hujan yang bagai lagu pengantar tidur di telinganya.
Baru saja masuk ke dalam labirin, mereka langsung menghentikan langkahnya. Ada tiga jalan, yang satu pintunya terbuka dan banyak jejak darah milik polisi-polisi yang sempat masuk, dan dua lainnya sama-sama terhalangi oleh pintu dan terkunci. Tidak seperti biasanya, labirin ini penuh dengan pintu yang terkunci.
Bora hendak berjalan ke arah pintu yang telah terbuka, tetapi langsung ditahan oleh Nawasena. "Jangan ke sana, sabar." Nawasena memicing saat mendapati sebuah panah yang berderet di dinding labirin. Dan target face yang tertempel di masing-masing pintu.
"Kayaknya, harus main," celetuk Nawasena yang kini sudah memegang alat panahan yang tadi tergeletak.
"Lo bisa panahan emangnya?"
"Sedikit."
Bora hanya menganggukkan kepalanya, dia berjalan ke pinggir, takut terkena panah, kalau pahit-pahit meleset. "Jangan meleset ke gue, Naw."
"Biasanya, kalau diingetin bakal...."
"Bakal apa?" tanya Bora sewaktu Nawasena menggantungkan jawaban.
"Meleset ke orang yang ngingetin."
"Gak lucu, Naw."
"Emang gak lucu. Gue serius, mending lo ke belakang gue."
Bora mendegus pelan, tetapi tetap saja dia berpindah dan berdiri tepat di belakang Nawasena yang tengah serius memanah meski tidak memakai sarung tangan panahan, Nawasena bisa mengatasi rasa sakit di jari tangannya.
"Jangan tremor, dong, Naw," kata Bora, gadis itu memang melihat tangan Nawasena yang sedikit bergetar dari belakang.
"Lo bawa isolasi gak?"
"Buat apaan?"
"Isolasi mulut lo."
Bora terdiam, alih-alih membalas ucapan Nawasena. Dia sedang tidak ingin mengulur waktu dengan beradu mulut, mengingat langit semakin gelap. Tepat saat Nawasena melepaskan anak panah, Bora tersentak saat bahunya terasa perih. Dan lebih tersentak saat melihat sebuah panah tertancap di bahu Nawasena.
"Ah, shit," umpat Nawasena.
Bora menengok ke belakang, dia hanya melihat dinding labirin dari tanaman-tanaman hijau. Tidak ada siapa-siapa. Padahal, Bora yakin tadi dia mendengar senapan anak panah yang bersumber dari belakang.
"Lo gapapa, Ra?" tanya Nawasena yang menoleh ke belakang.
"Ini harus cetak poin sempurna, kalau enggak bakal kayak gini, meskipun poin gue sembilan, kita dianggap kalah," spekulasi Nawasena.
Bora meneguk salivanya. "Gak usah dilanjutin," pinta Bora dengan tatapan yang sedari tak lepas dari anak panah yang tertancap di bahu kanan Nawasena.
"Harus dilanjutin, Ra. Nyokap gue ada di dalam sana."
"Kalau gitu, kali ini lo harus dapat poin sepuluh."
KAMU SEDANG MEMBACA
IQ (SELESAI)
Teen Fiction[BEBERAPA PART DIPRIVAT. FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA YA] Untuk diakui sebagai manusia, harus menerapkan rumus Fisika, hukum Newton kedua. Terlebih, bagi ketiga keluarga dengan IQ tertinggi di Indonesia. Mereka selalu menempati posisi teratas dalam a...